|
KOMPAS,
30 Januari 2013
Salah satu persoalan besar
bangsa ini di masa depan adalah menjamin ketersediaan pangan yang cukup bagi
perut semua warga.
Pada
2015, jumlah penduduk mencapai 255 juta jiwa. Dengan angka konsumsi 135
kilogram per kapita per tahun, diperlukan beras 38,49 juta ton. Untuk
menghasilkan beras sebesar itu butuh luas panen 13,38 juta hektar. Padahal,
luas panen yang tersedia hanya 12,65 juta hektar alias defisit 0,73 juta
hektar. Menurut Kementerian Pertanian, defisit luas panen 2020 mencapai 2,21
juta hektar dan membengkak jadi 3,75 juta hektar pada 2025 dan 5,38 juta
hektar pada 2030.
Dewasa
ini, lahan pertanian kian sempit. Rentang 1992-2002, laju tahunan konversi
lahan baru 110.000 hektar. Pada periode 2002-2006 melonjak menjadi 145.000
hektar per tahun. Akan tetapi, rentang 2007-2010 di Jawa saja laju konversi
rata-rata 200.000 hektar per tahun (Kompas, 24/5/2011). Lahan (sawah
beririgasi teknis, nonteknis, dan lahan kering) di Jawa pada 2007 masih 4,1
juta hektar, kini hanya tinggal 3,5 juta hektar.
Indonesia
memasuki darurat lahan pertanian pangan. Lahan sawah Indonesia hanya 8,06
juta hektar dan tegalan/kebun 12,28 juta hektar (BPS, 2009). Indonesia memang
amat tertinggal dalam penyediaan lahan pertanian, khususnya sawah. Amerika
Serikat memiliki lahan pertanian sekitar 175 juta hektar, India (161 juta),
China (143 juta), Brasil 58 (juta), Thailand (31 juta), dan Australia (50
juta). Luas lahan per kapita Indonesia 0,03 hektar. Bandingkan dengan
Australia 2,63 hektar; AS (0,61); Brasil (0,34); China (0,11); India (0,16);
Thailand (0,52); dan Vietnam (0,10) (Kementerian Pertanian, 2011).
Lahan
pertanian terancam punah. Tanpa usaha mencegah (moratorium) konversi lahan,
terutama di Jawa, ketahanan pangan bakal mengalami rongrongan serius. Selama
ini, 56-60 persen produksi padi bertumpu pada sawah-sawah subur di Jawa.
Dengan dukungan irigasi teknis, produktivitas sawah di Jawa tinggi (51,87
kuintal per hektar) ketimbang di luar Jawa (39,43 kuintal per hektar)
sehingga Jawa menghasilkan surplus beras. Selama ini, pencetakan sawah baru
oleh pemerintah rata-rata 37.000-45.000 hektar per tahun. Jika konversi lahan
tak terkendali, surplus beras tidak akan terjadi. Rawan pangan meruyak.
Tenaga kerja di sektor pertanian kehilangan pekerjaan, jumlah penganggur
meningkat. Ini akan menimbulkan kerawanan sosial.
Konversi
lahan merupakan fenomena umum selama pembangunan berlangsung. Pertumbuhan
ekonomi selangit, transformasi struktur ekonomi dan laju pertambahan penduduk
yang tinggi merupakan determinan utama konversi lahan pertanian. Semua itu
butuh tapakan lahan. Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi mendongkrak mutu
sosial-ekonomi lahan non-pertanian. Perpaduan antara permintaan dan rente
lahan non-pertanian yang terus meningkat inilah yang menyebabkan konversi
lahan berjalan masif.
Pertanyaannya,
apa kerugian konversi lahan? Sebagai negara berpenduduk besar, seperti kata
Presiden Soekarno, pangan adalah soal hidup-mati. Dalam jangka pendek,
konversi lahan seolah-olah menguntungkan secara ekonomi. Padahal, konversi
lahan yang tak terkendali jadi ancaman serius masa depan negara. Konversi
lahan membuat ketahanan pangan rapuh, produksi domestik merosot, lalu kita
akan bergantung pangan impor. Kita tahu, sebagian besar pasar pangan dunia
bersifat oligopoli, pasarnya tipis dan harganya tak stabil.
Ditilik
dari sisi mana pun, konversi lahan—terutama sawah beririgasi—amat tidak
menguntungkan. Menurut Bulog (1973), setiap satu hektar sawah di Jawa
dikonversi akan hilang dana 4.000 dollar AS untuk membuat kebun beras. Dengan
laju konversi 145.000 hektar per tahun, nilai ekonomi yang lenyap 580 juta
dollar AS (Rp 5,3 triliun) per tahun. Adapun padi yang hilang 1,3 juta ton
gabah.
Kerugian
konversi kian besar bila biaya pemeliharaan sistem irigasi dan rekayasa
kelembagaan pendukung diperhitungkan. Menurut Sumaryanto dan Tahlim
Sudaryanto, investasi mengembangkan ekosistem sawah per hektar Rp 210 juta
pada 2005. Ini belum termasuk hilangnya kesempatan kerja dan pendapatan
petani penggarap, penggilingan padi, buruh tani, industri input (pupuk, pestisida,
alat pertanian), dan sektor pedesaan lain.
Hampir
pasti, suhu udara meningkat. Potensi erosi, banjir, dan longsor lebih besar,
serta kualitas dan kuantitas air akan berkurang drastis. Dampak berganda
konversi itu tak pernah disadari karena kita hanya menilai sawah sebagai
penghasil pangan dan serat. Padahal, selain menghasilkan pangan, sawah
multifungsi, yakni menjaga ketahanan pangan, menjaga kestabilan fungsi
hidrologis daerah aliran sungai, menurunkan erosi, menyerap tenaga kerja,
memberikan keunikan dan daya tarik pedesaan, dan mempertahankan nilai-nilai
sosial budaya pedesaan.
Guna
mencegah konversi lahan tersedia payung hukum, yakni UU No 41 Tahun 2009
tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. UU ini dilengkapi
empat peraturan pemerintah dan satu peraturan menteri. Semangat peraturan ini
adalah mencegah konversi lahan pertanian. Konversi hanya untuk kepentingan
umum. Itu pun syaratnya maha-berat. Pelanggar bisa dipidana 2-7 tahun, denda
Rp 1 miliar-Rp 7 miliar.
Namun,
UU dan seperangkat PP itu masih mandul. Untuk mencegah konversi, tak cukup
cara legal-formal. Pemerintah perlu mengembangkan insentif yang lebih
menarik, seperti kebijakan teknis pertanian, penyaluran benih unggul,
bimbingan penyuluhan dan pendampingan petani, jaminan harga jual, dan pasar.
Terakhir, kebijakan penegakan hukum tanpa pandang bulu untuk mencegah
pragmatisme bisnis dan politik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar