|
SUARA
KARYA, 29 Januari 2013
Kecurigaan sudah
masuknya peredaran narkoba ke berbagai elemen strategis bangsa bukanlah tanpa
alasan. Jaringan ini termasuk salah satu jaringan kejahatan yang rapi dan
berani memasuki relung-relung kehidupan bangsa secara multi strata. Siapa
saja elemen bangsa, ditempatkan sebagai bagian dari objek yang ditargetkan
bisa disentuh atau tidak punya kekebalan dari 'invasi' kriminalisasinya.
Penelitian Irwanto
Yudiarto (2011) tentang perkembangan kejahatan global narkoba paling tidak
bisa digunakan sebagai acuan. Dalam skema modus operandi dan target mafia
narkoba secara globalitas adalah menjadikan negara-negara lembek dan konsumen
yang serba toleran, terbuka, dan gampang terbuai untuk dijadikan lintasan
produksi, transit, dan pengedaran (distribusi).
Masyarakat Indonesia
termasuk jenis masyarakat di antara model masyarakat di dunia yang gampang
terbuai dengan produk-produk yang menyenangkan dan memuaskan gaya hidupnya.
Narkoba merupakan jenis zat-zat yang tidak sekedar menjanjikan kesenangan
yang menyesatkan, namun juga membuai gaya hidupnya. Penggunanya merasa
menjadi orang hebat, modern, tidak gagal adaptasi dengan komunitas eksklusif,
dan merasa menjadi bagian dari kelas eksklusif, jika sudah mencoba dan jadi
konsumen narkoba.
Itulah yang antara
lain membuat banyak elemen berduit, khususnya generasi muda dari keluarga
mapan, menjadi kelompok sosial yang tidak mau ketinggalan menjadi konsumen
narkoba. Mereka mempunyai uang yang cukup atau bahkan lebih dari cukup untuk
belanja narkoba. Mereka pun ada di antaranya yang kemudian menggeser perannya
dari sekedar pecandu menjadi distributor atau menggandakan perannya yang
tidak sebatas penikmat, tapi juga penjual bagi teman-temannya atau
komunitasnya.
Ketika ada di antara
generasi muda itu adalah anak pejabat atau pengusaha kenamaan, maka harus
diakui kalau jaringan narkoba telah memasuki keluarga pejabat atau telah
hadir menjadi penyakit yang potensial (lambat laun) merapuhkan dan
menghancurkan keberlanjutan hidupnya. Dalam ranah demikian, bagaimana mungkin
kita tidak ikut mempraduga kalau sebenarnya jaringan narkoba telah sukses
menciptakan pasar di lingkaran keluarga pemimpin atau pejabat negeri ini?
Sebagai indikasi
lainnya, belum lama ini, kita dihebohkan oleh perilaku hakim yang tertangkap
basah mengadakan pesta narkoba. Oknum hakim ini kemudian menjelaskan, bahwa
banyak hakim di Jakarta yang seperti dirinya (sebagai pengguna narkoba),
meski kemudian penjelasannya diralat sendiri.
Temuan demikian itu
layak dijadikan bahan refleksi, bahwa sindikat pemasaran narkoba sudah
menyerang elemen-elemen strategis bangsa, mulai dari generasi muda, hakim,
maupun pilar strategis lainnya. Mereka jadi oknum akibat terseret dalam
pusaran kekuatan mafia narkoba yang sangat hebat dalam menjejakkan perilaku
bisnisnya pada sektor apa pun dan siapa pun orangnya.
Kita diingatkan
Alfredo (2012), bahwa bangsa-bangsa mana pun yang sering mengedepankan moral
dan hukum sebagai penjaga, mereka harus waspada terhadap berbagai kemungkinan
seperti yang terjadi di negara-negara di mana keberadaan mafia narkoba sangat
kuat. Negara seperti Kolombia, Meksiko, dan sejumlah negara di kawasan
Amerika Latin, tergolong gagal menjadi negara kuat karena tak sedikit aparat
penegak hukumnya berada dalam pengaruh (cengkeraman) mafioso.
Untuk mempertahankan
supremasi Mafioso, mereka ini menyebar uang dan narkoba kepada para pengambil
kebijakan yang bersangkut paut dengan politik penanggulangan narkoba. Jika
masih ada pejabat yang bersih atau berintegritas moral, pejabat ini
'dibersihkan'. Superiorisme mafia narkoba tidak takut menghadapi model
kekuasaan apa pun. Mereka selalu merasa tertantang untuk mengalahkan atau
menjinakkan siapa pun yang mencoba menghalanginya. Mereka pun memberikan
keuntungan istimewa dan berlipat-lipat pada pejabat negara atau aparat
penegak hukum yang mau memerankan dirinya sebagai mesin perluasan dan
penguatan pasar peredaran narkoba.
Mafioso itu selalu
menginginkan supaya tidak ada pejabat negara yang teguh menjadi pelindung dan
pengaman keberlanjutan hidup rakyat. Mereka tawarkan keuntungan berlimpah dan
jabatan-jabatan strategis asalkan jalur produksi, distribusi, transit, atau
aspek pendukung 'kerajaan bisnis' narkoba diamankan atau dilindungi
keberlanjutanya. Komunitas pejabat dibuatnya jadi tak teguh pendirian
(inkonsistensi) dan suka mempermainkan hukum, kebenaran, kejujuran, dan
harkat kemanusiaan.
Indonesia ini sudah
lama dikategorikan oleh sosiolog Gunnar Myrdal sebagai negara lembek (soft state), suatu bentuk negara yang
di dalamnya lebih banyak dihuni oleh pejabat atau pemimpin yang bermental
indisipliner, suka tidak jujur, kurang memedulikan kepentingan rakyat, etos
kerjanya rendah, dan gampang menyalahgunakan jabatan.
Di masyarakat seperti
disebut Myrdal itu, berbagai bentuk penyakit tidak sulit memasuki dan
menyerangnya habis-habisan. Negara tak ubahnya seperti keranjang sampah yang
dimasuki beragam model penyakit. Asalkan menguntungkan dan menyenangkan,
penyakit ini disulap atau dikemasnya menjadi 'emas' yang dimasukkan dalam
rumus-rumus ambisi dan keserakahan narkoba merupakan penyakit yang terus
menerus menghabisi generasi muda, namun masih juga diperlakukan sebagai
'emas' oleh segelintir elite strategis negeri ini.
Terbukti, mereka yang
jelas-jelas jadi aktor pembunuhan anak bangsa ini, yang sedikitnya 15 ribu
orang meninggal dunia akibat narkoba, masih juga mendapatkan kesempatan untuk
melanjutkan hidup. Ini jelas sangat tidak adil atas apa yang diperbuatnya
dibandingkan dengan sanksi hukuman yang diterimanya. Hukuman mati saja
sebenarnya belum cukup adil untuk para pembantai ini, maka menjadi tidak
manusiawi dan memartabatkan bangsa ini jika mereka masih pendapatkan
pengampunan, apalagi dengan alasan yang masih sumir. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar