|
KOMPAS,
26 Januari 2013
Peradaban umat manusia
tidak bisa dipisahkan dari sungai. Maka, manusia sebenarnya juga sudah lama
mengenal banjir.
Penelitian
sejarah menunjukkan, muncul dan tenggelamnya sebuah peradaban sangat
berkaitan dengan banjir. Pertanyaannya kemudian, apakah banjir harus selalu
kita takuti, atau manusia sebenarnya bisa beradaptasi mengatasi banjir?
Kenyataannya,
orang yang tinggal di pinggir sungai dan pantai dengan pasang naik dan pasang
surut air setiap hari tidak pernah risau dengan kondisi ini. Mengapa? Karena
mereka mampu mengadaptasi lingkungannya. Mereka membuat bangunan yang
disesuaikan dengan kondisi alam. Misalnya, rumah panggung atau bangunan yang
tidak mengganggu aliran air.
Hampir
setiap musim hujan, energi masyarakat Jakarta seolah habis untuk memikirkan
pengendalian banjir. Tetapi, begitu air surut, cepat lupa, secepat air banjir
mengalir ke laut.
Berdasarkan
catatan sejarah, wacana tentang pengendalian banjir di dataran Jakarta sudah
berlangsung panjang. Namun, semua mengandalkan pembuatan kanal untuk
mengalirkan air secepat mungkin ke laut.
Raja
Purnawarman (abad ke-5) membuat kanal dan membendung Sungai Candrabaga untuk
pertanian dan pengendalian banjir. Belanda yang menguasai Batavia hampir 400
tahun juga gagal total mengendalikan banjir di Jakarta. Belanda selalu
mengandalkan kanal-kanal besar untuk mengendalikan banjir.
Menurut
saya, Belanda salah membaca geografis tanah datar Jakarta yang merupakan
hasil sedimentasi Gunung Salak dan gunung-gunung di sebelah selatan, selain
tidak memperhitungkan perilaku penduduk Jakarta yang sangat multietnis dan
multiperilaku. Sangat berbeda dengan kondisi geografis dan penduduk di
Belanda.
Gagasan
pembangunan deep tunnel dari Cawang
sampai Pluit juga masih mengandalkan kanal. Wacana itu sebenarnya bukan baru
karena pada tahun 1923, Van Breen juga sudah merencanakan membuat kanal dari
sekitar Cawang sampai laut.
Dalam
pengendalian banjir, Belanda hanya memikirkan bagaimana melindungi warga
Eropa yang tinggal di Menteng dan sekitarnya. Penduduk pribumi tidak masuk
pertimbangan. Maka, pembangunan pintu air Manggarai dan kanalnya (sekarang
dikenal sebagai Kanal Barat) difokuskan untuk melindungi permukiman Menteng
dan pusat pemerintahan di Weltevreden. Begitu ada pembendungan, penduduk
pribumi di Kampung Melayu, Jatinegara, dan Tebet terkena banjir rutin.
Perilaku
ini berlangsung hingga kini. Pembangunan perumahan oleh pengembang dengan
modal besar sering tak memperhatikan dampak terhadap penduduk di sekitarnya.
Pengembang menguruk dengan mesin-mesin besar, meratakan tanah, mengubah
bentang alam, sehingga penduduk di luar perumahan sering tergenang air.
Ketika
Jokowi dilantik menjadi Gubernur DKI Jakarta tiga bulan lalu, masyarakat
berharap ia mampu mengatasi berbagai masalah termasuk mengendalikan banjir.
Dilihat dari rencana dan tahapan kerja yang disampaikan, harapan tersebut
tidak salah. Namun, Jokowi tidak bisa bergerak sendiri. Seberapa pun sumber
daya baik dana maupun pemikiran dikerahkan, Jakarta perlu dukungan Bogor,
Depok, Tangerang, dan Bekasi.
Tahun
2007, Presiden SBY yang sudah mencanangkan The Greater Jakarta ternyata hanya berhenti pada wacana. Mestinya
gagasan itu diimplementasikan dalam bentuk rencana induk menyeluruh dan
diimplementasikan bertahap mulai dari menata Rencana Tata Ruang Wilayah
Jabodetabek. Saat ini, pembangunan yang masif di wilayah Jabodetabek telah
mendesak daerah resapan air sehingga daerah hilir sungai selalu terkena
banjir kiriman.
Untuk
mengatasi banjir dan genangan dari permukiman di sekitar Jakarta, pemerintah
harus segera menerapkan rencana induk penataan sungai yang sebenarnya sudah
ada. Misalnya, membuat model bangunan yang sesuai di pinggiran sungai.
Daripada dana yang cukup besar digunakan untuk pembebasan tanah dan membangun
kanal baru yang belum tentu berhasil, lebih baik dana itu untuk
Setiap
banjir datang selalu muncul wacana pindah ibu kota. Belanda pada tahun
1850-an juga sudah berusaha mencari tempat ideal untuk menggantikan ibu kota
Batavia yang tidak sehat dan sering banjir. Kenyataannya, wacana itu tidak
pernah terwujud. Mereka hanya menggeser letak ibu kota dari kota lama Batavia
(Glodok) ke daerah Weltevreden (Monas) sekarang.
Presiden
pertama kita, Soekarno, juga mewacanakan pindah ibu kota ke Palangkaraya,
Kalimantan Tengah. Soeharto, presiden kedua, mau menggeser pusat bisnis ke
Jonggol.
Masalahnya
bukan di mana letak ibu kota, tetapi bagaimana masyarakat memperlakukan
kotanya. Saat ini hampir seluruh wilayah Indonesia, terutama di ibu kota
provinsi, sudah terkena banjir. Jadi, yang lebih penting adalah bagaimana
kita membangun manusia. Selama ini kita lebih sibuk membangun infrastruktur,
tetapi melupakan pembangunan manusia sejak di sekolah hingga pengambil
kebijakan. Untuk itulah, kampanye dan sosialisasi tentang perilaku hidup yang
bersahabat dengan alam (air) perlu dirumuskan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar