|
SINAR
HARAPAN, 26 Januari 2013
Setara Institute dalam laporan mengenai kondisi kebebasan
beragama dan berkeyakinan di Indonesia tahun 2012 mengemukakan, praktik
intoleransi, diskriminatif, dan kekerasan masih terus terjadi. Bahkan, tahun
ini terjadi peningkatan.
Dalam laporan per 15 Desember 2012 tersebut, Setara mencatat
terdapat 264 peristiwa pelanggaran kebebasan/berkeyakinan serta 371 tindakan
pelanggaran dalam perspektif HAM yang terjadi dalam kurun waktu setahun
terakhir. Peningkatan jumlah peristiwa dan tindakan intoleransi,
diskriminasi, dan kekerasan terlihat meningkat dalam kurun waktu enam tahun
terakhir.
Sekadar catatan, laporan pemantauan ini membagi empat kategori
tindakan pelanggaran, subjek hukum dan pertanggungjawaban. Pertama, tindakan
aktif negara (by commission). Kedua, tindakan pembiaran yang dilakukan oleh
negara (by omission). Ketiga, tindakan kriminal warga negara. Keempat,
tindakan intoleransi yang dilakukan oleh masyarakat.
Data mencerminkan ada peningkatan gejala
intoleransi di masyarakat karena hukum kurang optimal. Ada kesan pembiaran terhadap pelaku kekerasan. Ini mengkhawatirkan bagi keanekaragaman yang menjadi ciri khas bangsa ini.
Dibutuhkan sekarang kemauan pemerintah mengaktualisikan pilar
hidup berbangsa, yakni Pancasila, UUD 45, Bineka Tunggal Ika, dan Negara
Kesatuan. Paham memaksakan kehendak dengan menggunakan kekerasan
jika dibiarkan terus–menerus dan berkembang tanpa ada upaya untuk
menegakkan hukum bisa menciptakan keretakan hidup berbangsa dan
bernegara.
Pada akhirnya sebenarnya mengingkari empat pilar hidup berbangsa dan bernegara bernegara. Karena itu dibutuhkan kemauan dari pemerintah untuk menegakkan hukum dengan tidak pandang bulu serta tidak diskriminasii terhadap warga negara.
Hal ini harusnya bisa diaktualisasikan dalam sejumlah
tindakan. Problem bangsa saat ini adalah kehilangan
pemimpin yang memiliki kewibawaan dalam merawat pluralisme.
Karut-Marut
Aksi kekerasan terhadap rumah ibadah dan kekerasan kemanusiaan
merupakan masalah yang serius. Kegagalan negara yang mempunyai kekuatan
pemaksa (keamanan) dalam mengatasi atau mencegah kekerasan, seperti
menandakan lemahnya fungsi negara. Ironi lemahnya fungsi harus segera
dibenahi untuk meminimalkan “kebuntuan”.
Pembaruan makna atau penafsiran Pancasila harus dihidupkan.
Dibutuhkan sekarang politik dari penguasa untuk membumikan
multikultural menjadi sebuah kebijakan hidup berbangsa dan bernegara
dan mendorong dialog antaragama dan komunikasi antariman.
Dengan demikian, ini akan menjadi sesuatu yang amat berharga
dalam rangka menciptakan saling memahami dan
menghargai perbedaan. Konsep penghargaan pada masing- masing keyakinan
menjadi poin utama.
Logisnya, menganggap keyakinan sendiri paling benar adalah
ketidakdewasaan menghadapi dan memahami hakikat atau substansi agama.
Untuk membangun pergaulan agama-agama yang lebih manusiawi dan
untuk meredam potensi-potensi kekerasan umat beragama yang bisa muncul dari
klaim-klaim kebenaran sepihak itu, tampaknya jalan untuk mengatasinya adalah
dengan memperluas pandangan inklusif (terbuka) dari visi religiusitas kaum
beragama.
Ini lebih utama daripada membuat Undang-Undang
Kerukunan tetapi melupakan hal dasar pendekatan lebih humanis.
Orientasi ini harusnya diupayakan
pemerintah dalam merawat roh Bineka Tungal
Ika menjadi sebuah gugus insting guna memengaruhi cara
berpikir, bertindak, bernalar, dan berelasi antarwarga negara.
Ke depan dibutuhkan political
will pemimpin negara untuk mengembalikan roh konstitusi bagi
kehidupan bangsa ini agar bangsa mampu hidup dalam suasana yang
harmonis serta mengembalikan kembali kerukunan sejati di
mana setiap anak bangsa merasakan Indonesia rumah bersama bagi semua
orang yang tingal di negeri tercinta ini tanpa merasa didiskriminasikan.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar