Minggu, 20 Januari 2013

Stimulus Ekonomi Pascabanjir


Stimulus Ekonomi Pascabanjir
Edy Purwo Saputro ;  Dosen di Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Solo 
REPUBLIKA, 19 Januari 2013



Banjir kembali melanda Jakarta dan memicu dampak makro, yaitu sosial-ekonomi. Bahkan, diberitakan sejumlah pusat perniagaan terpaksa tidak dapat melakukan transaksi karena akses ke tempat-tempat pusat perniagaan terputus. Tentunya ini memicu kerugian yang tak kecil. 

Bencana banjir di Jakarta yang cenderung rutin setiap tahun memicu nilai kerugian yang sangat besar. Oleh karena itu, penanganan pascabencana haruslah secepatnya dilakukan oleh pemerintah pusat atau terutama pemerintah daerah. Tindakan cepat tanggap ini dimaksudkan agar sektor riil yang juga melibatkan sektor informal bisa bangkit, sehingga kinerja perekonomian pascabencana bisa dipulihkan.

Di satu sisi, hal ini tentunya butuh pendanaan yang tidak kecil dan di sisi lain kendala pendanaan menjadi alasan klasik di semua bentuk penanganan pascabencana. Selain itu, yang juga penting ialah bagaimana meminimalisasi terjadinya bencana tahunan ini agar kemudian hari tidak terulang lagi.

Keterkaitan

Salah satu aspek penting dari setiap kasus bencana, termasuk bencana tahunan banjir di Jakarta adalah bantuan pendanaan bagi para korban. Bagaimanapun juga, korban banjir di Jakarta sangat beragam, terutama didominasi oleh pelaku sektor informal dan UKM. Di balik urgensi pendanaan itu, masyarakat lebih sering mendengar kasus penyimpangan pelaksanaan program dan dugaan penyelewengan bantuan. Pada akhirnya, korban tidak terbantu.

Seperti halnya yang terjadi pada bencana gempa di Yogyakarta-Jawa Tengah.
Pemerintah dengan bantuan dari internasional menyiapkan dana triliunan rupiah untuk memulihkan kehidupan masyarakat yang terkena gempa. Sayangnya, kelemahan dalam pengelolaan terus menggelayuti pemerintah. Fakta yang ada, sejumlah dana untuk korban juga banyak yang menguap entah kemana.

Berkaca dari kasus Aceh dan bencana lain di berbagai daerah, rehabilitasi bencana harus bisa lebih proaktif agar berbagai kesalahan yang pernah terjadi sebelumnya tidak terulang. Sayangnya, sampai kini ternyata ada indikasi bahwa kesalahan alokasi bantuan juga muncul. Paling tidak, ini terlihat dari pemberitaan di mana masih ada korban yang belum tersentuh bantuan. 

Oleh karena itu, sangatlah beralasan jika kemudian ada inisiatif dari para korban bencana mengirim berita ke berbagai media tentang belum diterimanya bantuan. Sikap proaktif ini juga diikuti masyarakat yang berkenan memberi sumbangan moral atau material secara langsung kepada korban, tanpa melalui jalur posko-posko bantuan yang memang merebak di daerah bencana.

Tanpa bermaksud berprasangka bu- ruk bahwa keberadaan posko-posko tersebut memang di satu sisi memberi kontribusi positif, tetapi di sisi lain ada juga rumor negatif bahwa posko-posko tersebut tidak menyalurkan sumbangan secara tepat. Di balik kontroversi ini, bisa beralasan jika kemudian banyak masyarakat yang menyalurkan sendiri bantuannya secara langsung kepada korban. Tindakan ini juga dilakukan sejumlah perusahaan.

Ini pada dasarnya menunjukkan adanya implementasi riil atas tuntutan atau bentuk tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility (CSR). Selain publisitas, fakta menunjukkan bahwa komitmen CSR di Indonesia bukan sesuatu yang baru sebab sudah banyak pihak menyosialisasikan CSR bagi perusahaan, yaitu selain untuk menjaga nilai kontinuitas, juga membangun legitimasi sosial. Bahkan, ada yang meyakini CSR adalah bagian dari filosofis etika bisnis.

Ada beberapa masalah pokok ekonomi yang harus dipecahkan secara sistematik terkait manajemen bencana bagi percepatan pemulihan sektor riil, terutama yang berbasiskan ekonomi kerakyatan --sektor informal (Sugema, 2006). Pertama, harus ada upaya mengurangi beban dunia usaha, terutama sektor informal-- UKM yang berbasis ekonomi kerakyatan. Ini bukanlah perkara belas kasihan atau alasan kemanusiaan, tapi ini adalah perkara riil dunia usaha. 

Kedua, harus ada skema riil untuk memudahkan dunia usaha, terutama sektor informal--UKM untuk memulai kembali usaha. Jika sektor ini sudah mulai bergerak, akan ada kemampuan rumah tangga untuk menolong diri sendiri.
Ketiga, fasilitas-fasilitas dasar ekonomi harus cepat diperbaiki dan dibangun. Mungkin bisa dimulai membangun pasar darurat yang sederhana. Fasilitas listrik, telekomunikasi, dan air bersih juga harus cepat ditangani. Berikutnya yang terpenting, yaitu memberikan dorongan untuk kembali bekerja dan berusaha agar ada harapan untuk bangkit. 

Keempat, proses rekonstruksi secara permanen. Tahap ini sesungguhnya menciptakan kesempatan berusaha dan bekerja yang lebih luas. Kelima, masyarakat keseluruhan mungkin juga bisa membantu mempercepat pemulihan ekonomi di daerah bencana. Bantuan bisa berbagai macam sesuai kemampuan sebab yang terpenting, yaitu bagaimana para korban bencana tergugah untuk bisa kembali bangkit berusaha dan bekerja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar