Stimulus
Ekonomi Pascabanjir
Edy Purwo Saputro ; Dosen di Fakultas
Ekonomi Universitas Muhammadiyah Solo
|
REPUBLIKA,
19 Januari 2013
Banjir kembali melanda
Jakarta dan memicu dampak makro, yaitu sosial-ekonomi. Bahkan, diberitakan sejumlah
pusat perniagaan terpaksa tidak dapat melakukan transaksi karena akses ke
tempat-tempat pusat perniagaan terputus. Tentunya ini memicu kerugian yang
tak kecil.
Bencana banjir di Jakarta
yang cenderung rutin setiap tahun memicu nilai kerugian yang sangat besar.
Oleh karena itu, penanganan pascabencana haruslah secepatnya dilakukan oleh
pemerintah pusat atau terutama pemerintah daerah. Tindakan cepat tanggap ini
dimaksudkan agar sektor riil yang juga melibatkan sektor informal bisa bangkit,
sehingga kinerja perekonomian pascabencana bisa dipulihkan.
Di satu sisi, hal ini
tentunya butuh pendanaan yang tidak kecil dan di sisi lain kendala pendanaan
menjadi alasan klasik di semua bentuk penanganan pascabencana. Selain itu,
yang juga penting ialah bagaimana meminimalisasi terjadinya bencana tahunan
ini agar kemudian hari tidak terulang lagi.
Keterkaitan
Salah satu aspek
penting dari setiap kasus bencana, termasuk bencana tahunan banjir di Jakarta
adalah bantuan pendanaan bagi para korban. Bagaimanapun juga, korban banjir
di Jakarta sangat beragam, terutama didominasi oleh pelaku sektor informal
dan UKM. Di balik urgensi pendanaan itu, masyarakat lebih sering
mendengar kasus penyimpangan pelaksanaan program dan dugaan penyelewengan
bantuan. Pada akhirnya, korban tidak terbantu.
Seperti halnya yang terjadi pada bencana gempa di Yogyakarta-Jawa Tengah.
Pemerintah dengan bantuan dari internasional menyiapkan dana triliunan rupiah untuk memulihkan kehidupan masyarakat yang terkena gempa. Sayangnya, kelemahan dalam pengelolaan terus menggelayuti pemerintah. Fakta yang ada, sejumlah dana untuk korban juga banyak yang menguap entah kemana.
Berkaca dari kasus
Aceh dan bencana lain di berbagai daerah, rehabilitasi bencana harus bisa
lebih proaktif agar berbagai kesalahan yang pernah terjadi sebelumnya tidak
terulang. Sayangnya, sampai kini ternyata ada indikasi bahwa kesalahan
alokasi bantuan juga muncul. Paling tidak, ini terlihat dari pemberitaan di
mana masih ada korban yang belum tersentuh bantuan.
Oleh karena itu,
sangatlah beralasan jika kemudian ada inisiatif dari para korban bencana
mengirim berita ke berbagai media tentang belum diterimanya bantuan. Sikap
proaktif ini juga diikuti masyarakat yang berkenan memberi sumbangan moral
atau material secara langsung kepada korban, tanpa melalui jalur posko-posko
bantuan yang memang merebak di daerah bencana.
Tanpa bermaksud
berprasangka bu- ruk bahwa keberadaan posko-posko tersebut memang di satu
sisi memberi kontribusi positif, tetapi di sisi lain ada juga rumor negatif
bahwa posko-posko tersebut tidak menyalurkan sumbangan secara tepat. Di balik
kontroversi ini, bisa beralasan jika kemudian banyak masyarakat yang
menyalurkan sendiri bantuannya secara langsung kepada korban. Tindakan ini
juga dilakukan sejumlah perusahaan.
Ini pada dasarnya
menunjukkan adanya implementasi riil atas tuntutan atau bentuk tanggung jawab
sosial perusahaan (corporate social
responsibility (CSR). Selain publisitas, fakta menunjukkan bahwa komitmen
CSR di Indonesia bukan sesuatu yang baru sebab sudah banyak pihak
menyosialisasikan CSR bagi perusahaan, yaitu selain untuk menjaga nilai
kontinuitas, juga membangun legitimasi sosial. Bahkan, ada yang meyakini CSR
adalah bagian dari filosofis etika bisnis.
Ada beberapa masalah
pokok ekonomi yang harus dipecahkan secara sistematik terkait manajemen
bencana bagi percepatan pemulihan sektor riil, terutama yang berbasiskan
ekonomi kerakyatan --sektor informal (Sugema, 2006). Pertama, harus ada upaya
mengurangi beban dunia usaha, terutama sektor informal-- UKM yang berbasis
ekonomi kerakyatan. Ini bukanlah perkara belas kasihan atau alasan
kemanusiaan, tapi ini adalah perkara riil dunia usaha.
Kedua, harus ada skema
riil untuk memudahkan dunia usaha, terutama sektor informal--UKM untuk
memulai kembali usaha. Jika sektor ini sudah mulai bergerak, akan ada
kemampuan rumah tangga untuk menolong diri sendiri.
Ketiga, fasilitas-fasilitas dasar ekonomi harus cepat diperbaiki dan dibangun. Mungkin bisa dimulai membangun pasar darurat yang sederhana. Fasilitas listrik, telekomunikasi, dan air bersih juga harus cepat ditangani. Berikutnya yang terpenting, yaitu memberikan dorongan untuk kembali bekerja dan berusaha agar ada harapan untuk bangkit.
Keempat, proses
rekonstruksi secara permanen. Tahap ini sesungguhnya menciptakan kesempatan
berusaha dan bekerja yang lebih luas. Kelima, masyarakat keseluruhan mungkin
juga bisa membantu mempercepat pemulihan ekonomi di daerah bencana. Bantuan
bisa berbagai macam sesuai kemampuan sebab yang terpenting, yaitu bagaimana
para korban bencana tergugah untuk bisa kembali bangkit berusaha dan bekerja.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar