|
KORAN
TEMPO, 26 Januari 2013
Metode pembelajaran
harus mampu membahagiakan anak (seperti di Finlandia) sekaligus harus
menyehatkan badan (seperti di Korea Selatan), serta harus memperkuat jati
diri dan budaya bangsa, serta memberi kesadaran kepada anak dan para orang
tua untuk cinta belajar sepanjang hayat (seperti di negara-bangsa bertradisi
Konfusian).
Pada 27 November 2012, lembaga penelitian
Pearson mengumumkan hasil rangkuman analisis kuantitatif dan kualitatif yang
ditulis oleh Economist Intelligence
Unit tentang kemampuan para siswa serta kinerja lembaga-lembaga
pendidikan di seluruh dunia, The Learning
Curve. Mereka antara lain merujuk pada hasil beberapa tes internasional
(OECD-PISA, TIMMS dan PIRLS) yang membuat peringkat kecerdasan para siswa
aneka bangsa.
Kurva pembelajaran itu menampilkan
peringkat yang menunjukkan bahwa Finlandia (populasi 5,3 juta jiwa) dan Korea
Selatan (populasi 48 juta jiwa) kini merupakan dua negara "superpower pendidikan." Di
belakangnya, yang masuk dalam lima besar adalah Hong Kong, Jepang, dan
Singapura.
Lima peringkat berikutnya ditempati oleh
Inggris, Belanda, Selandia Baru, Swiss, dan Kanada. Amerika Serikat berada di
peringkat ke-17. Indonesia berada di mana? Sebagaimana ditunjukkan oleh hasil
berbagai uji kemampuan (sains, matematika, membaca, dan pemecahan masalah)
dalam sepuluh tahun terakhir, kemampuan para siswa Indonesia selalu berada di
dasar jurang (peringkat ke-40), di bawah Kolombia, Thailand, Meksiko, dan
Brasil.
Bahagia Belajar
Mengapa Finlandia, negeri liliput di Eropa
itu, selalu berada di puncak peringkat dunia? Itu karena, antara lain, sistem
pendidikannya dibangun berdasarkan prinsip-prinsip: berkualitas, efisien,
berkeadilan, berlangsung sepanjang hayat. Penyelenggaraannya bersifat santai
dan fleksibel. Negara bertanggung jawab menyelenggarakan pendidikan dasar
sembilan tahun yang bermutu untuk seluruh warga negara secara gratis. Para
siswa tidak dibebani terlalu banyak mata pelajaran, jam belajar di sekolah
sedikit (sesuai dengan kebutuhan siswa, dari dua sampai delapan jam sehari),
dan mereka dibolehkan berbahagia belajar menekuni bidang yang diminatinya.
Kuncinya adalah: guru yang bermutu-bermartabat, dan sistem pengajarannya
efektif.
Seperti Finlandia, Korea Selatan juga
melakukan reformasi pendidikan sejak awal 1990-an. Namun, berbeda dengan
Finlandia, sistem pendidikan di Korea Selatan berlangsung lebih tegang dan rigid, dengan berbagai tes dan
hafalan. Namun, seperti di Finlandia, Korea Selatan juga tanpa henti
meningkatkan kualitas dan harkat para gurunya, serta menekankan bahwa semua
langkah di bidang pendidikan memiliki nilai dan misi moral yang luhur.
Tiga Tahap
Ada tiga tahap yang ditetapkan pemerintah
Korea Selatan dalam strategi pembangunan sumber daya manusianya. Untuk
mendukung tekad pemerintah menggenjot pertumbuhan ekonomi, dengan anggaran
negara terbesar dialokasikan untuk jenjang SD dan SMP (86 persen), pada tahap
pertama (tahun 1960-an), sekolah-sekolah diprogram menciptakan tenaga buruh
kasar (lulusan SD) untuk kebutuhan industri padat karya dan manufaktur. Tahap
kedua (tahun 1970-1980), seiring dengan kemajuan pesat ekonominya,
sekolah-sekolah mempersiapkan tenaga kerja bagi industri berat dan kimia yang
padat modal (lulusan SMA).
Tahap ketiga (1990 sampai sekarang),
Kementerian Pendidikan berfokus pada penciptaan tenaga kerja berpendidikan
tinggi untuk mendukung industri teknologi, elektronik, dan industri berbasis
ilmu pengetahuan lainnya. Untuk itu, sejak tahun 2000, seluruh sekolah dari
SD hingga perguruan tinggi dilengkapi komputer dengan akses Internet
berkecepatan tinggi.
Hasilnya? Hanya dalam waktu sekitar 25
tahun sejak reformasi pendidikan dimulai, Korea Selatan kini bertakhta di
puncak kedua dunia. Itu melengkapi prestasinya di bidang industri elektronik
dan koneksi Internetnya yang di peringkat satu. Kok bisa? Catatan sangat
penting dalam analisis The Learning
Curve adalah bahwa, untuk menghasilkan pendidikan berkualitas, uang
memang penting, tetapi yang lebih penting daripada uang adalah besarnya
dukungan kultur lingkungan terhadap pendidikan.
Untuk mengimbangi pembangunan domain
kognisi yang sarat dengan hafalan dan ulangan, pemerintah Korea Selatan pun
menggalakkan pelajaran seni dan olahraga bagi para siswa sejak SD. Itulah
dasar-dasar bagi pembentukan jati diri bangsa dan karakter. Yang dibangun di
sekolah bukan hanya kecerdasan otak, tapi juga seluruh tubuh, melalui
berbagai macam olah seni dan olahraga yang, untuk itu pun, bangsa Korea
Selatan mampu mencatatkan prestasi internasional: taekwondo, basket, bulu
tangkis, bahkan tim sepak bolanya berhasil mencapai babak kualifikasi Piala
Dunia selama delapan kali berturut-turut, dan itu merupakan rekor terbanyak
di Asia.
Tradisi Konfusianisme
Konfusianisme Korea (Yugyo) merasuk ke
dalam darah bangsa dan menjadi fondasi kebudayaan yang mengatur sistem moral,
pola kehidupan, dan hubungan sosial antar-generasi serta dasar bagi banyak
sistem hukum. Sebagaimana diketahui, spirit Konfusianisme mengajarkan bahwa,
untuk menjadi sempurna, manusia harus menjalani pendidikan dan latihan yang
keras dan terus-menerus. Kualitas itulah yang secara sosial akan menempatkan
seseorang di puncak status (meritokrasi). Itulah yang mendorong para orang
tua Korea berusaha menyekolahkan anak-anaknya hingga ke perguruan tinggi.
Itulah semangat kebudayaan yang melahirkan "demam pendidikan" dan
terbukti menempatkan Korea Selatan berada di puncak hierarki dunia. Adalah
spirit Konfusianisme juga yang, sebagaimana ditunjukkan oleh The Learning Curve, menempatkan Hong
Kong, Jepang, dan Singapura berada di lima besar.
Lalu, apa yang harus dilakukan pemerintah
Indonesia agar mampu mengangkat bangsanya dari dasar jurang? Uang memang
penting, tapi budaya jauh lebih penting! Hentikan politik diskriminasi
pendidikan yang membangun kasta-kasta sekolah unggulan dan bukan unggulan yang
berbiaya mahal! Hentikan ujian nasional yang tidak hanya memboroskan dana,
tenaga dan waktu, tapi juga lebih parah dari itu, hanya menjadi pemicu "kriminalitas pendidikan"
dan memberikan ukuran menyesatkan tentang peringkat kecerdasan seseorang.
Lebih tragis lagi, ujian nasional telah menghancurkan tujuan pendidikan:
bukannya membangun karakter dan akhlak mulia, melainkan menjadikan para anak
didik sebagai hamba angka, peringkat, dan ijazah!
Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan harus mampu membangun lembaga-lembaga pendidikan
yang bermutu, murah, dan adil serta bisa diikuti oleh seluruh warga negara.
Metode pembelajaran harus mampu membahagiakan anak (seperti di Finlandia)
sekaligus harus menyehatkan badan (seperti di Korea Selatan), serta harus memperkuat
jati diri dan budaya bangsa, serta memberi kesadaran kepada anak dan para
orang tua untuk cinta belajar sepanjang hayat (seperti di negara-bangsa
bertradisi Konfusian). Itulah makna dari lirik lagu kebangsaan kita: "Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya,
untuk Indonesia Raya." ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar