|
KOMPAS,
26 Januari 2013
Belakangan ini media
sosial dalam berbagai bentuknya sering dianggap sebagai arena bebas sensor
dan longgar etika: semua orang dapat berbicara tentang apa saja, menilai
siapa saja.
Blog,
Facebook, Twitter, Blackberry messenger
group, forum media online semakin populer sebagai ruang untuk
mengekspresikan kejengkelan dan kemarahan terhadap pejabat, politisi,
pemerintah, artis, dan lain-lain, baik dengan cara yang patut dan
proporsional maupun dengan cara yang apriori, menghakimi, bahkan melecehkan.
Kian lazim terjadi, tokoh publik yang sedang menuai kontroversi menjadi bahan
ledekan, olok-olok dan sumpah-serapah di media sosial, tanpa kesempatan
mengklarifikasi dan menjernihkan persoalan.
Namun,
dalam beberapa hari terakhir, media sosial menampakkan wajah berbeda.
Terutama sekali dipraktikkan pelaku jejaring sosial di sekitar Jakarta, media
sosial bertransformasi menjadi wahana empati dan solidaritas terhadap sesama.
Olok-olok
dan komentar merendahkan berkurang drastis, penghakiman terhadap orang lain
sementara meredup, diganti- kan tindakan berbagi informasi, menghimpun
bantuan kemanusiaan, saling mengingatkan dan menguatkan saat bencana banjir
meluluhlantakkan Ibu Kota.
Bencana
banjir memberi momentum bagi munculnya sisi lain media sosial: ruang
kebersamaan dan solidaritas. Tanpa ada yang mengomando, entah siapa yang
memulai, para aktivis jejaring sosial bergerak bagaikan juru penyelamat bagi
korban banjir. Mereka memperagakan jurnalisme warga dalam pengertian yang
hakiki. Setiap individu sukarela menghimpun dan menyebarluaskan informasi
yang mendesak bagi banyak orang, berlandaskan sebuah altruisme: niat
meringankan beban orang lain.
Ketika
bencana banjir terjadi, tiba-tiba media sosial dipenuhi dengan orang-orang
yang peduli terhadap sesama, menghimpun bantuan, menawarkan uluran tangan.
Sungguh indah! Sebuah momentum yang sangat berharga tentu saja, mengingat
kita sebagai masyarakat sesungguhnya tengah digerogoti penyakit egoisme,
pragmatisme, dan sikap instrumentalistik terhadap sesama, terutama sekali
karena para pemimpin terus-menerus memberi contoh yang demikian.
Media
sosial menunjukkan pe- ran signifikan dalam penanganan bencana banjir di
Jakarta. Dalam situasi ketika banjir datang secara tak terduga-duga di
wilayah yang begitu luas dan padat penduduk, komunikasi adalah faktor yang
sangat menentukan. Komunikasi yang cepat, efisien, dan masif adalah langkah
pertama untuk menanggulangi keadaan bencana. Di sini media sosial menunjukkan
keefektifannya menyebarluaskan dan mendiskusikan situasi terbaru banjir,
kondisi korban, bantuan yang dibutuhkan, evakuasi yang diperlukan.
Keunggulan
utama media sosial adalah hiperaktualitas dan interaktivitas. Teknologi
informasi yang semakin terjangkau harganya memungkinkan semua orang merekam
peristiwa penting. Dalam sekejap, rekaman peristiwa langsung disebarkan
melalui media sosial. Jadilah kemudian rekaman peristiwa itu konsumsi bersama
yang dapat dikomentari, didiskusikan, ditindaklanjuti, atau disebarkan
melalui media lain, termasuk media massa cetak, televisi, dan radio.
Keunggulan
media sosial yang lain adalah ketiadaan batas. Media sosial tidak mengenal
strata sosial, hierarki birokratis, dan kendala struktural. Berbeda dengan
media konvensional yang masih berfokus kepada sumber resmi, elite,
berkompeten, atau populer, media sosial menempatkan setiap orang sebagai
sumber yang layak berbicara.
Dalam
konteks jurnalisme warga, media sosial menempatkan setiap orang sebagai
jurnalis. Maka, seperti yang terjadi kala bencana banjir melanda Ibu Kota,
setiap orang dapat jadi subyek di media sosial atau jadi jurnalis yang aktif
mewartakan seluk-beluk bencana yang terjadi.
Persoalannya
kemudian: bagaimana memastikan akurasi informasi atau bagaimana membendung
beredarnya informasi yang spekulatif atau bohong di media sosial. Potensi
spekulasi atau bohong ini cukup besar karena media sosial notabene adalah
sarana komunikasi langsung tanpa mekanisme moderasi dan penyuntingan.
Beredarnya
informasi bahwa Pemprov DKI memberlakukan cuti bersama saat air bah
menggenangi jalan protokoler Jakarta, 17 Januari 2013, adalah contoh faktual.
Ternyata informasi itu tidak benar dan sempat membingungkan banyak orang.
Sejauh mekanisme moderasi dan penyuntingan itu tidak dibakukan, tak pelak
lagi satu-satunya harapan adalah iktikad baik para pelaku media sosial guna
memastikan bahwa yang akan mereka sebar luaskan adalah informasi yang akurat
dan dapat dipertanggungjawabkan.
Persoalan
berikutnya: bagaimana agar potensi besar media sosial tidak dimanipulasi
untuk maksud politis tertentu. Sudah sering terjadi, unsur-unsur politik
menjadikan bencana alam momentum pencitraan diri atau, sebaliknya,
delegitimasi atas pihak lain. Ini sangat mungkin dilakukan melalui media
sosial. Terlebih-lebih jika dikaitkan dengan persiapan Pemilu 2014, menjaga
status media sosial sebagai ruang kebersamaan dan solidaritas sosial memang
pertaruhan tersendiri. ●
|
informasi yang mearik dan bermanfaat
BalasHapus