|
SINDO,
29 Januari 2013
“Don’t
judge a book by its cover.”
Peribahasa tersebut benar adanya. Wajah rupawan belum tentu cerminan watak budiman. Tujuh belas orang, sebagian selebritas,disergap Badan Narkotika Nasional (BNN). Malam sebelumnya mereka diduga berpesta narkoba. Andaikan tak terbukti menyalahgunakan narkoba, namun sangat mungkin mereka tetap diseret ke proses hukum. Paling tidak, karena mengetahui namun tidak melaporkan aksi jahanam itu ke aparat hukum. Ada unsur pendorong dan unsur penarik yang biasanya selalu bisa menjelaskan sebab-musabab terperangkapnya individu dalam kelompok sesama penyalah guna narkoba. Unsur penarik adalah hasutan kelompok bahwa predikat selebritas hanya bisa didapat jika individu pemula memperagakan perilaku sama dengan anggota-anggota lain dalam kelompok tersebut. Karena narkoba telah kadung menjadi ciri perilaku dalam dunia selebritas, memakai narkoba menjadi penegas bagi siapa pun yang masuk ke dalam dunia itu. Unsur penarik bertemu dengan unsur pendorong. Di sini, provokasi kelompok deras tak bisa ditangkal karena adanya kerentanan pada diri individu sendiri. Ia tidak asertif, yaitu kemampuan untuk menolak unsur penarik tadi. Tidak adanya penolakan tidak melulu manifestasi ketidakberdayaan, melainkan juga dapat merupakan kesengajaan, yakni cara untuk masuk ke kelompok selebritas yang menyalahgunakan narkoba. Masuk ke dalam kelompok seperti itu dapat dipandang sebagai strategi, yakni dalam rangka memperluas koneksi guna memperoleh proyek. Setelah narkoba disalahgunakan, rasionalisasi para selebritas bisa beragam. Dari doping pendongkrak stamina, hingga stimulan pemompa kreativitas. Ditambah dengan ironi viktimisasi, bahwa mereka adalah korban yang terpaksa menggunakan sesuatu yang awalnya tak mereka ketahui bahwa itu adalah “neraka”. Stop Sanksi Edukatif Tetap tingginya statistik penyalahgunaan narkoba, termasuk kesuksesan BNN menyergap sekian banyak selebritas dalam operasi penangkapan penyalah guna narkoba (bravo untuk BNN!), meneguhkan pandangan bahwa pemberian perlakuan edukatif bagi para penyalah guna narkoba yang memenuhi kriteria tertentu merupakan kebijakan yang tidak tepat. Kebijakan tersebut memperlakukan penyalah guna narkoba secara berbeda dengan perlakuan terhadap pengedar narkoba. Pengedar narkoba dikenai pemidanaan yang punitive (memunculkan rasa sakit atau penderitaan), sedangkan pengguna narkoba dengan kriteria tertentu dipidana dengan jalan edukatif. Pengedar dibui bahkan dihukum mati, sementara pengguna—dengan kriteria tertentu—direhabilitasi. Penyalah guna narkoba ”diberi” celah untuk menyandang status sebagai korban, sedangkan pengedar narkoba sebagai pelaku kejahatan tulen. Kebijakan yang ditetapkan itu justru rentan dipersepsikan sebagai toleransi bagi siapa pun yang menyalahgunakan narkoba. Alih-alih menstimulasi penyalah guna untuk bertobat, perlakuan istimewa malah dipandang sebagai ruang untuk mencicipi narkoba. Karena itu, sudah sepatutnya kebijakan diskriminasi positif bagi penyalah guna narkoba dibatalkan. Setidaknya untuk masa sekarang, pesan perlawanan terhadap narkoba harus berspirit perang semesta: narkoba adalah kejahatan luar biasa, sehingga baik pemakai maupun penyalah guna diperlakukan laiknya kriminal murni. Karena mereka juga dipandang sementara pihak sebagai tokoh panutan, sudah sepantasnya pula para selebritas itu dikenai sanksi pemberatan. Sebagai bagian dari hukuman, andai tidak dihukum mati, mereka diharuskan melakukan kerja sosial. Sebagai perang semesta, penghukuman bagi selebritas penyalah guna narkoba bukan semata-mata aksi penegak hukum. Di samping sanksi pemidanaan yang bersifat punitive, masyarakat juga sebenarnya dapat menjatuhkan ganjaran ekstra bagi selebritas penyalah guna maupun pencandu narkoba. Seperti halnya pemiskinan koruptor,khalayak luas juga bisa menjatuhmiskinkan para selebritas kriminal. Tolak panggung pertunjukan para selebritas tersebut, tahan diri untuk tidak membeli CD ataupun kaset mereka dan ganti saluran TV yang masih menayangkan acaraacara mereka. Kebiasaan sebagian kalangan mendaulat selebritas sebagai duta pun perlu dikoreksi ulang. Demikian pula rencana partai-partai politik yang tampak kian gencar ingin merekrut selebritas (artis) sebagai pendulang suara bahkan calon kepala daerah.Contoh ekstrem kegagalan artis sebagai duta kampanye dialami BNN sendiri. Kadung melantik Roy Marten sebagai duta, BNN tragisnya menjadi bahan tertawaan publik karena sang duta justru ditangkap akibat tersangkut narkoba lagi! Bagaimanapun, saya ragu masyarakat sampai hati memberikan sanksi sosial seperti itu kepada para selebritas, termasuk selebritas penyalah guna narkoba. Sebagian dari kita memang mudah memaafkan para selebritas. Hari ini kita caci maki para selebritas narkoba. Beberapa bulan mendatang mereka kembali ”kita” elu-elukan. Allahu a’lam. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar