|
SUARA
MERDEKA, 26 Januari 2013
”Idealnya, berbagai ’’penyimpangan’’
terkait penyelenggaraan RSBI itu kita perbaiki tanpa harus membunuhnya"
SEPERTI nasib
jabang Tetuka yang begitu lahir harus menghadapi perang dahsyat Bharatayuda.
Dia cepat tumbuh dewasa karena digodok di Kawah Candradimuka. Dia memang
sakti lantaran dukungan semua ajia mantra para leluhurnya. Tapi akhirnya dia
mati muda dengan luka sekujur tubuh. Begitulah gambaran kelahiran rintisan
sekolah berstandar internasional (RSBI) yang harus mati muda penuh luka
akibat godam palu Mahkamah Konstitusi (MK)
Ada tiga
argumen yang menjadi basis perlunya mendirikan RSBI. Pertama; salah satu
strategi mendorong percepatan peningkatan mutu pendidikan di aras sekolah. Ia
diharapkan menjadi model sekolah di daerah untuk meningkatkan mutu
pendidikan. Kedua; kelahirannya berangkat dari keprihatinan tentang
banyak anak Indonesia yang harus dikirim ke luar negeri untuk mendapatkan
pendidikan yang lebih baik, yang tentu saja menguras devisa.
Ketiga; pada
era global banyak perusahaan multinasional beroperasi di Indonesia, mengambil
keuntungan dari sumber daya alam tapi anak-anak kita sulit mengakses untuk
bisa berkarier pada perusahaan tersebut yang mensyaratkan standar kompetensi
yang tidak mungkin bisa dipenuhi oleh lulusan pendidikan kita.
Menilik tujuan
awal itu, sejatinya tak ada yang salah dengan RSBI. Tujuan baik butuh metode
pencapaian yang baik pula. Tapi ada dua hal yang bisa menjadi tilikan mengapa
model sekolah itu harus mati. Pertama; meskipun bertujuan baik, landasan
hukum kehadirannya kurang kokoh, bahkan bertabrakan dengan spirit undangundang
di atasnya. Kedua; terjadi penyimpangan dalam manajemen operasional
penyelenggaraan sehingga model sekolah itu berkesan kapitalistik dan liberal.
Kapitalistik-Liberal
Tujuan-tujuan
baik yang menjadi spirit kehadirannya kurang ditopang analisis kuat untuk
melahirkan rujukan perundang-undangan sebagai pijakan operasional. Padahal
UUD 45 mengamanatkan pemerintah bertanggung jawab mencerdaskan kehidupan
bangsa. Artinya layanan pendidikan bermutu bukan hanya untuk mereka yang
berada di RSBI tapi untuk semua siswa di seluruh sekolah. Argumen ini
dikukuhkan palu MK.
Juga tentang
penggunaan Bahasa Inggris sebagai pengantar jelas bertabrakan dengan Pasal
36 UUD 45, kendati ruang publik kita saat ini penuh sesak dengan bahasa
asing. Kemunculan kesan liberalistis dan kapitalis bermula dari pemberian
kewenangan kepada pihak sekolah untuk menerima; memungut sumbangan dari orang
tua siswa. Meskipun berulangkali dikatakan pemberian sumbangan tak dikaitkan
dengan penerimaan peserta didik, nyatanya tak ada kontrol jelas.
Juga
keleluasaan pihak sekolah menentukan besaran pungutan dan cara pemungutan
telah menguatkan kesan kapitalis dan liberalistis. Celakanya, pemberian
kewenangan melakukan pungutan kurang dibarengi dengan akuntabilitas dan
transparansi penggunaan anggaran. Fakta inilah yang menjadi salah satu
amunisi ICW menggugat lewat MK.
Saat sebagian
besar sekolah masih terseok-seok kekurangan sarana dan prasarana, RSBI sudah
tampil dengan gedung megah, ruangan ber-AC, perangkat komputer dan akses
wifi. Ditambah dengan berseliwerannya mobil-mobil berstiker RSBI; jelas ini
menimbulkan antipati. Itulah sebabnya saat MK mengetuk palu, mereka yang tak
suka kepada RSBI langsung sujud syukur dan membuat tumpeng. Seburuk itukah
citra RSBI sehingga layak dibenci dan disyukuri kematiannnya?
Pelajaran
Menarik
Satu-satunya
hal yang pantas diratapi adalah kesadaran kolektif kita atas perubahan. Kita
ternyata termasuk orang yang memiliki alam bawah sadar kolektif mudah
mendendam dan suka menghancurkan. Idealnya, berbagai ’’penyimpangan’’ terkait
penyelenggaraan RSBI itu kita perbaiki tanpa harus membunuhnya.
Kita bisa
memperbaiki atau menggati penggunaan Bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar,
meniru pola Pondok Gontor yang sudah puluhan tahun membekali santri dengan
penguasaan Bahasa Inggris melalui strategi English Day? Kenapa kebencian itu membutakan kebaikan.
Bangga dan
puas bila bisa menghancurkan bukanlah sifat baik, mestinya yang harus
dikembangkan adalah sifat positif untuk selalu membangun dan
menyempurnakan.
Saat ini
kualitas hampir 90% sekolah kita masih setara dengan standar pelayanan
minimal (SPM) sehingga kekuatan pembiayaan dan pengerahan SDM pendidikan
sangat tidak memadai untuk bisa secara serentak mendorong sekolah-sekolah
tersebut mencapai peningkatan mutu yang signifikan.
Tapi keputusan
MK memberikan sejumlah pelajaran menarik. Pertama; banyak regulasi yang
menjadi pijakan penyelenggaraan RSBI, seolah-olah ditimpakan sepihak sebagai
kesalahan pemerintah, dan itu tidak adil. Model sekolah itu adalah konsekuensi
dari UU Sisdiknas yang disusun bersama dan disahkan oleh DPR. Bila sekarang
banyak anggota parlemen berkomentar miring, tentu tidak etis;
Kedua; bagi
manajer RSBI, hal ini bisa menjadi momentum introspeksi bahwa tiap amanah
harus dipertanggungjawabkan secara akuntabel dan transparan. Ketiga;
pemerhati pendidikan perlu terus mengkritisi kebijakan pendidikan, tidak
dalam niatan menghancurkan tapi membangun dan menyempurnakan supaya menjadi
lebih baik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar