|
REPUBLIKA,
28 Januari 2013
DPR dan
pemerintah berkomitmen untuk segera menyelesaikan RUU Jaminan Produk Halal
(RUU JPH) dalam masa sidang DPR kali ini (Januari-April). Hadirnya UU JPH
telah lama dinantikan oleh umat. Karena itu, tidak ada alasan untuk
menunda-nunda pengesahannya.
Selama ini,
proses JPH telah berjalan dan diselenggarakan oleh Majelis Ulama Indonesia
(MUI) dengan organ pelaksananya, Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan
Kosmetika (LPPOM MUI). Penyelenggaraan JPH oleh MUI berupa proses sertifikasi
halal pada produk makanan, kosmetik, dan obat- obatan.
MUI secara
kelembagaan telah melaksanakan proses sertifikasi selama 24 tahun, tepatnya
sejak 1989 sebagai bentuk penjagaan kepada umat atas produk-produk yang tidak
halal yang saat itu marak dan meresahkan masyarakat. Spirit yang sama
tetap menjadi ruh pengaturan JPH dalam bentuk legislasi. JPH adalah
bentuk jaminan negara kepada warga negara atas kehalalan dan kesehatan produk
sehingga konsumen (khususnya umat Islam) merasa tenang dan aman. Lebih dari
itu, legislasi harus memperkuat penyelenggaraan JPH yang sudah berjalan baik
selama ini.
Titik Lemah Penyelenggaraan
JPH di bawah
MUI selama ini memberikan fondasi awal yang baik dalam rangka memperkuat JPH
dalam sebuah undang-undang. Selama ini, regulasi produk halal hanya
mengait di satu-dua pasal dalam UU Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan dan UU
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, serta di dua pasal dalam PP
Nomor 69 Tahun 1999 (sebagai turunan UU Pangan). Jika kemudian JPH memiliki
aturan sendiri maka penguatan adalah hal yang niscaya. Pertanyaannya, pada
aspek apa pelaksanaan JPH yang masih lemah dan harus diperkuat?
Berkaca pada
penyelenggaraan JPH selama ini, peran MUI harus diakui sangat strategis. MUI
adalah pionir penyelenggaraan JPH. Bahkan, eksistensinya dalam
penyelenggaraan JPH telah diakui oleh negara-negara lain. MUI adalah
representasi ulama, sementara kita sepakat bahwa halal-haram adalah urusan
agama yang harus diserahkan pada ahlinya, yaitu ulama.
Melalui
Keputusan Menteri Agama Nomor 518 Tahun 2001 tentang Pedoman dan Tata Cara
Pemeriksaan dan Penetapan Pangan Halal, telah menunjuk MUI sebagai lembaga
pelaksana pemeriksaan pangan yang dinyatakan halal. LPPOM MUI adalah lembaga
sertifikasi halal yang diakui selama ini. Namun demikian, sistem JPH
bukan hanya soal sertifikasi, melainkan mencakup aspek pengawasan, pengendalian,
pengembangan, sosialisasi, edukasi, serta penegakan aturan. MUI bukan lembaga
dan alat negara sehingga segala instrumen untuk menjalankan sistem JPH secara
komprehensif tak bisa dijalankan hanya oleh MUI.
MUI juga tidak
dapat menerapkan sanksi koersif atas pelanggaran karena bukan aparatus penegak
hukum. MUI dengan keterbatasan dana tentu juga tidak dapat melakukan
upaya-upaya ma sif dalam pengarusutamaan JPH di kalangan produsen maupun
konsumen.
Penguatan
Berdasarkan
hal di atas, materi utama yang sedang dibahas mendalam oleh Panitia Kerja RUU
ini adalah bagaimana mengintegrasikan upaya-upaya mengatasi kelemahan
tersebut dalam satu sistem JPH yang komprehensif dan dapat berjalan efektif (workable). Pertama, perlu kelembagaan
yang kuat untuk dapat membangun dan melaksanakan JPH secara efektif, mencakup
seluruh aspek sistem JPH itu sendiri. Dalam kelembagaan ini, tentu peran
MUI sangat sentral karena "kapasitas syar'i" selaku ulama dalam
menentukan halal-haram serta track
record-nya selama ini dalam penyelenggaraan sertifikasi halal. Sistem
sertifikasi halal yang sudah berjalan diharapkan dapat terintegrasi dalam
kelembagaan yang lebih kuat ini. Kelembagaan dimaksud adalah instrumen negara
yang akan menyelenggarakan JPH sejak registrasi, penelitian dan pengujian
(audit) produk, penetapan fatwa dan penerbitan sertifi kat halal oleh MUI,
hingga labelisasi produk.
Kedua,
kelembagaan JPH memiliki kewenangan yang kuat untuk menyosialisasikan JPH,
melakukan upaya-upaya pengembangan dan edukasi JPH, kerja sama internasional
dalam JPH, serta melakukan pengawasan atas produk dan produsen. Tak kalah
penting, kelembagaan dimaksud dapat melakukan penegakan hukum atas
pelanggaran.
Segala biaya
yang timbul dari operasional kelembagaan didanai oleh negara sebagai bentuk
tanggung jawab negara kepada publik. Tentu, dalam implementasinya,
kelembagaan ini dapat bekerja sama dan berkoordinasi dengan instansi
kementerian/lembaga terkait.
Ketiga,
terkait sifat sertifi kasi dalam JPH, semangatnya adalah memperkuat yang
sudah berjalan. Jika selama ini sukarela (voluntary)
maka ke depan diharapkan dapat meningkat menjadi wajib (mandatory). Tentu saja dengan mempertimbangkan kemudahan layanan
serta biaya bagi usaha-usaha mikro dan kecil (bahkan untuk kategori usaha ini
sangat mungkin digratiskan). Dengan penguatan JPH, diharapkan seluruh warga
negara dapat mengonsumsi produk yang halal, aman, dan sehat. Sehingga,
kasus-kasus, seperti bakso oplosan, makanan berformalin, dan sebagainya,
tidak akan terulang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar