|
SINDO,
30 Januari 2013
Berita
pemerkosaan sangat populer dalam beberapa hari terakhir, terutama terkait
dengan pernyataan salah satu calon hakim agung Daming Sanusi: yang memerkosa
dan diperkosa sama-sama menikmati.
Tulisan ini menyajikan sisi lain, yaitu data statistik tentang kejadian pemerkosaan. Seberapa masifkah tindak pemerkosaan, juga penganiayaan dan pembunuhan yang terjadi di Indonesia saat ini dan mengapa terjadi? Memaknai Angka Pembaca data statistik yang teliti akan dikagetkan dengan data hasil pendataan potensi desa (podes) yang dilakukan setiap tiga tahun sekali oleh BPS. Kejadian tiga jenis tindak kriminal, yaitu pemerkosaan, penganiayaan, dan pembunuhan, merambah ke desa-desa dengan spektrum yang begitu masif dan mencengangkan. Tulisan ini menyajikan data dari hasil dua podes terakhir, yaitu Podes 2008 dan Podes 2011. Pendekatan pendataan adalah desa dengan aparat desa dan tokoh masyarakat setempat sebagai narasumber utama untuk memperoleh informasi. Keunggulan pendekatan ini, untuk mengungkap sebaran kejadian pemerkosaan misalnya, dibandingkan pendekatan berbasis individu korban, terletak pada kemampuannya untuk memperoleh informasi yang faktual dan meminimalkan tersembunyinya suatu kejadian karena si korban malu untuk melaporkannya ke pihak yang berwajib. Pemerkosaan adalah tragedi mengerikan yang dapat menghapus harapan hidup manusia. Podes 2008 mengungkapkan bahwa sebanyak 2.199 desa dengan sebaran 657 desa di Jawa dan 1.542 desa di luar Jawa yang mengalami kejadian pemerkosaan di desa mereka. Di tahun 2011 sebanyak 2.122 desa melaporkan peristiwa serupa. Angka yang diperoleh dari pendekatan desa ini bukan merujuk ke jumlah peristiwa pemerkosaan, tetapi merujuk ke jumlah desa yang minimal ada satu kejadian pemerkosaan. Artinya jumlah peristiwa atau korban pemerkosaan yang sebenarnya akan lebih besar dari angkaangka yang disebutkan. Seluruh provinsi mengalaminya. Di tahun 2011, konsentrasi peristiwa pemerkosaan terjadi di Pulau Jawa yang menyebar di 708 desa. Beberapa provinsi seperti Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung, NTT, Sulawesi Utara, dan Papua mengalami intensitas pemerkosaan yang tinggi (lebih dari 60 desa di tiap provinsi tersebut melaporkan ke petugas BPS bahwa ada anggota masyarakatnya yang mengalami tindak pemerkosaan) Selain pemerkosaan, penganiayaan oleh anggota masyarakat terhadap anggota masyarakat yang lain bahkan terjadi dalam spektrum yang lebih masif. Di tahun 2008 dari 75.378 desa/kelurahan di Indonesia, ada 5.080 desa yang masyarakatnya mengalami tindak penganiayaan. Angka ini menurun di tahun 2011, tetapi masih sangat tinggi, yaitu sebanyak 4.171 desa yang melaporkan ada anggota masyarakatnya yang mengalami tindak penganiayaan. Hal yang agak sulit dipercaya bahwa di tahun 2008 terdapat 1.844 desa di Indonesia, selama setahun sebelum pendataan podes tersebut dilakukan, mengalami kejadian pembunuhan. Data terakhir ditahun 2011 memperlihatkan bahwa terdapat 1.585 desa yang mengaku bahwa di desa mereka paling tidak terjadi satu kasus pembunuhan. Kejadiannya menyebar ke seluruh wilayah. Di Pulau Jawa terdapat 420 desa yang di tahun 2011 mengalami minimal satu kejadian tindak pembunuhan. Beberapa provinsi diluar Jawa seperti Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, dan Papua adalah beberapa provinsi dengan kejadian pembunuhan di desa-desa mereka dengan frekuensi yang cukup tinggi. Refleksi Kegelapan Peradaban? Angka-angka yang dipaparkan merefleksikan bahwa Indonesia memang tengah menghadapi situasi degradasi moral yang memilukan. Bagaimana kita dapat menerangkan mengapa kejadian itu begitu masif dan menyebar secara relatif merata di seluruh wilayah Indonesia? Setidaknya ada dua hal utama yang dapat membantu menerangkan kecenderungan yang terjadi saat ini. Pertama, seperti yang dikemukakan oleh Robert D Putnam (1995), bahwa tindak kriminal termasuk pemerkosaan adalah akibat dari melemahnya modal sosial, terutama pada dimensi trust (rasa saling percaya), sense of efficacy (perasaan berharga), reciprocity (kesalingimbalbalikan pertolongan dan pemberian), serta humanity (semangat kemanusiaan) berupa toleransi dan semangat menghargai manusia yang lain. Melemahnya keempat komponen modal sosial ini mengakibatkan masyarakat kehilangan tujuan, arah, dan harapan hidup. Mereka juga terjebak pada situasi ketakutan dan kecemasan yang dipicu oleh situasi kebudayaan berupa tercabutnya nilai-nilai dan norma yang positif dari kebudayaan masyarakat. Semangat kebersamaan dalam masyarakat yang saling percaya-memercayai dan saling tolong-menolong yang membuat kehidupan setiap individu merasa bermakna mulai terkikis. Tiap individu semakin menunjukkan sikap yang penting “enak” sendiri. Kata “kita” telah berubah menjadi “aku”. “Aku”yang terpuaskan. Seiring dengan melemahnya ikatan kehidupan kolektif masyarakat, semangat kemanusiaan juga memudar. Rasa cinta kasih dan toleransi terhadap sesama semakin hari dirasakan semakin jauh. Kita rela tanpa merasa bersalah mengganggu dan mengambil hak orang lain. Serangkaian kata nihil spectre homini admirabilius (tidak ada yang paling berharga selain penghormatan terhadap manusia), yang begitu berharga dan membahana pada saat awal Renaissance Eropa, tentang perlunya penghormatan terhadap eksistensi manusia,mulai redup. Kedua, sekilas, dalam ritual, kita seolah-olah beragama, tetapi jiwa manusia Indonesia saat ini cenderung kosong dari nilai-nilai kemanusiaan yang mendasari kehadiran suatu agama. Pertanyaan besar itu tidak pernah kita jawab secara tegas. Apakah kita sebagai umat beragama merasa telah cukup untuk disebut sebagai manusia beragama dengan telah melaksanakan cara-cara berpakaian, cara naik sepeda motor dan atau dengan melaksanakan ritual-ritualnya dan turun-temurun? Sementara pada sisi yang lain, para pemeluk dan tokoh agama terkesan kurang memberi perhatian pada dimensi moralitas yang sangat mendasar seperti persoalan kemiskinan, penghancuran lingkungan, pembunuhan, penganiayaan, pemerkosaan, dan bentuk-bentuk penindasan lain yang berlangsung di pelupuk mata, di tengah masyarakat in situ (dalam komunitas)-nya. Revitalisasi Kebudayaan Pemerkosaan, penganiayaan, dan pembunuhan semakin hari cenderung telah menjadi hal biasa. Ribuan desa mengalaminya. Ribuan korban telah menghiasi angka statistik kriminal, tetapi sepertinya belum menghiasi hati kita untuk berempati secara sungguh-sungguh terhadap para korban. Kita biasa-biasa saja, bahkan kebiadaban tindak pemerkosaan kita anggap sebagai peristiwa lumrah, bahkan menggelikan: “sama-sama enak”. Hakim Daming jangan-jangan hanyalah miniatur dari mozaik besar bangsa, termasuk diri kita, dalam menyikapi korban-korban pemerkosaan dan kebiadaban lain yang terjadi. Energi integratif kebudayaan untuk mencegah berbagai tindak kebiadaban seperti pemerkosaan telah melemah. Hal ini hanya bisa terjadi pada suatu bangsa dan masyarakat yang kurang sungguh-sungguh dalam merevitalisasi kebudayaannya dan pada masyarakat beragama yang kehilangan jati diri keagamaannya. Masyarakat yang jatuh dalam kebiadaban (uncivilized society) menurut Lewis Hendry Morgan (1877) hampir sama dengan barbarian society. Di manakah kita sesungguhnya tengah berada? ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar