|
SUARA
KARYA, 26 Januari 2013
Sebuah gedung dapat
berdiri tegak manakala dinding dan atapnya didirikan dengan bertumpu pada
landasan yang kokoh. Apabila landasannya rapuh, apalagi jika gedung itu tidak
bertumpu pada fondasi yang semestinya maka gedung tersebut akan rapuh dan
mudah roboh. Demikian pula pendidikan. Pendidikan yang diselenggarakan dengan
landasan yang kokoh, maka wujudnya pun akan mantap serta relatif tidak akan
terjadi kesalahan-kesalahan yang dapat merugikan. Dengan begitu, diharapkan
praktik pendidikan menjadi efisien, efektif, dan relevan dengan kebutuhan
individu serta masyarakat.
Di samping harapan
ideal akan rencana-rencana pendidikan tersebut, ada hal terselubung yang
sering tidak disadari oleh kalangan dunia pendidikan. Yakni, mengenai suatu
tindakan eksploitasi dalam sebuah proses pendidikan, di mana para peserta
didik dan para pendidik sering kali menjadi korban.
Fenomena eksploitasi
adalah keadaan di mana sumber daya dipaksa untuk memenuhi target dan tujuan
tertentu. Dalam dunia pendidikan, sumber daya dimaksud tentu saja adalah
seluruh potensi yang mendukung terjadinya proses pembelajaran. Mulai dari
murid, guru, gedung sekolah, silabus, hingga tukang kebun sekolah, dan
lain-lain.
Pemerintah sebagai
pihak yang paling berwenang dalam menyusun kebijakan-program pendidikan
melalui peraturan perundang-undangan yang telah dibuat - sebagaimana
dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas pendidikan - dalam
realitanya, pemerintah kerap terlihat berlebihan. Pemerintah cenderung banyak
menuntut para peserta didik maupun para pendidik untuk mencapai target-target
pendidikan tertentu.
Tuntutan itu acap kali
tanpa disertai dengan diselenggarakannya fasilitas pendidikan yang memadai.
Paradigma pendidikan yang mengedepankan target yang terlalu tinggi tanpa
dibarengi dengan perangkat dan infra-supra strukturnya, sebenarnya dapat
dikatakan sebuah bentuk eksploitasi pendidikan. Kesalahan paradigma itu tentu
saja secara tidak langsung sudah berlaku dan diterapkan selama ini.
Tujuan pendidikan,
tidak lain adalah sebagai sarana mengekspresikan jiwa kritis dan mengeksplorasi
potensi para peserta didik. Perlu diingat kembali, bahwa hal-hal penting
dalam dunia pendidikan adalah wahana pengembangan bakat dan minat dalam
pembentukan jati diri/karakter manusia. Seperti teori yang dilontarkan oleh
ahli Psikologi Pendidikan asal Amerika, Benyamin S Bloom yang menyatakan
bahwa tujuan pendidikan itu sesungguhnya akan mengarah pada pengembangan dan
pembentukan aspek-aspek: kognitif (pengetahuan), afektif (perasan, mental,
sikap-perilaku) dan psikomotorik (kemampuan fisik, ketrampilan motorik).
Bahwa setiap anak
didik yang meski memiliki umur yang rata-rata sama, tetapi sangat mungkin
memiliki kondisi-kesiapan yang berbeda dalam menerima dan mengembangkan bakat
yang ada di dalam dirinya.
Jadi, pada hakikatnya,
seorang peserta didik itu mempunyai potensi yang berbeda-beda, kemampuan yang
khas, dan karakteristik kepribadian yang tidak persis sama dengan peserta
didik lainnya.
Sikap Kooperatif
Perlu disadari, jika
anak yang mendapat stimulan yang berlebihan (overstimulasi), maka malah akan
menjadikan anak itu sulit atau tidak mampu bersikap kooperatif. Misalnya,
anak akan bersikap membangkang, melawan, dan sering menjadi pemberontak. Jadi
menjadi jelas, bahwa overstimulasi atau stimulasi yang berlebihan itu tidak
baik bagi anak karena akan mempengaruhi perkembangan anak.
Adanya pembedaan kelas
berdasarkan prestasi misalnya, meskipun dapat dikatakan itu baik untuk
perkembangan kemampuan motorik dan kognitifnya, namun perlu juga diperhatikan
dari segi emosi dan psiko-sosial (afektif).
Dipahami bahwa dari
aspek emosional, pembedaan-pembedaan itu cenderung akan memicu kesenjangan
antar anak. Anak akan berpikir bahwa dirinya diperlakukan berbeda terhadap
anak yang lain. Untuk itu, metode pembagian kelas dalam rangka pengembangan
kognitif peserta didik perlu diimbangi dan dikaitkan dengan analisa dan
pertimbangan emosional anak. Dengan begitu, perkembangan anak diharapkan
seimbang.
Maka, menjadi jelas,
bahwasanya paradigma yang melahirkan metode-metode dalam proses mendidik
adalah persoalan yang perlu diwaspadai. Paradigma yang melihat anak didik
sebegai objek pendidikan saja perlu dikoreksi kembali. karena dengan
paradigma tersebut telah menimbulkan metode-metode yang tidak tepat dalam
pencapaian perkembangan peserta didik.
Seperti, dengan adanya
overstimulasi yang menimbulkan penyimpangan prilaku pada anak. Meningkatkan
kewaspadaan memang menjadi kebutuhan terus menerus, apalagi dalam dunia
pendidikan sebagai penentu akan kehidupan bangsa di masa depan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar