|
KOMPAS,
26 Januari 2013
Nelson Mandela pernah
menuturkan bahwa pendidikan adalah senjata yang paling ampuh yang dapat
digunakan untuk mengubah wajah dunia.
Singapura,
meski tak memiliki sumber kekayaan alam yang memadai—lebih kecil daripada
Pulau Samosir di tengah Danau Toba, bahkan tak memiliki sumber air minum,
menjadi negara yang termasuk paling sejahtera dan maju di dunia. Sebab,
negara ini telah berhasil mengelola pendidikannya dengan baik.
Demikian
pula Korea Selatan. Di awal 1970-an, pendapatan per kapita Korsel di bawah
100 dollar AS, sementara Filipina 700 dollar AS. Saat ini pendapatan per
kapita Korsel sudah 28.900 dollar AS, sedangkan Filipina hanya 3.800 dollar
AS (World Fact, 2011). Keberhasilan Korea memajukan pendidikan telah
mengantarnya dari tujuh kali lebih miskin menjadi tujuh kali lebih sejahtera
daripada Filipina dalam waktu yang relatif singkat.
Atas
kesadaran pentingnya memajukan pendidikan, sejak 2002 Indonesia telah
menetapkan anggaran pendidikannya minimal 20 persen dari total APBN/APBD.
Komitmen ini sungguh luar biasa karena diambil di tengah kekisruhan tatanan
politik global sebagai dampak tragedi 11 September 2001.
Unicef
(2002) melaporkan, pascatragedi 11 September, AS, Rusia, dan China hanya
mengalokasikan 2 persen anggarannya untuk pendidikan. Pakistan bahkan hanya 1
persen. Sementara anggaran untuk militer rata-rata mendekati 40 persen.
Kecenderungan sama juga terjadi di negara-negara Timur Tengah, Asia, Afrika,
dan Eropa.
Luar
biasa! Indonesia berani memilih jalan berbeda demi masa depan anak-anak
bangsa. Hanya saja, sungguh patut disayangkan, meski anggaran pendidikan yang
dialokasikan begitu besar, output-nya secara keseluruhan amat menyedihkan.
Bahkan, jauh lebih baik ketika anggaran pendidikan belum sebesar saat ini.
Kenyataan ini mengindikasikan adanya proses pelapukan pengelolaan pendidikan
nasional. Bahkan, sejak beberapa tahun terakhir terlihat kecenderungan yang
membahayakan.
Pertama,
pendidikan nasional kelihatannya gagal berkontribusi bagi kemajuan keilmuan
dan peradaban modern. Sejak 1985 hingga 2007, penetapan Hak atas Kekayaan
Intelektual di seluruh perguruan tinggi Indonesia hanya 419. Padahal, jumlah
pendidikan tinggi di Tanah Air, yang sangat berpotensi menghasilkan
karya-karya ilmiah bagi pemajuan pembangunan bangsa dan peradaban modern umat
manusia, mendekati 4.000.
Bandingkan
Singapura yang hanya punya 5 perguruan tinggi negeri dan beberapa swasta,
tetapi menyumbangkan sekitar 10.000 hak paten. Mereka tercatat penyumbang
aplikasi hak paten di urutan ke-16 terbesar di dunia. Jepang di urutan
pertama dengan sekitar 440.000 hak paten, disusul AS dengan sekitar 390.000
hak paten, lalu diikuti China, Korea, dan Jerman (World Patent Report, 2007).
Indonesia belum tercatat dalam urutan tersebut karena belum memberi andil
bagi perkembangan peradaban modern umat manusia.
Kedua,
pengelolaan pendidikan nasional kelihatannya gagal melahirkan anak-anak
bangsa yang jujur dan berakhlak mulia. Studi oleh The Political and Economic Risk Consultancy menunjukkan, pada
awal reformasi (1999) Indonesia negara paling korup di Asia dengan skor 9,91
mengungguli India (9,1), China (9,0), dan Vietnam (8,5). Yang paling bersih
adalah Singapura dengan skor 1,55, disusul Hongkong (4,06) dan Jepang (4,25).
Dalam perjalanan panjang selama satu dekade lebih, potret suram itu tak
banyak berubah. Bahkan, 2011 kembali lagi mencapai 9,25 mengungguli India dan
Filipina, meski pada 2007 terjadi perbaikan dengan skor 7,98.
Lebih
memprihatinkan, Indonesia Corruption
Watch melaporkan, sektor pendidikan kini menempati urutan teratas angka
korupsinya, disusul sektor keuangan daerah dan sektor sosial kemasyarakatan.
Pada 2010, korupsi paling tinggi di sektor infrastruktur (85 kasus), disusul
sektor keuangan daerah (82) dan pendidikan (47). Kelihatannya, publikasi
kasus Hambalang yang begitu luas memberi efek psikologis para koruptor untuk
mulai menghindar di sektor infrastruktur, dan beralih ke sektor pendidikan
yang mungkin dinilai zona yang lebih aman.
Ketiga,
pendidikan nasional ternyata tak terlihat dampaknya pada peningkatan kualitas
SDM bangsa. Laporan UNDP 1998, Indeks Pembangunan Manusia Indonesia di urutan
ke-103. Dua tahun kemudian, posisi ini terus bergerak menurun ke-109. Sebaliknya,
Singapura menanjak dari urutan ke-34 menjadi ke-24. Bahkan, Vietnam menanjak
dari urutan ke-121 jadi ke-108 sehingga melampaui posisi Indonesia.
Keadaan
ini terus memburuk. Pada 2011 dan 2012, Indonesia di posisi ke-124 dari 187
negara di dunia, amat jauh tertinggal dari negara-negara tetangga.
Keempat,
pendidikan nasional kelihatannya gagal berperan sebagai perekat kohesi sosial
masyarakat. Tanah Air kita yang dikenal keindahan alamnya bagai zamrud
khatulistiwa, dikenal pula dengan kekayaan nilai-nilai warisan budayanya yang
tinggi, tetapi lebih satu dekade terakhir ini justru sering kali dihiasi
kerusuhan sosial, anarkisme, dan berbagai tindakan kejam lainnya. Konflik
sosial telah terjadi di berbagai wilayah, bahkan akhir-
Bertolak
dari realitas peningkatan anggaran dan proses pelapukan pendidikan tersebut,
kelihatannya kementerian ini harus sungguh-sungguh bekerja dengan data yang
akurat dan disterilkan dari transaksi politik praktis. Penyaluran bantuan
operasional pendidikan, beasiswa, dan bantuan lain yang distribusinya dikendalikan
kepentingan DPR, kepentingan politik pencitraan, atau pihak-pihak lainnya
dinilai sebagai salah satu sumber pelapukan pengelolaan pendidikan.
Sekadar
berbagi pengalaman, pada 1994, ketika bekerja sebagai konsultan internasional
UNESCO, saya membantu memajukan pendidikan masyarakat miskin di China.
Caranya sederhana, setiap bantuan disalurkan secara terbuka berdasarkan data
akurat.
Di
desa-desa miskin, rumah- rumah penduduk diberi tiga kategori warna. Jika di
keluarga itu anaknya ada yang tidak sekolah, ayah-ibunya tak punya keahlian
atau keterampilan dasar hidup dan masih ada anggota keluarga yang buta huruf,
rumahnya diberi warna merah. Kalau salah satu di antaranya sudah terpenuhi,
diberi warna kuning, dan jika ketiganya sudah terpenuhi, diberi warna hijau.
Dengan kriteria seperti itu, dapat dihindari bantuan salah sasaran sekaligus
dapat dipastikan tiap tahun sekian keluarga yang terbebas dari kemiskinan dan
berapa anak sudah menikmati pendidikan.
Semoga
dengan pengelolaan anggaran yang begitu besar dapat secepatnya terlihat
dampaknya bagi pemajuan ilmu pengetahuan, peningkatan kualitas SDM dan
kualitas moral, serta penguatan kohesi sosial. Saat ini semua itu terlihat
semakin memburuk, jauh lebih rendah dibanding ketika anggaran pendidikan
masih relatif lebih kecil. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar