|
SUARA
MERDEKA, 30 Januari 2013
MENGAWALI
ulasan, perlu membuat sintesis sederhana terhadap beberapa orang di sekitar
kita. Ada seorang atau sekelompok yang bisa kita golongkan sebagai orang
baik. Label untuk mereka melimpah, sesuai dengan kebaikan yang mereka lakukan
atau berikan. Mereka kita kenal dengan sebutan ’’si juru adil’’ saat memutus,
’’si amanah’’ saat memimpin, dan ’’si penyabar’’ tatkala bersinggungan dengan
kepentingan pribadinya.
Mereka
selalu menyediakan alasan bagi kita untuk meluangkan ruang hati lebih lebar,
mengikuti apa yang mereka pinta. Orang demikian tersebar merata, dari strata
tinggi hingga rendah. Mereka paham benar bahwa yang terpenting dalam
kehidupan bukan jenis peran melainkan kesungguhan memerankan kehidupan.
Sebaliknya,
ada yang kita kelompokkan sebagai orang ’’sebaiknya’’. Berbeda dari kelompok
pertama, label untuk orang atau kelompok ini pun bermacam-macam: telengas,
keras hati, arogan, dan sebagainya. Selalu saja hati kita terusik untuk
mengajari mereka dengan awal artikulasi, ’’sebaiknya’’.
Sebagaimana
kelompok pertama, orang ini pun tersebar merata pada semua lapisan
eksistensi. Seolah-olah mereka lupa bahwa apa pun posisi mereka, kelebihan
yang dimiliki sejatinya merupakan atribut semu yang harus mereka kembalikan
pada ’’sang pemilik’’.
Tahun
1960 Dr Maxwell Maltzl meletakkan dasar-dasar pyscho-cybernetic. Dia menjelaskan
bahwa dalam diri manusia ada gerakan internal yang membentuk kecenderungan
menampilkan sosok pribadi tertentu.
Kecenderungan
itu membentuk kendali otomatis yang tanpa dia sadari (unconsciously) selalu memperjuangkan citra diri yang diyakini
ideal. Orang baik akan selalu memperjuangkan kebaikannya, demikian pula orang
’’sebaliknya’’.
Yang
perlu mendapatkan cukup pemahanan adalah bahwa kendali otomatis itu terbentuk
dari hasil belajar semasa kecil. Apa yang anak pelajari dari lingkungan dan
orang terdekat akan menjadi program yang kelak menjadi sistem kontrol jalan
kehidupan.
Individu
kecil yang kemudian jadi sosok matang saat dewasa, benar-benar karena faktor
pengasuhnya (orang tua dan saudara). Itu artinya bahwa seperti apa citra diri
seorang individu benar-benar sebatas modal pengetahuan yang ada di pikiran.
Berangkat
dari teori cybernetic, kita dapat
menyimpulkan bahwa seorang pemimpin lahir karena dilahirkan. Kualitas seorang
raja lahir dari keluarga (berkualitas) raja, dan jelata lahir dari kaum yang
sama.
Kehadiran
’’kasta’’ atau ’’darah’’ tertentu yang dicitrakan melekat pada sosok individu
merupakan contoh dari edukasi atau pengaderan seseorang menjadi pemimpin.
Yang menjadi persoalan adalah sudahkah materi sistem psycho-cybernetic kepemimpinan utuh diterima oleh individu calon pemimpin? Setelah memasang kendali untuk meraih kekuasaan, benarkah orang tua juga telah memasang kendali saat (anak yang kemudian menjadi dewasa) berkuasa, dan kendali ketika hendak mengakhiri kekuasaan? Perlu menggugat realitas itu mengingat Kondisi demikian perlu digugat melihat kenyataan bahwa begitu banyak pemimpin (bupati, gubernur, hingga menteri) tersandung masalah.
Jalan Menurun
Desentralisasi
kekuasaan yang digulirkan dalam paket kebijakan otda (1999) menambah panjang
deret fakta akan keberkurangan pemahaman teori cybernetic. Sejak 2004
dilaporkan lebih dari 173 kepala daerah terjerat masalah, dan 70% di
antaranya telah berkekuatan hukum tetap (Info
Publik, 17/04/12). Itu artinya mereka harus berhenti di tengah jalan,
turun dari kekuasaan. Deret itu makin panjang bila fortofolio pemimpin
ditarik lebih lebar ke jalur birokrasi dan partai.
Menjadi Reflektor
Persoalan
yang menjerat mereka beragam, umumnya mengerucut pada dua persoalan besar:
korupsi dan libido seks. Dua persoalan itu begitu lekat dengan kekuasaan;
hingga mengesankan bahwa seks dan korupsi linier dengan tingginya kekuasaan.
Artinya, makin besar kekuasaan seseorang, makin terbuka kecenderungan mereka
bergelut dengan persoalan seks dan korupsi.
Kemunduran
mantan menpora Andi Alifian Mallarangeng karena sangkaan korupsi dan upaya
pemakzulan Bupati Garut Aceng M Fikri karena pernikahan kilat menjadi bukti
kuat bahwa pemahaman cybernetic belum sempurna.
Meski terlambat, kesigapan Andi turun dari jabatan begitu ia ditetapkan
sebagai tersangka jauh lebih bermartabat dibandingkan ketika dirinya harus
menunda untuk jangka yang lebih lama.
Hal
senada berlaku pada Aceng. Demi melihat desakan kuat publik Garut, pemakzulan
terhadap dirinya oleh DPRD bisa jadi menjadi penanda positif bagi dia untuk
mengakhiri kekuasaan. Itu artinya upaya untuk melawan putusan MA melalui
pengacara (SM, 23/01/12) tak perlu diteruskan.
Dalam
perspektif hipnoterapi, kejadian (luar biasa) seorang individu dak sepenuhnya
terlepas dari pemahaman mereka. Diinginkan atau tidak, seorang individu akan
mengalami peristiwa sebatas instalasi program bawah sadar. Sinyal
kejadian telah mereka terima sebelumnya, dalam beragam bentuk namun umumnya
ditandai mobilitas publik dan ketidaknyamanan psikologis.
Teori
psycho-cybernetic bisa menjadi
reflektor bijak bagi pemimpin yang masih berkuasa. Cepat atau lambat mereka
harus melintasi jalan menurun. Turun secara elegan, turun dengan bermartabat,
atau turun terbanting, sepenuhnya jadi opsi bagi yang menjalani. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar