|
SUARA
MERDEKA, 29 Januari 2013
"Sejatinya,
skema pinjaman modal kerja dari perbankan syariah bisa membuat lebih nyaman
pelaku usaha"
ARTIKEL Dr Mutamimah SE MSi berjudul ”Bank Syariah dan Industri Kreatif” (SM, 31/12/12) sungguh menarik dan menyentil praktisi perbankan syariah yang selama ini dinilai belum optimal dalam memberdayakan sektor riil mengingat fakta masih tingginya pembiayaan murabahah ketimbang pembiayaan musyarakah dan mudharabah.
Pembiayaan murabahah menggunakan akad jual beli atau
kurang lebih serupa dengan kredit konsumtif pada bank konvensional. Sementara
pembiayaan musyarakah dan mudharabah menggunakan akad kerja sama yang saling
menguntungkan berlandaskan kesepakatan bagi hasil.
Mengingat salah satu tujuan keberadaan bank syariah untuk
memacu pertumbuhan sektor riil guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat
maka skema pembiayaan modal kerja (musyarakah dan mudharabah) pun semestinya
lebih mendominasi.
Realitasnya, untuk mencapai kondisi itu tidak semudah
membalik telapak tangan. Dari sisi aset, pembiayaan, dan dana pihak ketiga
bank syariah, pencapaian pertumbuhan dari tahun ke tahun memang mengalami
peningkatan signifikan. Namun fakta menunjukkan market share perbankan
syariah tak kunjung bergerak hingga angka dua digit.
Bahkan untuk mencapai angka 6% saja, perlu usaha
ekstrakeras karena pada saat yang sama bank-bank konvensional pun bertumbuh
secara signifikan melalui ekspansi bisnis yang cukup tinggi. Di sisi lain,
pelaku usaha, terutama pelaku industri kreatif, belum sepenuhnya memahami
keberadaan bank syariah.
Padahal, kelak merekalah yang lebih berperan meningkatkan
porsi pembiayaan musyarakah dan mudharabah dibanding pembiayaan murabahah.
Karena belum sepenuhnya memahami keberadaan dan sistem perbankan syariah,
otomatis minat melirik bank syariah pun masih cukup minim. Faktor
”kesalahpahaman” memaknai istilah syariah, masih kental pada pelaku industri
kreatif.
Akibat banyak istilah dalam Bahasa Arab yang dianggap
kurang familiar, mereka lebih memilih mengambil kredit modal kerja pada bank
konvensional. Bahkan, ada calon nasabah berpikir negatif, yakni khawatir
tertipu jika berurusan dengan bank syariah mengingat banyak istilah Arab yang
asing bagi mereka.
Padahal sejatinya, skema pinjaman modal kerja pada bank
syariah bisa lebih membuat nyaman pelaku usaha. Semisal, mereka tak perlu
membayar angsuran, bahkan bagi hasil (margin) seandainya usaha mereka belum
menunjukkan perkembangan atau belum banyak barang dagangan yang laku, tentu
saja sesuai kesepakatan awal.
Hal itu mengingat semua transaksi bisnis pada bank syariah
didahului akad yang sebelumnya juga dimusyawarahkan demi ketercapaian
kesepakatan perihal skema pengembalian modal usaha dan progress pengembangan
usaha tersebut.
Tantangan pengembangan bank syariah memang besar. Kendati
mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim, tak mudah mengajak mereka
bermitra dengan bank syariah. Mereka mengesampingkan alasan religi atau
fondasi keagamaan, tergantikan aspek bisnis. Hanya sebagian kecil nasabah
yang loyal terhadap perbankan syariah dengan persentase 22,4%.
Dengan demikian, perlu sosialisasi dan edukasi lebih
intensif perihal keberadaan dan sistem operasional bank syariah. Tentu perlu
kreativitas tinggi untuk menyosialisasikan dan mengedukasikan. Program yang
dijalankan hingga saat ini, terutama yang dimotori Bank Indonesia, semisal
sarasehan, ekspo perbankan syariah di mal atau pusat keramaian, partisipasi
pada peringatan hari besar keagamaan, termasuk bakti sosial, sudah cukup
baik.
Edukasi Masyarakat
Namun, untuk mencapai lompatan pertumbuhan aset dan
peningkatan market share di tengah berbagai tantangan dan ancaman krisis
global, memerlukan langkah khusus dan kreatif sekaligus concern terhadap
pengedukasian terhadap kalangan muda perihal sistem bank syariah.
Pasalnya, pada masa mendatang merekalah yang akan sering
menggunakan jasa perbankan syariah. Terutama, pengedukasian intensif pada
kantong-kantong strategis, seperti himpunan pengusaha muda, atau organisasi
kepemudaan.
Pengundangan regulasi baru yang mewajibkan uang muka
pembiayaan pembelian motor/ mobil dari perusahaan pembiayaan atau
multifinance syariah minimal 20% berdasarkan Permenkeu Nomor 220/PMK.010/2012
perihal Perubahan atas Permenkeu Nomor 43/PMK.010/2012 tentang Uang Muka
Pembiayaan Konsumen untuk Kendaraan Bermotor pada Perusahaan Pembiayaan,
semestinya tak perlu diberlakukan lebih dulu. (SM, 31/12/12).
Pasalnya, selain makin memberatkan masyarakat mengingat
sebelumnya ada aturan pembatasan uang muka minimal 30% untuk pembiayaan
kepemilikan rumah (KPR), regulasi baru itu akan memengaruhi portofolio
pembiayaan pada bank syariah. Kebijakan pemerintah semestinya linier dengan
semangat mengembangkan bank syariah.
Misalnya, meningkatkan infrastruktur, mempermudah
perizinan terkait bisnis syariah, atau menghentikan pengenaan double tax pada
bank syariah.
Lebih baik lagi bila pemerintah mengenakan pajak lebih
rendah terhadap bank syariah ketimbang bank konvensional. Selain itu,
pemerintah lebih gencar lagi mengedukasi masyarakat mengenai keberadaan dan
sistem perbankan syariah demi meningkatkan perekonomian rakyat dengan cara
yang menenteramkan dan lebih berkeadilan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar