|
MEDIA
INDONESIA, 26 Januari 2013
BANJIR besar yang menerjang Jakarta pada 17
Januari 2013 menyebabkan puluhan ribu warga mengungsi, belasan orang
kehilangan nyawa, dan ribuan orang terjangkit penyakit akibat minimnya
pelayanan kesehatan dan buruknya air bersih serta sanitasi di tendatenda
pengungsian. Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana, sekitar 14%
wilayah Jakarta terendam banjir. Kerugian akibat banjir menurut Gubernur
Jokowi sekitar Rp20 triliun (Kompas, 23/1). Kalangan pengusaha melalui Ketua
Apindo Sofjan Wanandi mengklaim banjir menyebabkan pengusaha merugi sampai
Rp1 triliun (Metro TV, 22/1).
Banjir memberikan pesan bahwa kita harus lebih
berhati-hati terhadap alam. Semua pihak, kaya atau miskin, di daerah elite
atau daerah kumuh, merasakan dampaknya, tidak terkecuali para pengusaha.
Banjir menyebabkan terhentinya roda produksi barang maupun jasa, terhambatnya
distribusi barang atau jasa, maupun turunnya tingkat konsumsi masyarakat yang
berpengaruh besar terhadap eksistensi dan keberlangsungan usaha para pelaku
bisnis. Pelaku bisnis atau korporasi semestinya berperan lebih aktif dalam mengatasi
banjir Jakarta, tidak hanya selalu mengeluh atas kerugian yang diderita. Dengan
kekuatan sumber daya dan modal yang dimiliki, pelaku bisnis adalah aset yang
berharga untuk membangun kembali Jakarta agar terbebas dari banjir.
Walaupun banjir telah menjadi ancaman nyata
bagi semua pihak, respons pemerintah, baik DKI Jakarta dan pusat, maupun
masyarakat termasuk para pelaku bisnis, selalu tidak menyentuh akar masalah
untuk mengatasi faktor yang menjadi penyebab banjir. Masing-masing bergerak
sendiri-sendiri tanpa ada koordinasi yang kohesif dan komprehensif. Sebagai
respons atas banjir, pemerintah selalu saja menciptakan proyek-proyek baru
yang diyakini mampu untuk mengelola dan meminimalkan dampak banjir, padahal
berbiaya tinggi dan belum tentu efektif.
Sementara kalangan bisnis bukannya
berusaha membantu untuk mengatasi dampak banjir, mereka malahan mengancam
untuk hengkang dari Jakarta. Menurut mereka, Jakarta adalah kota yang tidak
lagi kondusif untuk investasi karena ancaman banjir yang kian nyata sehingga
menyebabkan ekonomi berbiaya tinggi (Koran Tempo, 22/1). Adapun warga dengan
solidaritas sosial yang tinggi bekerja sama dengan organisasi sosial melakukan
evakuasi dan mencukupi kebutuhannya secara mandiri.
Kita harus jujur bahwa para pelaku bisnis
adalah salah satu aktor penyebab semakin akut dan masifnya banjir di Jakarta.
Untuk alasan berbisnis dan meraup profit sebanyakbanyaknya, tidak sedikit
kasus ketika pelaku bisnis bisa mengalihfungsikan ruang terbuka hijau untuk
dibangun kawasan bisnis atau perkantoran. Ataupun membangun gedung tidak
sesuai dengan standar izin keamanan lingkungan dan tata ruang. Meskipun telah
ada analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal), sudah menjadi rahasia umum
bahwa dokumen tersebut bisa dimanipulasi agar pembangunan tetap bisa
berjalan.
Para pebisnis masih sering mengabaikan
lingkungan meskipun bisnis mereka mengakibatkan pencemaran lingkungan dan
kerusakan alam (eksternalitas negatif ). Perilaku itu memang dalam jangka
pendek akan memperbesar margin keuntungan karena eksternalitas negatif tidak
dihitung sebagai biaya (cost). Namun, dalam jangka menengah dan panjang,
eksternalitas negatif tersebut berakumulasi menjadi beban dan biaya yang
tinggi, berupa kerusakan lingkungan, misalnya banjir, yang mengganggu
keberlanjutan bahkan akan mematikan bisnisnya.
Para pelaku bisnis harus membangun empati
terhadap warga yang terdampak oleh banjir. Tidak etis jika pada saat puluhan
ribu pengungsi tinggal di tenda-tenda darurat dan dengan kebutuhan dasar yang
sangat minim, para pelaku bisnis masih komplain, bahwa banjir telah
menyebabkan turunnya omzet bisnis maupun keuntungan akibat terhentinya
produksi, baik karena pabrik terendam banjir maupun karena karyawan tidak
bisa masuk kerja.
Dalam kebijakan pengurangan risiko bencana (disaster risk reduction), para pelaku
bisnis jangan memakai kacamata kuda dalam menjalankan bisnis. Bisnis, jika
tidak dikelola sesuai dengan stan dar keamanan lingkungan yang benar, menjadi
salah satu titik keren tanan yang memperparah bencana banjir.
Di sisi lain, pelaku bisnis adalah salah satu
pilar penting dalam penanganan bencana dan mempunyai kewajiban moral untuk
menjaga keseimbangan lingkungan dan membantu masyarakat menghadapi bencana.
Pelaku bisnis harus mampu untuk memastikan bahwa usahanya tidak akan
berdampak negatif bagi lingkungan dan memosisikan lingkungan sebagai aset
bagi investasinya. Jika bisnis berdampak pada lingkungan, harus ada
kompensasi dan atau mitigasi agar keseimbangan ekosistem tetap terjaga.
Para pelaku bisnis harus mulai membangun
kesadaran di komunitas mereka bahwa hilangnya ruang terbuka hijau yang hanya
tinggal kurang dari 10% di Jakarta dan rusaknya daerah aliran sungai (DAS)
adalah persoalan serius. Karena itu, mesti direspons dan ditangani secara
bersama. Para pelaku bisnis harus bertanggung jawab dan mengambil
langkah-langkah untuk merestorasi hilangnya ruang terbuka hijau tersebut. Jakarta
adalah muara dari sekitar 13 DAS yang semuanya mengalami kerusakan parah akibat
sedimentasi maupun direklamasi untuk ekspansi perumahan atau pertanian.
Dalam konteks untuk membangun kerja sama
daerah hulu dan hilir, para pelaku bisnis juga mestinya berperan secara
aktif. Betapapun upaya untuk membangun infrastruktur pengendali banjir
dilakukan dengan menghabiskan biaya ratusan triliun, itu tidak akan bisa
menuntaskan persoalan jika tidak paralel dengan perluasan ruang terbuka hijau
dan penataan DAS yang melibatkan daerah hulu dan hilir.
Peran dan partisipasi dari para pelaku bisnis harus
ditingkatkan sebagai bagian dari tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility).
Keberlangsungan bisnis mereka di Jakarta
sangat bergantung pada bagaimana banjir dikelola dan diantisipasi. Hutan di
hulu adalah aset yang menyediakan jasa lingkungan (environment services), di antaranya untuk menyerap air dan
mencegah banjir. Untuk itu, pelaku bisnis semestinya terlibat untuk melakukan
konservasi hutan dan lahan di daerah hulu maupun memberdayakan sosial,
ekonomi, dan budaya masyarakat di kawasan hulu. Solidaritas antara masyarakat
di hulu dan hilir juga harus dibangun untuk membangun kesepahaman bahwa
kelestarian alam merupakan tanggung jawab bersama, termasuk pada pelaku
bisnis. Dengan demikian, solusi untuk mengatasi banjir akan berjalan sinergis
melalui kerja sama antara pemerintah, masyarakat, dan para pelaku bisnis. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar