|
KOMPAS,
30 Januari 2013
Kerusuhan berlatar belakang
etnis di Sumbawa Besar sangat memilukan. Lebih dari 2.000 orang terpaksa
mengungsi.
Aksi
kekerasan komunal meledak lagi pascaprahara serupa berkobar di Lampung
Selatan, akhir Oktober 2012. Kedua kasus itu merefleksikan persoalan akut
yang sedang mengancam rajutan kekitaan bangsa Indonesia, yakni gejala
mal-integrasi sosial.
Menurut
Djajadi (dikutip Nurhadiantomo, 2004:33), mal-integrasi sosial ditandai oleh
aksi-aksi kekerasan kolektif guna mengekspresikan ketidaksukaan secara
publik. Bentuknya bisa tawuran, perusakan, kerusuhan, dan penjarahan.
Lumpuhnya pihak keamanan membuat Komnas HAM dan beberapa lembaga
nonpemerintah mensinyalir pihak kepolisian sengaja membiarkan karena
institusi ini berkapasitas meredam kerusuhan.
Saya
lebih melihat bara konflik disulut oleh kegagalan reformasi birokrasi dan
lembaga politik di tingkat lokal akibat tak ada representasi etnis pada
agen-agen lokal dan keadilan akses terhadap sumber daya.
Realitas
kemajemukan etnis dan agama di negeri ini meniscayakan adanya potensi
kerentanan konflik sosial, baik dalam bentuk konflik komunal maupun
sektarian. Jacques Bertrand mencatat, konflik sosial yang terjadi dalam kurun
1990-2002 saja telah memakan 10.000 korban jiwa.
Intensitas
konflik cenderung meningkat empat tahun terakhir. Puluhan konflik sosial
sepanjang 2012 seharusnya memaksa pemerintah dan kepolisian lebih siap,
bahkan terlatih, menghadapi gejolak sosial. Namun, ternyata instrumen hukum
tidak efektif dan aparat selalu kedodoran.
Inilah
yang mendasari terbitnya Inpres Nomor 2 Tahun 2013 guna meningkatkan
efektivitas penanganan gangguan keamanan domestik dengan menekankan tanggung
jawab kepala daerah dan kepolisian. Penulis di harian ini pernah
mengingatkan, bangunan integrasi sosial bangsa akan terancam jika pemerintah
daerah dan kepolisian tak memiliki sistem deteksi dini konflik, tidak
mengurangi kesenjangan ekonomi, dan membiarkan eksklusi sosial dalam
masyarakat.
Kemarahan
komunal di Sumbawa mengisyaratkan sumbu konflik komunal sudah menjalar ke
daerah yang rendah tingkat kerentanan konfliknya. Tragisnya ini terjadi di
Kabupaten Sumbawa yang mengklaim diri ikon miniatur kemajemukan Indonesia
dengan komposisi etnis Sumbawa/Samawa 66,66 persen, Sasak 13,76 persen, Jawa
3,26 persen, Bugis 3,24 persen, Bima 2,78 persen, Bali 2,7 persen, Sunda 0,19
persen, Dompu 0,13 persen, dan lainnya 7,28 persen.
Padahal,
sejak Orde Baru, di Sumbawa nyaris tak ada amuk komunalisme, kecuali pada
November 1980 yang menyeret etnis Samawa dan etnis Bali ke dalam pusaran
konflik.
Studi
Ardiansyah (2010) memperlihatkan, dalam kurun 1970-1980 etnis Bali yang
bermigrasi ke Sumbawa berhasil mendominasi akses ekonomi, menguasai pelbagai
jabatan strategis birokrasi, dan mempraktikkan kebudayaan kelompok dalam
konfigurasi sosial ke dalam mayoritas etnis Samawa.
Formasi
ekonomi-politik ini memengaruhi pola relasi kekuasaan pusat-daerah yang
meminggirkan aktor-aktor tradisional non-negara, seperti diungkap Permana
dalam Dinamika Peran Elit Lokal Pasca Orde Baru: Studi Kasus Sumbawa (2010).
Menurut
Permana, birokrasi lokal, kekuatan militer, dan Golkar adalah penjelmaan
otoritas negara. Akibatnya, kekuasaan politik lokal menjadi monolitik dan
menyingkirkan kekuatan-kekuatan politik yang tidak terwadahi dalam struktur
politik baru. Politik sentralisasi semacam ini bermuara pada ketidakadilan
distribusi sumber daya, menegasikan integrasi budaya, dan mempertajam friksi
komunal. Konstelasi inilah yang menyulut kecemburuan etnis Sumbawa yang
merasa menjadi minoritas.
Hingga
kini, pihak kepolisian masih mengusut pelaku dan mengejar dalang kerusuhan.
Belum diketahui akar masalah kecuali hasutan masif melalui pesan berantai
(SMS) dan media sosial (Facebook)
terkait tewasnya seorang perempuan dari etnis Samawa. Yang dituduh adalah
pasangannya yang berbeda etnis.
Seperti
sudah diingatkan Bertrand, lembaga politik adalah bagian dari konteks yang
membentuk identitas etnis, bahkan mengikat konflik (2012:16). Oleh karena
itu, kerusuhan komunal serupa sangat mungkin meledak kembali, juga di tempat
lain, apabila birokrasi dan institusi politik lokal tidak memberi tempat pada
representasi etnis dan tidak adil dalam distribusi sumber daya.
Faktanya,
perjalanan hampir 15 tahun pasca-Orde Baru belum mendorong reformasi
kelembagaan dan birokrasi di tingkat lokal. Struktur politik yang masih
sentralistik telah mengeksklusi hak representasi dan akses bagi etnis-etnis
terpinggirkan dalam proses politik lokal. Hal ini bermuara pada
ketidakpastian bahkan keterancaman pada kelompok-kelompok terpinggirkan.
Dengan
kerangka ini, penyelesaian konflik sosial di Sumbawa tidak bisa berangkat
dari premis kegagalan kelompok etnis menegosiasikan identitas kulturalnya.
Mereka harus didudukkan dalam konteks kegagalan pemerintah lokal
mengembangkan proyek integrasi budaya pada ranah ekonomi dan politik. Ketiga
ranah ini hendaknya berjalan simultan dan berimbang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar