|
SINDO,
31 Januari 2013
Berkaca pada
pengalaman kampanye Pemilihan Umum (Pemilu) 2009, kita telah saksikan bukti
nyata dari kiprah partai politik (parpol) pemenang Pemilu 2009. Janji yang
disampaikan belum terpenuhi, sementara itu kasus korupsi dan pelanggaran
kesusilaan kian marak melibatkan beberapa anggota parpol.
Tentu konstituen pemilih pada Pemilu 2009 sangat kecewa bahkan sangat dirugikan karena dana Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) yang seharusnya menetes sampai di tangan mereka malahan hanya sampai pada kantong pribadi-pribadi fungsionaris parpol tersebut. Betapa menyedihkan dan mengecewakan pola perilaku seperti ini. Jeffrey Sachs, penulis terkenal dan mantan penasihat ekonomi pemerintah Amerika Serikat (AS), mengeluhkan dan prihatin terhadap fakta betapa elite partai dan pemerintah AS telah mengejar kekayaan yang tidak sepantasnya diperoleh dan kekuasaan yang tanpa batas disertai keistimewaan yang dimiliki mereka yang semakin tidak terkendali di atas penderitaan rakyat miskin AS. Apalagi di Indonesia rakyat miskin masih bertengger di kisaran 30% dari sekitar 250 juta penduduk. Sachs menulis dalam bukunya, The Price of Civilization (2011); “Akar masalah krisis ekonomi Amerika adalah krisis moral yang ditandai oleh kemerosotan ikatan moral kalangan elite politik dan elite ekonomi. Pada hari ini mereka telah hilang komitmen tanggung jawab sosialnya; mereka hanya mengejar kekayaan dan kekuasaan, serta kepentingan rakyat selebihnya dikesampingkan”. Pernyataan Sachs tentu perlu dijadikan renungan calon pemilih khususnya pemilih pemula Pemilu 2014 kelak karena pengalaman serupa juga pernah terjadi setelah dua pemilu terakhir di Indonesia. Keberuntungan masih berpihak pada rakyat Indonesia dengan pembentukan KPK dan revitalisasi secara perlahan kejaksaan dan kepolisian disertai penguatan masyarakat sipil untuk bersama-sama mengawasi jalannya pemerintahan dan persiapan menjelang Pemilu 2014. KPU telah meloloskan sepuluh partai peserta pemilu termasuk satu partai baru yang mengusung jargon perubahan dengan praanggapan memiliki perbedaan visi dan misi yang besar dengan sembilan partai lainnya. Namun, rakyat pemilih saat ini pasti berpikir dua kali untuk dibohongi oleh elite-elite partai politik karena terbukti ada inkonsistensi antara janjijanji dan harapan selama kampanye dan realita pascapemilu. Fakta betapa mudahnya mereka mengesampingkan jargon pemilu yang prorakyat serta fakta banyak “kutu loncat” dari satu partai ke partai lain hanya terjadi di dalam kancah politik Indonesia; mencerminkan betapa rapuhnya loyalitas ideologis terhadap partainya, integritas, dan akuntabilitas yang bersangkutan. Fakta ini juga disebabkan dorongan sikap oportunistik yang berujung meraih kekuasaan dan keuntungan finansial semata-mata. Pola perilaku “menyalip di tikungan” dan “menangguk di air keruh” serta “menohok kawan seiring” tampaknya telah terbiasa di kalangan sementara elite parpol di Indonesia. Yang parah jika elite parpol menggunakan cara premanisme untuk meraih simpati dan dukungan dan cara-cara seperti ini tidak cocok dengan kultur bangsa Indonesia yang tahu adab dan sopan santun dan memegang teguh berpolitik berdasarkan ideologi Pancasila. Menghadapi kondisi perilaku elite partai yang ademokrasi itu, sampai saat ini tampak tidak ada jaminan penguatan sanksi kode etik internal parpol terhadap anggota yang telah “berselingkuh” tersebut yang sejatinya merupakan sumber kemudaratan berpolitik di Indonesia. Apakah ini tanda-tanda keruntuhan moralitas elite parpol sebagaimana telah dikemukakan Sachs? Wallahuallam bisawab. Setidaknya ada sembilan solusi untuk mencegah kenyataan perilaku elite parpol yang merugikan rakyat seperti sudah dibahas di atas. Pertama, perlu seleksi ketat keanggotaan oleh parpol seperti yang sedang dilakukan PDIP dengan psycho test sekaligus tes urine. Kedua, hapuskan politik uang untuk memperoleh nomor urut caleg. Ketiga, telusuri rekam jejak caleg-caleg terpilih sebelum masuk daftar tetap caleg melalui LSI atau bantuan ICW atau lembaga anti korupsi lain atau bantuan kepolisian/kejaksaan. Keempat, koalisi masyarakat sipil wajib mengikuti intensif pencalegan oleh parpol-parpol baik untuk DPR RI/DPRD. Kelima, turut sertakan KPK untuk telusuri laporan harta kekayaan setiap caleg tetap parpol dan lebih mantap lagi jika inisiatif datang dari pengurus parpol asal caleg sehingga publik mengetahui nominal harta kekayaan mereka sejak awal. Keenam,pascapemilu yang akan datang kiranya perlu dikritisi penempatan caleg-caleg di Komisi 2 DPR RI/DPRD yang tidak cocok dengan keahliannya. Ketujuh, kewajiban parpol menyampaikan terbuka sumber dana parpol melalui audit oleh lembaga independen dan besaran pendanaannya disertai pengawasan koalisi masyarakat sipil pendanaan parpol. Kedelapan, perlu ada pengawasan untuk mencegah caleg-caleg yang pernah terlibat tindak pidana, khusus tipikor, untuk duduk dibadan legislatif atau di eksekutif. Kesembilan, perlu dibentuk koalisi masyarakat sipil sejak sekarang untuk mengawasi pesta demokrasi pada 2014. Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 yang telah diratifikasi dengan UU RI Nomor 7 Tahun 2006 telah menetapkan subjek hukum pemberantasan korupsi yang baru yaitu “Politically Exposed Persons (PEPS)” meliputi kerabat atau kawan dekat atau keluarga anggota parpol terutama yang terpilih sebagai anggota legislatif. Pemilu 2014 bukan saatnya lagi hanya semata “pesta demokrasi” demi pencitraan kepada dunia luar. Tetapi,yang penting dan sangat strategis adalah sejauh mana inkonsistensi antara ucapan dan perbuatan semakin senjang dan melebar atau semakin dekat dan bahkan konsisten dan konstan. Juga sejauh mana rakyat merasakan hasil nyata tanpa kebohongan dan kemunafikan tersembunyi di balik semua jargon dan aksesoris parpol dalam berkampanye. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar