Tantangan Seni
Tradisi di Era Ekonomi Kreatif
M Romadhon MK ; Peneliti Central for Civilization and Cultural Studies,
Yogyakarta
|
SINAR
HARAPAN, 19 Januari 2013
Tantangan terbesar kesenian tradisi di era kontemporer adalah
bagaimana seni tradisi bisa bersaing demi pemenuhan hal ihwal ekonomi bagi
pelaku seni. Sebagai salah satu unsur kebudayaan, kesenian secara tidak
langsung dituntut untuk mampu menjawab tantangan riil di tengah semarak
ekonomi kreatif dewasa ini.
Karena bagaimanapun paradigma I’art pour I’home (seni untuk
manusia) dipaksa untuk melihat secara realistis, bahwa sesungguhnya
menciptakan seni untuk hidup. Kondisi ini sebagai upaya the principle of
balance (asas keseimbangan), artinya melahirkan keseimbangan untuk
keberlangsungan masa depan seni dan bagi pelaku seni itu sendiri. Liang Gie
(1989) dalam teorinya filsafat keindahan memaparkan bahwa seni memiliki sifat
dasar kreatif.
Ekonomi kreatif dalam wilayah ini merupakan sebuah konsep
ekonomi yang mengintensifkan informasi dan kreativitas dengan mengandalkan
ide dan stock of knowledge dari
sumber daya manusia (SDM) sebagai faktor produksi utama dalam kegiatan
ekonominya.
Kelompok subsektor industri dengan kandungan budaya yang
disampaikan ke publik baik secara langsung, maupun lewat media elektronik (cultural presentation), yaitu
subsektor musik dan subsektor kesenian (seni pertunjukan). Era ekonomi
kreatif memberi peluang untuk mengangkat seni tradisi, sedangkan seni tradisi
menjadi aset bagi pengembangan ekonomi kreatif. Perkawinan kepentingan ini
memungkinkan eksplorasi aspek estetis, pelestarian, dan ekonomi seni tradisi.
Persoalannya, sering kali para pegiat seni tradisi dihadapkan
pada kondisi keterbatasan. Satu sisi misi untuk menghidupkan atau uri-uri
seni tradisi (artinya berkecimpung secara total) ternyata tidak mampu membawa
berkah tersendiri secara materi. Adapun untuk mengandalkan hidup dari seni
tradisi itu, tidak cukup memungkinkan.
Disiasati dengan diadakannya pertunjukan, tetap saja belum mampu
menuntaskan masalah ekonomi. Selain minimnya kesadaran masyarakat sendiri
tentang arti penting mengonsumsi pertunjukan seni tradisi, gempuran dan kuasa
media juga terlalu kuat. Sebagai contoh, pertunjukan kesenian Ludruk di Jawa
Timur yang terseok-seok dan kian kehilangan penikmatnya. Persoalan seni
tradisi era global sekarang ini sesungguhnya sangat pelik.
Dualisme Kepentingan
Keresahan dewasa ini terletak pada telaah terkait memungkinkan
tidaknya sebuah seni tradisi dijadikan alat untuk mengeruk rupiah. Dalam
bahasa korporasinya dipragmatisasikan, di mana seni tradisi diolah menjadi
sebuah tontonan yang kormersil, sebagai upaya untuk menopang ekonomi bagi
pegiat seni.
Jika hal ini bisa terealisasikan, persoalan lain muncul, semisal
pro-kontra terhadap pragmatisme seni tradisi. Ketika seni tradisi dituntut
untuk memenuhi kebutuhan pasar populer, lagi-lagi nilai-nilai yang terkandung
dalam sebuah pertunjukan seni sedikit banyak mengalami abrasitas.
Hal ini selanjutnya berpengaruh pada sisi muatan filosofis dalam
sebuah pertunjukan. Karena yang diburu bukan lagi makna dan pesan moral yang
terkandung dalam seni tersebut, melainkan lebih mengarah pada sebuah tontonan
hiburan an sich. Jelas kondisi
semacam ini juga memiliki pengaruh besar terhadap pergeseran suatu seni.
Semisal fenomena pertunjukan wayang
wong yang sekarang sedang digandrungi masyarakat Indonesia melalui sebuah
tayangan yang dikemas oleh salah satu stasiun televisi swasta di Ibu Kota.
Bagaimana nilai dan pesan moral serta keindahan dari seni wayang wong
mengalami abrasitas dengan ilustrasi wayang yang membangkang pada sang
dalang, atau mungkin penarasian cerita yang serampangan dan hanya memburu
konsep lelucon, tanpa memperhatikan aspek estetis bahwa seni sebagai art.
Sebaliknya, yang dikejar hanya bagaimana seseorang bisa melawak
di atas panggung dengan menggunakan parodi wayang wong. Persoalan idealisme dan pragmatisme dalam wilayah
ini menjadi sebuah dualisme kepentingan yang saling tarik ulur. Satu sisi ingin
mempertahankan kemurnian sebuah tontonan tersebut, sisi lain jika mengejar
nilai ekonomisnya seni tradisi harus berpacu dengan budaya populer yang
seakan telah mengesampingkan aspek nilai-nilai art dan filosofis.
Namun, era ekonomi kreatif seperti sekarang ini, jelas menuntut
pegiat seni tradisi untuk memutar otak. Proses dinamisasi kebudayaan telah
memaksa seni tradisi untuk menjawab tantangan era kontemporer. Kondisi ini
tentu sejalan dengan asas kebudayaan itu sendiri. Sejauh mana kemampuan dalam
meramu dan meracik budaya tersebut demi melanjutkan misi kebudayaan yang akan
datang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar