|
SINAR
HARAPAN, 30 Januari 2013
Taji perempuan kini benar-benar sedang memuncak. Betapa tidak!
Banyak pejabat publik di negeri ini yang “hanya” gara-gara memperlakukan
perempuan dengan seenaknya sendiri, mereka terjun bebas tersandera kasus
amoral, asusila hingga pelanggaran hukum akut yang mengancam jabatan publik
yang sedang diembannya.
Dua kasus aktual yakni kasus “nikah kilat” Bupati Garut Aceng
Fikri dan kasus “keseleo lidah” calon hakim agung Muhammad Daming Sunusi yang
disangka melanggar etika sebagai pejabat hukum dengan mengatakan yang “memerkosa dan diperkosa sama-sama
menikmati” sehingga pemerkosa (yang biasanya laki-laki—red) tak perlu
dihukum mati, adalah contoh nyata betapa dahsyat aura perempuan Indonesia
akhir-akhir ini.
Ketua Komisi Yudisial Eman Suparman menyebutkan, era perempuan
kini sedang menjadi hotbed pejabat
publik karena jika tidak hati-hati apalagi main-main dengan ikon perempuan,
nasib pejabat publik benar-benar di ujung tanduk. Tak hanya jabatan yang
dilengserkan publik, tetapi juga masa depan seorang pejabat tersebut secara
sosial-budaya.
Seperti diberitakan media ini, baik Aceng ataupun Daming
sama-sama merasa dikucilkan oleh lingkungan karena tabiat, tingkah polah dan
perilaku sebagai pejabat publik yang tak ramah gender dengan mudah dan ringan
“melecehkan” perempuan.
Pengakuan hakim Daming, seperti diungkapkan dalam sebuah tabloid
perempuan bahkan mengakui, di rumahnya sendiri, di dalam keluarganya sendiri
dirinya sudah “diasingkan” oleh sang istri dan kedua anak perempuannya,
gara-gara salah ucap ketika menjalami fit and proper test di DPR itu. Hingga
kini Daming pun seperti kehilangan wibawa dan kredibilitas sosialnya.
Setali tiga uang dengan nasib “merana” sang Bupati Garut, Aceng
Fikri. Ia tak hanya sudah diancam dipecat sebagai bupati dengan segala
fasilitas mewah yang selama ini menghidupi diri dan keluarganya, tetapi juga
merasakan terasing di daerahnya sendiri.
Lantaran hampir semua pendukungnya dulu (kecuali tim
pengacaranya yang membela secara membabi buta), hati dan pikirannya sudah
hampa sehingga budayawan Jawa Barat, Asep Purnama, menyebutnya sebagai
“karma” lantaran menyia-nyiakan perempuan.
Pelajaran bagi Pejabat Publik
Pakar feminisme dari Amerika, Cristine Mile dalam bukunya Beyond Woman Power’s Update (2010)
menyebutkan bahwa meskipun era perempuan sedang bergerak memperkuat
“kekuasaan” dan pengaruh politiknya di dunia laki-laki pada abad 21 ini,
disadari atau tidak, masih banyak laki-laki yang menilai maupun memperlakukan
perempuan sekadar sebagai kanca wingking pasif-submisif, objek penderita
kekuatan, kekuasaan dan kejayaan sebuah jabatan publik (khususnya yang
dipegang kaum laki-laki) sehingga memperlakukan kaum hawa sebagai aset dan
properti sang pejabat.
Paradigma gender yang berkembang belakangan tentang kesetaraan
laki-laki dan perempuan di depan hukum, sosial, politik, ekonomi dan budaya,
pun faktanya masih sekadar wacana bahkan di kalangan para pengambil
kebijakan, para pejabat publik. Kita saksikan, misalnya, dari banyaknya
regulasi negara/daerah yang memperlakukan kaum perempuan sekadar sebagai
penikmat seks-biologis—misalnya munculnya larangan “ngangkang” di Aceh.
Bukan tidak mungkin, dana lain-lain bersumber APBN/D yang
menurut BPK tak jelas penggunaannya, masuk ke kas perempuan, alias untuk “ belanja
perempuan” di kalangan pejabat kita. Sungguh memalukan!
Padahal, pejabat publik, seperti tercantum dalam UU No 28/2009
tentang penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan berwibawa, sudah
bersumpah dan menebar janji untuk menjaga etika, moral dan kepatutan sosial
di mana amanah ini juga sudah termaktub dalam UU No 32/2004 tentang
Pemerintahan Daerah.
Dalam UU tersebut, jabatan bupati/wakil dan segenap jajaran
eksekutif, legislatif daerah disebutkan (pasal 28) wajib menjunjung tinggi
etika sosial budaya, nilai agama serta norma dan nilai hukum sosial sekaligus
bekerja keras untuk menegakkannya di tengah-tengah masyarakat.
Menjunjung dan menegakkan etika sosial-budaya menurut budayawan
Emha Ainun Nadjib harus dimaknai tidak sekadar semua tabiat, etika dan
perilaku pejabat harus berdasarkan hukum positif, jelas rujukan tekstual
berdasarkan kiblat undang-undang hukum (pidana-perdata) yang sudah dijadikan
rujukan hukum negara resmi, tetapi juga perilaku, mental dan tabiat pejabat
publik yang jujur dan bersih, sopan dan ramah terhadap nilai-nilai, norma dan
etika sosial-budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat aktual
keindonesiaan.
Nilai-nilai dan etika sosial-budaya aktual keindonesiaan itu
juga antara lain adalah respons dan tuntutan publik luas terhadap nasib
perempuan, sosok terdekat dengan pejabat publik itu sendiri. Maka etika
sosial-budaya aktual yang harus dipatuhi segenap pejabat publik, para
penyelenggara negara antara lain adalah berjuang menegakkan etika, norma dan
nilai-nilai hidup kekinian yang diakui atau tidak turut memengaruhi roda
pemerintahan, pembangunan dan layanan publik.
Spirit menilai, memandang dan memperlakukan perempuan dalam
kesetaraan di hampir semua laku birokrasi pemerintahan, pembangunan dan
layanan publik demikian, tidak hanya menjadi gejala dan tren lokal-nasional
Indonesia, tetapi sudah menjadi isu global di mana siapa pun berani melanggar
etika sosial-budaya kekinian yang disebut oleh Cristine Mile sebagai the way you save civilization.
Maka lahirlah kebijakan PBB yang terus memproduksi
keputusan-keputusan global untuk dan atas nama pemberdayaan perempuan,
pengembangan potensi perempuan serta penghormatan dan penghargaan terhadap
perempuan.
Kasus kemarahan rakyat karena pemerkosaan yang mengakibatkan
kematian di India, pemecatan massal pejabat tinggi di China gara-gara
menonton pekerja seks beramai-ramai di ruang publik serta aneka kasus global
aktual yang memalukan pejabat publik hanya gara-gara memperlakukan perempuan
semaunya sendiri, semestinya menjadi pelajaran berharga kepada semua pejabat
publik di berbagai bidang untuk segera menghentikan pandangan, penilaian dan
perlakuan buruk kepada perempuan.
Oleh karena itu, menjadi amat naif, nista bahkan bisa mengancam
keamanan dan keselamatan sebuah jabatan publik yang selama ini telah
dipertaruhkan segenap pemburu jabatan publik (baik eksekutif, legislatif
ataupun yudikatif—red), jika di saat bersamaan para pejabat publik itu
meremehkan, melecehkan apalagi bertindak dengan kekerasan baik fisik atau
non-fisik terhadap sosok perempuan, siapa pun dan apa pun latar belakang
sosial, ekonomi dan politik pada partner hidup kita, perempuan.
Justru semestinya, perempuan harus kita lindungi, sayangi dan
kembang berdayakan potensi, bakat dan kemampuannya sehingga pemerintahan,
pembangunan dan pelayanan publik mau dan mampu berjalan adil dan profesional
demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Di saat bersamaan, meningkatkan dukungan, respons, perhatian dan
empati publik terhadap perempuan tidak justru meninabobokan kaum perempuan
Indonesia, tetapi harus menjadi modal sosial, politik, ekonomi, hukum dan
budaya semua komponen bangsa khususnya perempuan agar lebih berkiprah positif
di berbagai bidang dengan mengembangkan semua potensi dan kompetensi diri dan
kaumnya sehingga secara sosio-kultural mau dan mampu membebaskan diri dan
kaumnya dari berbagai ketidakadilan yang selama ini menjadi akar pelecehan,
penistaan dan aneka kekerasan terhadap perempuan.
Maka, wahai perempuan,
persenjatai diri dengan penguasaan ilmu, teknologi dan keterampilan hidup dan
tidak mudah menjadi boneka mainan peradaban. Karena hakikatnya hanya itulah
yang dapat menolong harga diri, citra dan wibawa perempuan kini dan nanti! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar