Minggu, 20 Januari 2013

Tantangan Seni Tradisi di Era Ekonomi Kreatif


Tantangan Seni Tradisi di Era Ekonomi Kreatif
M Romadhon MK ;  Peneliti Central for Civilization and Cultural Studies, Yogyakarta
SINAR HARAPAN, 19 Januari 2013



Tantangan terbesar kesenian tradisi di era kontemporer adalah bagaimana seni tradisi bisa bersaing demi pemenuhan hal ihwal ekonomi bagi pelaku seni. Sebagai salah satu unsur kebudayaan, kesenian secara tidak langsung dituntut untuk mampu menjawab tantangan riil di tengah semarak ekonomi kreatif dewasa ini.

Karena bagaimanapun paradigma I’art pour I’home (seni untuk manusia) dipaksa untuk melihat secara realistis, bahwa sesungguhnya menciptakan seni untuk hidup. Kondisi ini sebagai upaya the principle of balance (asas keseimbangan), artinya melahirkan keseimbangan untuk keberlangsungan masa depan seni dan bagi pelaku seni itu sendiri. Liang Gie (1989) dalam teorinya filsafat keindahan memaparkan bahwa seni memiliki sifat dasar kreatif.

Ekonomi kreatif dalam wilayah ini merupakan sebuah konsep ekonomi yang mengintensifkan informasi dan kreativitas dengan mengandalkan ide dan stock of knowledge dari sumber daya manusia (SDM) sebagai faktor produksi utama dalam kegiatan ekonominya.

Kelompok subsektor industri dengan kandungan budaya yang disampaikan ke publik baik secara langsung, maupun lewat media elektronik (cultural presentation), yaitu subsektor musik dan subsektor kesenian (seni pertunjukan). Era ekonomi kreatif memberi peluang untuk mengangkat seni tradisi, sedangkan seni tradisi menjadi aset bagi pengembangan ekonomi kreatif. Perkawinan kepentingan ini memungkinkan eksplorasi aspek estetis, pelestarian, dan ekonomi seni tradisi.

Persoalannya, sering kali para pegiat seni tradisi dihadapkan pada kondisi keterbatasan. Satu sisi misi untuk menghidupkan atau uri-uri seni tradisi (artinya berkecimpung secara total) ternyata tidak mampu membawa berkah tersendiri secara materi. Adapun untuk mengandalkan hidup dari seni tradisi itu, tidak cukup memungkinkan.

Disiasati dengan diadakannya pertunjukan, tetap saja belum mampu menuntaskan masalah ekonomi. Selain minimnya kesadaran masyarakat sendiri tentang arti penting mengonsumsi pertunjukan seni tradisi, gempuran dan kuasa media juga terlalu kuat. Sebagai contoh, pertunjukan kesenian Ludruk di Jawa Timur yang terseok-seok dan kian kehilangan penikmatnya. Persoalan seni tradisi era global sekarang ini sesungguhnya sangat pelik.

Dualisme Kepentingan

Keresahan dewasa ini terletak pada telaah terkait memungkinkan tidaknya sebuah seni tradisi dijadikan alat untuk mengeruk rupiah. Dalam bahasa korporasinya dipragmatisasikan, di mana seni tradisi diolah menjadi sebuah tontonan yang kormersil, sebagai upaya untuk menopang ekonomi bagi pegiat seni.

Jika hal ini bisa terealisasikan, persoalan lain muncul, semisal pro-kontra terhadap pragmatisme seni tradisi. Ketika seni tradisi dituntut untuk memenuhi kebutuhan pasar populer, lagi-lagi nilai-nilai yang terkandung dalam sebuah pertunjukan seni sedikit banyak mengalami abrasitas.

Hal ini selanjutnya berpengaruh pada sisi muatan filosofis dalam sebuah pertunjukan. Karena yang diburu bukan lagi makna dan pesan moral yang terkandung dalam seni tersebut, melainkan lebih mengarah pada sebuah tontonan hiburan an sich. Jelas kondisi semacam ini juga memiliki pengaruh besar terhadap pergeseran suatu seni.

Semisal fenomena pertunjukan wayang wong yang sekarang sedang digandrungi masyarakat Indonesia melalui sebuah tayangan yang dikemas oleh salah satu stasiun televisi swasta di Ibu Kota. Bagaimana nilai dan pesan moral serta keindahan dari seni wayang wong mengalami abrasitas dengan ilustrasi wayang yang membangkang pada sang dalang, atau mungkin penarasian cerita yang serampangan dan hanya memburu konsep lelucon, tanpa memperhatikan aspek estetis bahwa seni sebagai art.

Sebaliknya, yang dikejar hanya bagaimana seseorang bisa melawak di atas panggung dengan menggunakan parodi wayang wong. Persoalan idealisme dan pragmatisme dalam wilayah ini menjadi sebuah dualisme kepentingan yang saling tarik ulur. Satu sisi ingin mempertahankan kemurnian sebuah tontonan tersebut, sisi lain jika mengejar nilai ekonomisnya seni tradisi harus berpacu dengan budaya populer yang seakan telah mengesampingkan aspek nilai-nilai art dan filosofis.

Namun, era ekonomi kreatif seperti sekarang ini, jelas menuntut pegiat seni tradisi untuk memutar otak. Proses dinamisasi kebudayaan telah memaksa seni tradisi untuk menjawab tantangan era kontemporer. Kondisi ini tentu sejalan dengan asas kebudayaan itu sendiri. Sejauh mana kemampuan dalam meramu dan meracik budaya tersebut demi melanjutkan misi kebudayaan yang akan datang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar