|
KOMPAS,
31 Januari 2013
Meskipun Polres Banyumas,
Jawa Tengah, telah menghentikan penyidikan kasus Ninik Setyowati, kasus itu
menyimpan masalah hukum yang mendasar dalam sistem peradilan pidana di
Indonesia. Oleh polisi, Ninik sebelumnya ditetapkan sebagai tersangka atas
kematian putrinya, Kumaratih Sekar Hanifah, yang terjatuh dan terlindas truk
hingga tewas.
Sebagai
korban, Ninik Setyowati tidaklah sendiri. Dari kasus-kasus yang lain terdapat
juga korban-korban kejahatan yang tidak tertangani secara tuntas. Sebutlah
seperti kasus Marsinah di Sidoarjo, Jawa Timur; kasus Udin di Bantul, Daerah
Istimewa Yogyakarta; kasus H Ohee di Papua; para aktivis 98 yang diculik dan
hingga kini belum ditemukan, kasus mahasiswa Trisakti, juga kasus Munir.
Sebagai fenomena hukum, masalah itu dianggap telah mengabaikan rasa
kemanusiaan dan rasa keadilan dalam kehidupan masyarakat.
Keputusan
Kepala Polres
Pada
hakikatnya masyarakat paham, tugas dari sistem hukum beserta lembaga dan
aparatusnya adalah menjaga ”kemuliaan manusia” sebagaimana difitrahkan Sang
Pencipta-nya. Tugas tersebut bukan hanya menciptakan kondisi-kondisi dan
infrastruktur yang memungkinkan manusia mempertahankan dan mengembangkan
hak-hak dasarnya, serta mengembangkan ataupun mengaktualisasikan semua
potensi-potensi kemanusiaan, tetapi juga suatu perlindungan ia akan terhindar
dari tindakan-tindakan destruktif yang dapat menganiayanya, baik yang
dilakukan oleh sesama manusia maupun oleh negara lewat institusinya.
Begitu
pula polisi sebagai salah satu institusi hukum dalam mempertanggungjawabkan
tugasnya. Tak wajar jika aparat kepolisian tak paham atas fungsinya dan
bekerja tidak tepat saat warganya atau subyek hukum yang utama (baca:
manusia) tak terhindar jadi korban dari tindakan destruktif atau kriminal.
Memang
masalah itu tidak sekadar akibat lemahnya kepolisian. Masalah itu juga
karena, pertama, fundamen logis dan rasional dari sistem hukum kita yang
mungkin sudah lemah atau keliru dasar filosofi dan epistemologinya. Ini
tampak saat
Kedua,
sistem hukum kontinental (civil law)
yang dibangun atas dasar logika oksidental (Eropa Barat)—sebagai tatanan
masyarakat yang individual—tampak mengalami kesulitan atau ketidakcocokan
dalam penerapannya di tengah masyarakat oriental (Timur). Termasuk di
Indonesia yang memiliki realitas historis dan kultural bersifat komunal, yang
bahkan sangat berbeda secara diametral dengan masyarakat Barat.
Ketiga,
perlu disadari sistem hukum kontinental, sebagaimana sistem-sistem lainnya
(sosial, politik, dan ekonomi), tampak dalam penerapannya lebih menjadi
pelayanan bagi kepentingan
Nusantara
ini bukanlah negeri yang tidak memiliki hukum. Masyarakat kita sudah memiliki
peraturan-peraturan yang berlaku secara eksklusif bagi tiap-tiap kesatuan
masyarakat. Peraturan itu juga berlaku secara eksklusif bagi anggota
masing-masing komunitas yang sering kita sebut sebagai hukum adat.
Umumnya,
hukum adat tak mengenal perbedaan antara hukum privat dan hukum publik,
seperti yang dikenal dalam hukum modern. Semua satu kesatuan, baik yang
dikenal sebagai hukum acara pidana ataupun perdata. Begitu pula
lembaga-lembaga yang mengaturnya.
Seseorang
dapat dinyatakan bersalah bila dianggap mengganggu keseimbangan yang ada
dalam masyarakat tersebut. Dalam logika oriental, pandangan rakyat Indonesia
terhadap alam semesta merupakan suatu totalitas. Manusia beserta makhluk yang
lain dengan lingkungannya merupakan satu kesatuan. Menurut alam pikiran ini,
yang paling utama adalah keseimbangan atau hubungan harmonis antara satu dan
yang lain.
Karena
itu, segala perbuatan yang mengganggu keseimbangan merupakan pelanggaran
hukum (adat). Di setiap pelanggaran hukum, para pemangku adat akan mencari
jalan bagaimana mengembalikan keseimbangan yang terganggu dalam bentuk upaya
atau berupa pembayaran keseimbangan yang terganggu. Pembuktiannya didasarkan
pada apa yang namanya kekuasaan atau kehendak Tuhan.
Dalam
kaitan itu, akhir-akhir ini muncul pemikiran tentang keadilan restoratif yang
dianggap sebagai pendekatan dan arus utama berpikir tentang perlunya
perubahan menyangkut sistem hukum di Indonesia. Secara umum, keadilan
restoratif merupakan konsep yang merespons sistem peradilan pidana yang
menitikberatkan pada pelibatan masyarakat dan korban yang teralienasi dalam
mekanisme yang bekerja pada sistem peradilan pidana yang ada.
Penganut
paham ini berpendapat, hukum bertitik tolak tidak hanya pada pelaku, juga
pada korban, masyarakat, dan penegak hukum itu sendiri. Dalam hal ini, korban
utamanya bukannya ”negara” seperti yang dianut oleh sistem peradilan pidana
sekarang, tetapi seluruh unsur peradilan pidana, yakni penegak hukum,
masyarakat, korban, dan pelaku. Dengan kata lain, keadilan restoratif
merupakan suatu paham untuk menumbuhkan tanggung jawab bersama sebagai
respons konstruktif atas kesalahan dari semua pihak.
Dari
sini kiranya perlu perenungan bagi semua pemangku hukum untuk mencari dan
mendapatkan landasan filosofi dan epistemologi bagi sistem hukum yang
benar-benar sesuai kehidupan sosial budaya bangsa Indonesia. Melalui hukum
adat dari berbagai suku bangsa yang ada di negeri ini, yang telah
mempraktikkan sepanjang ratusan atau ribuan tahun, kiranya dapat diteliti apa
sesungguhnya landasan hukum yang sesuai bagi bangsa Indonesia. Sebuah usaha
keras dan sungguh-sungguh perlu dilakukan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar