|
REPUBLIKA,
28 Januari 2013
Ironis bagi Indonesia, dengan
kekayaan potensi energi yang demikian besar, namun kita selalu dihadapkan
dengan permasalahan pasokan energi dan kebijakan harganya. Produksi minyak terus
menurun, bahkan 2013 diperkirakan akan di bawah 900 ribu barel per hari. Sekalipun
produksi gas mengalami peningkatan, peningkatannya tidak memadai dengan permintaan
dalam negeri yang tinggi. Produksi batu bara juga meningkat tajam, tapi sebagian
besar untuk ekspor dan pemanfaatannya di dalam negeri belum optimal. Energi
alternatif seperti geotermal yang sebelumnya diprioritaskan, apalagi
matahari, masih jauh dari memberikan sumbangan yang memadai.
Berkaitan dengan pembangkitan
listrik, rencana mempercepat program 10 ribu megawatt (mw) berlalu dengan pencapaian yang minimal. Pasokan gas tidak
memadai bagi pembangkit listrik dan industri yang menggunakannya yang membuat
ketidakpastian sehingga banyak yang kembali ke bahan bakar minyak (BBM).
Produksi energi di Indonesia sebagian besar dilakukan oleh
perusahaan asing. Mereka mendapatkan perlakuan dan insentif khusus. Orientasi
mereka adalah pada ekspor. Dengan meningkatnya kebutuhan energi dalam negeri
dan tuntutan politis yang lebih besar dari pelaku domestik, perlakuan dan
insentif khusus pada perusahaan asing, terutama di bidang migas, dikurangi. Sementara itu, pelaku domestik belum
dapat menggantikannya secara memadai.
Konsekuensinya, kegiatan eksplorasi menurun
dan produksi minyak juga terus menurun. Akibatnya, bukan saja berkaitan
dengan permasalahan pasokan energi, tapi juga penerimaan pemerintah dari
migas cenderung menurun.
Produksi migas harus dioptimalkan, terutama untuk memenuhi
kebutuhan dalam negeri. Kita harus realistis untuk tetap memberikan insentif
yang memadai bagi perusahaan asing di bidang energi. Secara bersamaan, kita
juga harus mendukung perusahaan domestik untuk dapat berkembang dengan baik
di bidang energi dengan insentif dan pengarahan yang jelas.
Subsidi energi membengkak besar mencapai sekitar Rp 300
triliun pada 2013 melebihi belanja modal dan bantuan sosial yang sangat dibutuhkan
dalam mendorong pembangunan dan pengurangan kemiskinan. Kuota BBM selalu terlampaui
karena dengan subsidi BBM, konsumsi terus meningkat tajam, belum lagi terjadinya
penyelundupan BBM. Besarnya subsidi ini mempunyai implikasi luas pada perekonomian.
Defisit primer ialah penerimaan dikurangi pengeluaran pemerintah sebelum membayar
bunga mengalami defisit.
Besarnya impor minyak dan BBM memberikan sumbangan besar
pada defisit neraca perdagangan (ekspor dikurangi impor). Padahal, pada
masa-masa sebelumnya, ekspor migas yang membantu surplusnya neraca perdagangan.
Defisit neraca perdagangan ini juga menekan
nilai rupiah. Selama defisit
perdagangan, lebih luas defisit neraca berjalan
(yang memasukkan aliran modal) terjadi maka selama itu pula nilai rupiah akan
terus tertekan.
Bagaimanapun, subsidi BBM harus dikurangi. Jika tidak,
komplikasi pada perekonomian akan semakin besar. Pengurangan subsidi BBM ini
sebaiknya dilakukan secara bertahap dan dikompensasi dengan subsidi langsung
kepada golongan miskin untuk transportasi, pendidikan, kesehatan, dan
kesempatan kerja. Lebih baik kita melakukannya sekarang secara bertahap
daripada menunggu pada saat harga minyak tinggi dan penyesuaian harga BBM
juga harus tinggi seperti 2005.
Pembangunan pembangkit listrik dengan bahan bakar batu
bara, gas alam, dan geotermal harus terus ditingkatkan dengan target secara
realistis. Pengembangan energi geotermal adalah tepat karena hanya dapat
dimanfaatkan di dalam negeri sehingga tidak mengalami konflik antara ekspor
dan memenuhi kebutuhan di dalam negeri. Permasalahan harga dan peran serta
pemerintah daerah yang berkaitan dengan lokasi, sangat penting untuk memperlancar
pelaksanaannya.
Kebijakan harga energi, terutama gas dan batu bara, antara
ekspor dan dalam negeri juga harus diselaraskan dengan harga pasar dan
kebutuhan dalam negeri. Harganya tidak setinggi harga dunia, tetapi tetap
menguntungkan bagi pemasok energi di dalam negeri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar