|
KOMPAS,
29 Januari 2013
Salah satu penyakit
ekonomi serius yang dihadapi Indonesia adalah ketimpangan yang meningkat
cukup tinggi selama 10 tahun terakhir, tecermin dari angka terakhir Rasio
Gini 0,41.
Sejumlah analis
mengatakan, angka ketimpangan dalam kenyataannya lebih tinggi lagi karena
indikator pengeluaran bias dan tak sensitif terhadap pengeluaran nyata
kelompok masyarakat menengah ke atas. Memburuknya ketimpangan sejalan dengan
statistik yang menunjukkan kecenderungan peningkatan keparahan kemiskinan.
Berbagai pihak mengaitkan ketimpangan dengan pola pembangunan yang tak
berpihak ke kelompok miskin. Seberapa seriuskah masalah ketimpangan yang kita
hadapi?
Ada tiga perspektif dalam
melihat ketimpangan. Pertama, semata sebagai gambaran distribusi hasil
pembangunan. Dari angka ketimpangan terlihat berapa persen penduduk dalam
strata pendapatan atas, menengah, dan rendah menguasai aset dalam masyarakat.
Perspektif ini baru memberi gambaran persentase, karena arti dan akibat
ketimpangan dalam konteks suatu negara belum terlihat. Bisa saja angka
ketimpangan tinggi terjadi di negara berpendapatan nasional cukup tinggi
dengan angka orang miskin kecil, seperti terjadi di negara industri maju
sebelum krisis. Jika ada isu moral yang muncul adalah keadilan. Pada tingkat
kebijakan, angka ketimpangan biasanya digunakan untuk menilai persebaran
pajak dan subsidi. Di Indonesia, contohnya, subsidi BBM yang diletakkan dalam
tarik-menarik antara efisiensi dan dampak ke golongan bawah. Sering karena
perspektif ini sederhana, pengambil kebijakan mengambil tindakan sederhana
seperti pemberian pelbagai subsidi bagi orang miskin.
Perspektif kedua, melihat
ketimpangan dalam konteks kaitan antara sektor dengan tingkat pertumbuhan
tinggi atau sektor yang menjadi basis ekonomi kelas menengah atas dengan
kegiatan ekonomi rakyat lemah. Perspektif ini lebih kompleks karena sudah
menganalisis sektor ekonomi yang ada dalam masyarakat. Isu moralnya, seberapa
jauh sektor ”kelas atas” mendapat kemudahan dalam kebijakan pemerintah; atau,
seberapa jauh sektor ”atas” meneteskan pertumbuhan ke sektor rakyat.
Di Indonesia perspektif
ini berguna untuk melihat untung- rugi mempunyai basis ekonomi berdasarkan
ekstraksi SDA. Ekspor Indonesia masih bergantung komoditas SDA yang 65,2
persen dari total ekspor. Sektor ini mencerminkan ketimpangan karena bersifat
rantai pendek, artinya tak banyak sektor lain yang digerakkan olehnya.
Penyerapan tenaga kerja terbatas karena sifatnya terstruktur ketat dan dijual
ke luar negeri dengan pengolahan minim. Ini berbeda dari manufaktur yang
perlu lebih banyak kaitan dengan sektor lain.
Sektor pertambangan tak
secara langsung mencekik sumber daya publik yang diperlukan industri lain,
tetapi industri ekstraktif membuat pemerintah malas membangun industri
manufaktur yang lebih sulit. Laporan Bank Dunia menyebutkan terjadinya
penyusutan industri manufaktur, terutama sektor yang pernah jadi unggulan
(garmen, alas kaki). Di Indonesia, industri ekstraktif bahkan jadi alat
pembiayaan politik partai dan pemimpin daerah. Laporan ini juga menyebutkan
kemungkinan dampak ketimpangan harga dan pendapatan dari signifikannya
industri ekstraktif.
Perspektif ketiga, melihat
ketimpangan dari karakter pelayanan publik. Ketimpangan muncul karena
pelayanan publik yang buruk bagi kalangan bawah seperti pendidikan, pelayanan
kesehatan, air bersih, akses kredit. Ini membuat mereka tak bisa bersaing dan
meningkatkan taraf hidup. Perspektif ini memberi kemungkinan analisis lebih
luas seperti ketimpangan sosial. Misalnya, tingkat pendidikan dan pengetahuan
kalangan bawah menghambat mereka masuk ke institusi keuangan modern.
Perspektif ini memberi
kemungkinan melihat masalah pelayanan publik bukan hanya persoalan pengadaan,
melainkan kesesuaian dan kualitas. Sekolah seperti apakah yang disediakan
bagi golongan miskin? Apakah sesuai kebutuhan untuk menghadapi tantangan hidup
mereka? Apakah sekolah keterampilan sebagai alternatif sekolah umum sudah
tersedia dan relevan dengan kebutuhan? Balai latihan kerja milik pemerintah
jauh dari memadai dan tidak kontekstual. Puskesmas tak mampu jadi pusat
kesehatan masyarakat yang memberikan pelayanan agar rakyat miskin jauh dari
penyakit.
Cara terbaik memahami
ketimpangan agar dapat mengambil kebijakan tepat adalah menggunakan ketiga
perspektif. Perspektif pertama sebagai dasar informasi, perspektif kedua
untuk memahami struktur ekonomi, dan perspektif ketiga untuk mengetahui aspek
institusional dalam pembangunan. Bahkan, OECD dalam pertemuan tahun lalu
masih mengingatkan bekerjanya faktor institusional dalam ketimpangan.
Kebijakan mengatasi ketimpangan bisa dilakukan sejalan kebijakan pembangunan
ekonomi seperti program pelatihan yang kontekstual dengan menggunakan dana
pendidikan yang besar itu. Pemerintah juga bisa memperbaiki institusi pasar
bagi ekonomi rakyat, dan ini jauh lebih baik dibanding skema pemberian kredit
selama ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar