|
REPUBLIKA,
28 Januari 2013
Pada awalnya, dana talangan
haji ini dirasa sangat membantu jamaah untuk memenuhi kewajiban membayar
biaya haji. Tetapi, akhir-akhir ini banyak dipertanyakan mengenai kesesuaian
dana talangan haji dengan hakikat dasar ibadah haji. Dana talangan haji
merupakan salah satu produk unggulan di perbankan syariah Indonesia. Produk
ini diluncurkan untuk membantu jamaah yang belum mampu secara finansial
(dalam membayar setoran awal) untuk mendapat nomor porsi.
Sesuai Fatwa DSN MUI Nomor
29/DSN-MUI/VI/2002, perbankan atau lembaga keuangan (LK) diperbolehkan untuk
memberikan dana talangan haji kepada jamaah sesuai dengan prinsip al-Ijarah
dan al-Qardh. Sebagai konsekuensi dari talangan dana ini, bank atau LK berhak
menetapkan ujrah atau imbalan kepada nasabah.
Kementerian Agama, dalam
hal ini Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah, sedang melakukan
finalisasi regulasi bagi Bank Penerima Setoran (BPS) dalam melakukan talangan
dana haji. Berikut terdapat beberapa alasan Kementrian Agama untuk mengkaji
ulang keberadaan dana talangan haji tersebut. Pertama, salah satu syarat
wajib haji adalah mampu, seperti firman Allah SWT berikut: "Mengerjakan haji adalah kewajiban
manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan
ke Baitullah; barang siapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya
Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam." (QS
Ali Imran : 97).
Sudah jelas disebutkan
dalam ayat tersebut bahwa seseorang yang wajib berhaji adalah yang memenuhi
persyaratan kemampuan (istita'ah).
Secara finansial harus memiliki kemampuan membayar biaya perjalanan, sanggup
membayar biaya penginapan dan biaya lain yang dicakup dalam Biaya Penyelenggaraan
Ibadah Haji (BPIH), serta sanggup menyisihkan tabungan bagi keluarga yang
ditinggalkan. Jika kita bersandar pada ayat tersebut, keberadaan dana
talangan Haji dapat dijadikan alat bagi seseorang yang sebetulnya belum mampu
secara finansial dan, dengan kata lain, orang yang belum mampu tersebut
sebetulnya belum wajib baginya untuk berhaji.
Kedua, saat ini
syarat-syarat perolehan dana talangan haji perbankan sangatlah ringan dan
mudah, sehingga menggiurkan bagi mereka yang belum mampu untuk ikut mendaftar
haji. Dari hasil studi kami dengan konsultan dari Universitas Airlangga,
Surabaya, telah ditemukan dengan setoran awal Rp 500 ribu hingga Rp 2 juta
seseorang calon jamaah sudah bisa membuka rekening tabungan haji, dan dengan
tambahan Rp 2 juta sudah mendapat nomor porsi.
Padahal, ketika menyusun
fatwa mengenai pembiayaan pengurusan haji, diasumsikan bahwa jamaah wajib
dana cukup (sekitar 75 persen) dari dana setoran awal BPIH, sebelum
dinyatakan berhak mendapat dana talangan. Sayangnya, persyaratan tersebut
tidak dituliskan dalam fatwa mana pun, sehingga bank bebas menentukan jumlah
minimum setoran awal nasabah.
Ketiga, selain setoran awal yang sangat kecil, bank juga menetapkan ujrah atau imbalan yang bisa dibilang relatif besar jika dibandingkan dengan jumlah talangan yang diberikan. Dari hasil penelitian tersebut diketahui bahwa rata-rata bank menetapkan ujrah Rp 2 juta sampai Rp 3 juta per tahun, belum termasuk biaya administrasi.
Jika jamaah meminjam untuk
jangka waktu 3 tahun untuk plafon Rp 24 juta, maka ujrah yang harus
dibayarkan untuk bank sudah mencapai 30 persen dari nilai pinjamannya.
Sungguh persentase yang sangat besar. Ada bank yang menetapkan ujrah berdasarkan
suatu persentase terhadap besaran dana talangan; hal ini dipertanyakan karena
bertentangan dengan prinsip syariah.
Selain itu, jika kita lihat Fatwa DSN MUI NO: 09/DSN-MUI/IV/2000 tentang pembiayaan ijarah, pembiayaan dana talangan haji ini bisa dikatakan sedikit ambigu dalam penerapannya. Akad ijarah pada dasarnya merupakan akad penyewaan barang dan sewa atau penyediaan jasa dan upah.
Sedangkan, dalam penerapan
dana talangan haji, bank tidak menyewakan barang apa pun, kecuali uang dianggap
sebagai komoditas. Padahal, sudah jelas uang bukan komoditas, berdasarkan
prin sip syariah. Bank juga tidak menyediakan jasa apa pun karena pada
akhirnya jamaah harus mengurus prosedur pendaftaran sendiri tanpa campur
tangan bank.
Keempat, waktu tunggu
calon haji reguler saat ini berkisar antara 10 tahun hingga 15 tahun.
Keberadaan produk dana talangan haji ini dirasa berdampak pada bertambah
panjangnya jumlah antrean calon haji tersebut dari tahun ke tahun. Kontribusi
dana talangan haji juga cukup signifikan terhadap dana setoran awal jamaah
haji.
Menurut hasil kajian kami,
dalam beberapa tahun terakhir telah terkumpul dana talangan haji sebesar Rp 7
triliun, ini berarti sekitar 30 persen dari total dana setoran awal yang
terkumpul dalam 2 tahun terakhir. Bertambah panjangnya antrean tersebut
menyebabkan, pertama, kerawanan adanya intervensi pihak tertentu yang ingin
mendapatkan prio- ritas dalam mengisi sisa kuota akhir, dan kedua, kepanikan
bagi jamaah belum mampu yang melihat begitu panjangnya antrean dengan
bertindak irasional, yakni memaksa ikut serta dalam antrean tersebut.
Melihat berbagai fakta di
atas, Kementrian Agama Republik Indonesia sedang melakukan finalisasi
pengaturan BPS (Bank Penerima Setoran) untuk melaksanakan dana talangan haji
dengan opsi sebagai berikut. Pertama, jika produk talangan bertentangan dengan
ketentuan kemampuan berhaji dan menimbulkan daftar tunggu yang berlebihan,
perlu ada larangan produk talangan haji pada perbankan. Kedua, jika
produk talangan tidak bertentangan dengan fatwa MUI, Kemenag melalui kerja
sama dengan Bank Indonesia akan membuat regulasi yang mencakup, namun tidak
terbatas pada persyaratan kelayakan BPS untuk memberikan dana talangan, dan
batas maksimal talangan kepada jamaah serta persyaratan ujrah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar