|
KORAN
TEMPO, 29 Januari 2013
Tahun 2013
adalah tahun politik. Tahun di saat proses Pemilihan Umum (Pemilu) 2014
dimulai. Sekarang seluruh partai politik sibuk menyiapkan dan menjaring calon
anggota legislatif (caleg). Daftar bakal caleg itu harus sudah diserahkan ke
Komisi Pemilihan Umum (KPU) maksimal April 2013.
Para calon legislator tersebut akan
memperebutkan 560 kursi DPR, 2.137 kursi DPRD provinsi, dan belasan ribu
kursi DPRD kota/kabupaten. Beragam cara dilakukan partai politik untuk
menggaet caleg. Ada yang mendekati artis-artis terkenal, ada yang mendekati
pejabat negara, kepala daerah, pengusaha, juga mantan aktivis. Semua upaya
dilakukan dengan tujuan utama meraup suara terbanyak pada pemilu mendatang.
Tahapan penentuan caleg ini adalah masa
yang krusial bagi partai. Karena wajah caleg setidaknya akan menggambarkan
wajah partai politik tersebut. Apakah caleg yang diajukan menggambarkan
komitmen partai untuk menuntaskan agenda reformasi atau tidak. Sebab, caleg
adalah calon anggota DPR dan DPRD, yakni di pundak merekalah rakyat
menitipkan amanat untuk menjadi bagian dari pengelola negara ini demi
kemakmuran rakyat.
Secara hukum, syarat untuk menjadi caleg
telah ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan
Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD (UU Pemilu). Di dalam pasal 51 dijelaskan
bahwa caleg minimal berumur 21 tahun, sehat jasmani dan rohani, berpendidikan
paling rendah tamat sekolah menengah atas, serta setia kepada Pancasila, UUD
1945, dan cita-cita Proklamasi.
Kemudian ada larangan rangkap jabatan,
yakni seorang caleg harus bersedia untuk tidak rangkap jabatan sebagai
pejabat negara lainnya, direksi atau komisaris pada badan usaha milik
negara/daerah. Mereka juga harus bersedia tidak berpraktek sebagai akuntan
publik, advokat/pengacara, notaris, pejabat pembuat akta tanah, atau tidak
melakukan pekerjaan penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan
negara, serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan
dengan tugas, wewenang, serta hak sebagai anggota DPR dan DPRD.
Satu hal yang baru dalam UU Pemilu ini
adalah bahwa seorang kepala daerah, wakil kepala daerah, pegawai negeri,
anggota TNI dan polisi, serta direksi dan komisaris BUMN/D harus mundur dari
jabatannya jika ingin mengajukan diri sebagai calon legislator. Pengunduran
diri tersebut bersifat permanen, tidak dapat ditarik kembali. Selanjutnya,
caleg haruslah mereka yang tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan
putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan
tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih.
Ketentuan UU Pemilu tersebut memang telah
memberikan rambu-rambu dalam penentuan caleg. Namun persyaratan tersebut
masih sangat normatif dan belum cukup. Rakyat membutuhkan sesuatu yang lebih
dari itu. Rakyat membutuhkan caleg yang berkualitas, berintegritas, dan
antikorupsi! Kenapa? Karena salah satu masalah utama yang dihadapi oleh
lembaga perwakilan rakyat dan partai politik saat ini adalah minimnya
integritas dan maraknya korupsi. Lihat saja pemberitaan media, hampir setiap
hari ada berita perihal keterlibatan para anggota Dewan dalam kasus korupsi.
Data Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas
Hukum UGM menunjukkan bahwa terdapat sekitar 59 kader partai politik yang
terjerat kasus korupsi selama 2012. Angka itu di luar nama-nama yang sering
disebut-sebut terlibat suatu kasus. Boleh jadi angkanya lebih besar karena
sifat korupsi politik itu adalah berjemaah. Melibatkan banyak pihak, baik
yang ada di legislatif, eksekutif, maupun pengusaha. Mayoritas mereka terlibat
permainan mafia anggaran dan korupsi proyek yang didanai APBN dan APBD. Sebut
saja beberapa contoh kasus, seperti korupsi proyek Hambalang, pengadaan
Al-Quran, penyelenggaraan PON, dan lain sebagainya.
Berbagai kasus korupsi politikus itu
membuktikan bahwa ada yang salah pada pola rekrutmen dan pembinaan kader
partai politik. Bahkan terkesan parpol asal-asalan dalam merekrut kader. Yang
diutamakan adalah uang dan popularitas tanpa memikirkan integritas. Hal ini
diperparah oleh sikap parpol yang acuh tak acuh pada mentalitas kadernya dan
cenderung mendorong mereka berbuat koruptif untuk mendanai partai. Akibatnya,
parpol gagal membuktikan diri sebagai pilar demokrasi. Sebaliknya, menjadi
pilar korupsi.
Parpol seharusnya mulai sadar bahwa tingkat
kepercayaan masyarakat saat ini berada di titik nadir. Masyarakat sudah
semakin kritis. Masyarakat akan berpikir ulang untuk menaruh kepercayaan
kepada partai yang dinilai kerap menyalahgunakan wewenang. Karena itu, parpol
harus segera berbenah memperbaiki diri. Tidak ada pilihan lain bagi parpol,
selain menegaskan komitmennya terhadap pemberantasan korupsi.
Momentum rekrutmen caleg harus dijadikan
sebagai ajang pembuktian komitmen antikorupsi parpol. Caranya sederhana,
parpol harus teliti dalam melihat rekam jejak para caleg. Parpol harus berani
menolak caleg yang terlibat korupsi atau disebut-sebut terindikasi terlibat
suatu kasus korupsi. Seleksi caleg harus dilakukan secara terbuka dan
demokratis. Setiap parpol harus membuka diri dalam proses pemilihan caleg.
Uji publik dan masukan masyarakat harus dipertimbangkan. Hal ini dilakukan
untuk menghindari proses pencalonan anggota legislatif dengan politik uang.
Jangan sampai ada transaksional.
Kemudian, syarat lain yang bisa diterapkan
adalah laporan harta kekayaan. Sebagai calon pejabat publik, caleg harus
bersedia melaporkan harta kekayaannya. Hal ini diwajibkan oleh UU Nomor 28
Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bebas dan Bersih dari Korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme. Dalam pasal 5 poin 2 dan 3 ditegaskan bahwa setiap
penyelenggara negara wajib melaporkan dan mengumumkan kekayaan sebelum dan
setelah menjabat, serta bersedia diperiksa kekayaannya sebelum, selama, dan
setelah menjabat. Laporan harta kekayaan ini dapat digunakan sebagai
instrumen pencegahan dan pengontrol agar politikus tidak korupsi.
Terakhir,
penting untuk membuat semacam pakta integritas dan kesediaan mengundurkan
diri dari keanggotaan DPR dan DPRD jika menjadi tersangka korupsi. Sebab,
kita tidak ingin ada lagi kejadian di mana ada anggota DPR yang sudah dihukum
tapi masih tercatat sebagai anggota DPR dan masih menikmati gaji yang tinggi
setiap bulan. Komitmen yang sama harus diusung oleh partai politik, yakni
akan memecat setiap kadernya yang menjadi tersangka korupsi. Dengan demikian,
kita masih bisa berharap Pemilu 2014 melahirkan politikus antikorupsi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar