|
REPUBLIKA,
26 Januari 2013
Mahkamah Konstitusi
(MK) kembali membuat keputusan naif. Kali ini keputusan naif MK
dijatuhkan pada Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) dan Sekolah
Berstandar Internasional (SBI). Keputusan MK membubarkan RSBI dan SBI
ibarat ada seorang siswa yang kaki kanannya dilatih terus untuk menendang
bola. Akibatnya kaki kanannya lebih padat dan indah daripada kaki kirinya. Melihat
hal ini maka MK memutuskan untuk memotong kaki kanan tersebut.
Di mana kenaifan
keputusan MK itu? Pertama, alasan MK membubarkan RSBI dan SBI yang
dibacakan oleh hakim Anwar Usman tentang biaya sekolah yang cenderung mahal.
Harus diakui sebagian besar SBI/RSBI cenderung memungut biaya tambahan besar.
Kira-kira, hanya Surabaya yang menggratiskan seluruh biaya RSBI/SBI. Saya
setuju dan sependapat dengan MK agar pungutan mahal dihapuskan. Mestinya sekolah di
RSBI/SBI harus gratis seperti di sekolah negeri standar lainnya. MK dan pemerintah
harus memaksa pemerintah daerah dan pusat untuk membiayai SBI/RSBI seperti
sekolah lainnya.
Hanya, perlu dicatat,
yang cenderung tidak bisa belajar di SBI/RSBI tidak hanya anak orang miskin,
tetapi anak orang kaya (sebenarnya menengah atas dan atau menengah) pun tidak
bisa. Anak orang kaya sekali biasanya sekolah di sekolah swasta yang mahal
dan di luar negeri. Jika anak orang kaya nilai UN- nya jelek atau di bawah
persyaratan RSBI/SBI maka otomatis dia tidak bisa masuk SBI/RSBI.
Anak yang sekolah di
RSBI/SBI ditentukan oleh nilai UN dan tes masuk RSBI/SBI. Ini artinya siswa
yang diterima di RSBI/SBI ditentukan oleh kemampuan akademiknya dan bukan
semata-mata karena faktor kaya dan miskin. Kalau ternyata realitasnya
berdampak banyak yang masuk adalah anak orang kaya maka anak orang miskin
yang nilai UN-nya bagus dan hasil tes masuk RSBI/SBI bagus (harusnya) bisa
dibiayai negara.
Kalau dasar masuk
sekolah negeri, apa pun programnya, atas dasar kaya dan miskin maka MK yang
diskriminatif. Saya khawatir cara berpikir MK ini akan mengarah bahwa
anak orang kaya itu penyakit. Anak pintar itu penyakit. Mereka harus dilorot
ke belakang untuk bersama-sama anak orang miskin, anak yang dianggap kurang
cerdas, dan dianggap kurang mampu secara akademik. Padahal, realitasnya tidak seperti itu.
Kedua, MK menilai,
siswa RSBI/SBI yang banyak menggunakan bahasa Inggris itu berpotensi mengikis
kebanggaan terhadap bahasa dan budaya nasional Indonesia. Keunggulan peserta
didik yang tolak ukurnya kemampuan berbahasa asing dinilai tidak tepat. Saya
sangat setuju negara memperkuat siswa Indonesia berbahasa Indonesia.
Salah satu tujuan
pembaharuan kurikulum nasional adalah memperkuat kemampuan dan kebanggaan
bahasa dan budaya Indonesia. Seratus persen setuju untuk itu. Tetapi,
kemampuan bahasa asing harus juga diperkuat. Jika anak-anak Indonesia
menguasai bahasa Indonesia dan bahasa asing maka dia bisa mengikuti dan
menentukan pergaulan dunia.
Hakim MK harus tahu,
secara kultural, anak Indonesia-selain bagian dari budaya Indonesia-juga
bagian dari budaya dunia. Satu contoh, pada 1980-an, Mahatir Muhamad membuat
kebijakan besar tentang etnis Melayu di Malaysia. Etnis Melayu sering
kali kalah dengan etnis Cina dalam hal perdagangan, studi ke Inggris,
Australia, Amerika Serikat, dan sebagainya. Hal itu disebabkan etnis
Melayu ku rang menguasai bahasa Inggris. Karena itu, Mahatir memutuskan
untuk memberlakukan bahasa Inggris (asing) menjadi bahasa kuliah dan
sekolah.
Saat ini, banyak siswa
dan mahasiswa Malaysia etnis Melayu mahir berbahasa Inggris. Banyak orang
Melayu yang studi ke Australia, Inggris, dan negara Eropa atau Amerika
Serikat. Pertanyaannya adalah apakah mereka terkikis rasa kebangsaan dan
kebanggaannya sebagai bangsa Malaysia? Hal itu dilakukan pula oleh Pemerintah
Brunei Darussalam. Sampai hari ini ternyata bangsa Malaysia dan Brunei
Darussalam tidak terkikis nasionalismenya. Bahkan, dunia pendidikan Malaysia
dan Brunei Darussalam berkembang pesat sekali.
Amin Rais studi lama
di Amerika Serikat, begitu balik ke Indonesia sangat kritis terhadap AS.
Mohamad Hatta kuliah di Belanda, setelah pulang menjadi tokoh pergerakan
kemerdekaan. BJ Habibie perilakunya sangat Jerman Barat (Eropa atau
Barat). Begitu pulang ke Indonesia, ia mati-matian membuat pesawat terbang
untuk kebanggaan bangsa yang dirancang, dibuat, dan dibiayai oleh bangsa
Indonesia. Celakanya karya besar pesawat terbang itu diporakporandakan oleh
para politisi.
Ketiga, RSBI/SBI
dianggap hakim MK seperti penyakit tumor: harus diamputasi! Sistem pendidikan
yang bagus dan terukur itu dibubarkan dan sistemnya harus mengikuti sekolah
negeri standar lainnya. Yang sudah jalan jauh tiba-tiba ditarik kembali ke
belakang. Bukan yang belakang yang harus didorong ke depan dan yang di depan
harus diperbaiki sehingga gerbongnya bisa diisi semua lapisan masyarakat yang
berkualitas (bukan oleh ukuran kaya dan miskin). Bahkan, hakim MK Akil
Muchtar dengan sombongnya menyatakan tidak ada masa transisi. Harus langsung
dilaksanakan keputusan MK. Untung Menteri Pendidikan dan Kebudayaan cepat
"melobi" MK agar diberi masa transisi.
Menurut saya,
keputusan MK ini justru menimbulkan ketimpangan luar biasa bagi anak-anak
bangsa di kemudian hari. Anak-anak orang kaya banyak sekolah di sekolah swasta
mahal dan berkualitas. Bahkan, banyak yang disekolahkan ke Singapura,
Australia, Merika, Inggris, Kanada, dan sebagainya. Mereka sudah berkiprah di
dunia internasional: mulai bidang perdagangan, hukum, teknologi, pendidikan,
dan perbankan. Sementara itu, anak-anak negeri yang banyak itu ditahan
oleh para hakim MK agar tetap bersama-sama, guyup, dan riuh rendah di "belakang".
Mereka dipaksa untuk menjaga "budaya nasional dan bangsa" yang
dibayangkan sangat subjektif dan sempit oleh para hakim MK.
Justru keputusan MK
akan berdampak menimbulkan diskriminasi bangsa pada kemudian hari. Mereka
mentang-mentang mempunyai kekuasaan besar, keputusannya final dan mengikat.
Dalam pemikiran ini, keputusan MK tentang RSBI/SBI sangat naif dan mengerikan. ●
|
Mengenai M. Amien Rais, saya berbeda pandangan. Awalnya saya mengira sama seperti itu, dia anti Amerika. Tapi setelah dia menjadi ketua MPR, lalu MPR di zaman dia ini melakukan perubahan mendasar pada pondasi negara ini, yang kemudian buntut-buntutnya dirasakan sampai sekarang dan sampai kapan pun negara ini ada. Buntutnya bukan serasa sop buntut, tapi negara ini menjadi seperti pepatah, "hidup segan mati tak mau"... Semua menjadi kuat, semua menjadi lemah... Sehingga bisa saling menjantuhkan, atau bisa sama-sama jatuh.... Tak ada lagi sosok atau lembaga yang bisa menjadi kunci penentu untuk mengatur. Tak ada lagi yang ditakuti, tak ada lagi yang disakralkan, tak ada lagi yang dihormati. Semua gara-gara M. Amien Rais....
BalasHapus