|
MEDIA
INDONESIA, 28 Januari 2013
Lihat Tulisan Sukemi yang dimuat di SINDO 22 Januari 2013 http://budisansblog.blogspot.com/2013/01/ijtihad-rsbi.html
Lihat Tulisan Sukemi yang dimuat di SINDO 22 Januari 2013 http://budisansblog.blogspot.com/2013/01/ijtihad-rsbi.html
SIDANG Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (8/1),
telah mengabulkan gugatan yang diajukan Koalisi Pendidikan ke MK. Putusan MK
itu menghapus dasar hukum sekolah negeri berlabel internasional (rintisan
sekolah bertaraf internasional/RSBI).
Dasar hukum yang terdapat dalam UU No 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), Pasal 50 ayat 3, secara
lengkap berbunyi, `Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan
sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk
dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional'.
Dasar hukum itu pulalah yang kemudian
melahirkan Permendiknas No 78 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Sekolah
Bertaraf Internasional pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah.
Bagi pemerintah, dalam hal ini Kemendikbud,
tidak ada pilihan lain kecuali mematuhi dan menghormati putusan MK tersebut,
sebagai lembaga yang memang bertugas melakukan judicial review terhadap UU yang dinilai bertentangan dengan UUD
1945. Itu sebabnya Mendikbud Mohammad Nuh, dalam kesempatan pertama
menanggapi putusan itu, menyatakan pihaknya akan patuh dan menghormati apa
yang telah diputuskan MK.
Tentu dalam perjalanannya, penghormatan dan
kepatuhan dalam menjalankan keputusan itu harus dipilah dan dipilih.
Persoalan pendidikan bukan perkara mudah seperti membalikkan telapak tangan
atau mematikan sakelar listrik on-off.
Itu sebabnya MK pun sepakat keputusan terkait
dengan penghapusan RSBI dilakukan secara bertahap. Dalam bahasa lugas
Mendikbud menyatakan RSBI tetap berjalan hingga berakhirnya semester ini.
Apalagi dalam kalimat lain dinyatakan, RSBI bukan ideologi terlarang yang
harus serta-merta dienyahkan.
Tentu apa yang disampaikan Mendikbud bukan
dalam kapasitas pembangkangan, sebagaimana disampaikan segelintir orang. Itu
lebih kepada upaya memikirkan keberlangsungan sebuah proses pendidikan yang
memang tengah berjalan. Apalagi diyakini, RSBI ialah sebuah kebijakan yang
tidak hadir dan berdiri sendiri sehingga pemerintah harus mencarikan solusi
terbaik dan tidak sekadar menutup.
Tulisan berikut ini ingin menyampaikan duduk
perkara terhadap pilihan kenapa pemerintah (Kemendikbud) mengambil langkah
transisi (bertahap) di dalam melaksanakan putusan MK.
Memang persoalannya sudah selesai ketika
Mendikbud dan Ketua MK menyampaikan pernyataan bersama tentang masa transisi
untuk menjalankan putusan MK itu. Itu artinya pemimpin MK pun memahami
kondisi riil di dunia pendidikan, utamanya di RSBI, yang telah diputuskan
bertentangan dengan konstitusi dan tidak punya kekuatan hukum mengikat.
Sebuah Cita-Cita
Tentu tulisan ini tidak hendak membela atau
menyebabkan pembatalan putusan MK tersebut, tapi lebih kepada ijtihad tentang
RSBI. Berangkatnya dari pemikiran sederhana bahwa orang boleh memberi
penafsiran terhadap lahirnya sebuah UU, sama seperti ketika ulama atau kiai
memberi penafsiran terhadap sebuah firman Allah SWT. Bisa jadi ulama atau
kiai satu dengan lainnya berbeda dalam memberi pemahaman.
Dengan menggunakan cara pandang itu, harus
pula dipahami bahwa lahirnya UU No 20 Tahun 2003, yang di dalamnya memuat
sebuah cita-cita luhur agar bangsa ini memiliki lembaga pendidikan bertaraf
internasional, ditampung dalam Pasal 50 ayat 3. Dalam perjalanannya, karena
memerlukan proses dan tidak bisa sebuah keinginan luhur itu dicapai dalam
waktu singkat, dilakukanlah rintisan dalam bentuk RSBI.
Keinginan itu dapat dipahami. Dalam suasana
awal-awal reformasi, bangsa ini berada dalam keterpurukan yang sangat akibat
dampak krisis global dan krisis multidimensional saat itu sehingga wajar jika
muncul cita-cita tersebut, yang kemudian muncul dan dibahasakan dalam sebuah
ayat pada UU Sisdiknas.
Pertanyaannya, apakah tidak boleh bangsa ini
memiliki cita-cita luhur, dengan sekolah nya yang bertaraf internasional? Apa
kah konstitusi kita EBET melarang bangsa ini sejajar dengan bangsa-bangsa
lain yang telah maju lebih dahulu?
Jawabnya tentu tidak. Cita-cita
kemerdekaan kita jelas dalam konstitusi. Tekad kita agar bisa maju
bersamasama bangsa lain, yang saat itu sudah merdeka, sudah lebih maju, yang
dalam UU Sisdiknas diidealisasikan sebagai bentuk cita-cita bertaraf
internasional.
Lalu di mana kesalahan RSBI? Tidak ada yang
salah jika pola pikirnya seperti itu sehingga sebenarnya tidak bertentangan
dengan konstitusi. Namun harus diakui, dalam praktiknyalah kesalahan RSBI itu
muncul sehingga memunculkan diskriminasi, keterbatasan masyarakat tidak mampu
dalam mengakses RSBI, pungutan, dan lainnya.
Persoalannya, jika praktiknya yang bermasalah,
mestinya praktik tidak bisa dijadikan acuan untuk mempermasalahkan norma UU.
Dalam bahasa Mendkibud, norma tidak bisa disandingkan dengan praksis sehingga
putusan MK terhadap RSBI lebih menekankan UU sebagai realitas, padahal UU
harus ditempatkan sebagai idealitas.
Itu pulalah mungkin `ijtihad' yang dijalankan
hakim MK Achmad Sodiki, satu dari sembilan hakim di MK, yang menyatakan
pendapat berbeda (dissenting opinion)
ketika memutuskan perkara RSBI.
Konsistensi terhadap putusan MK selama inilah
yang dipegang Sodiki, sebab ia
`berijtihad' bahwa kesalahan dalam praktik
tidak bisa dijadikan acuan untuk mempermasalahkan norma UU. Ada delapan
putusan MK sejak 2009-2012 yang cara berpikirnya seperti itu.
Hakim Sodiki menilai tidak ada kata-kata dalam
Pasal 50 ayat 3 UU Sisdiknas yang dapat dimaknai bahwa pendidikan bertaraf
internasional bertentangan dengan semangat dan kewajiban negara mencerdaskan
kehidupan bangsa, menimbulkan liberaisasi, diskriminasi, dan kastanisasi
pendidikan, serta menghilangkan jati diri bangsa. Apa yang dikemukakan sebagai
keberatan oleh para pemohon ialah gejala gejala dalam dunia praktik pada
sebagian penyelenggaraan sekolah yang bertaraf inter nasional, bu kan
normanya yang mengan dung arti libe ralisasi atau ralisasi atau diskrimi nasi
(Gatra, 23/1).
Pada titik itulah hakim Sodiki --meminjam
istilah Andi Irmanputra Sidin--sedang mengingatkan MK untuk melihat UU
sebagai idealitas. Jika penerapan di lapangan buruk, bukan berarti normanya
juga buruk.
Taruhan Kualitas
Tulisan ini tentu bukan sedang `menggugat'
keputusan delapan hakim MK. Ini sebagai sebuah diskursus intelektual yang
dalam bahasa agama disebut sebagai ijtihad, yang jika salah sekalipun tetap
dapat pahala satu di hadapan Yang Mahakuasa. Apalagi disadari, sebagai
manusia kita tidak lepas dari sifat khilaf.
Ke depan kita berharap yang menjadi fokus dan
perhatian Kemendikbud ialah bagaimana caranya, meski tanpa embel-embel RSBI
atau SBI, upaya untuk meningkatkan kualitas sekolah dan lulusannya tetap berjalan
karena kualitas bangsa menjadi taruhan.
Itu sebabnya wacana memanfaatkan dana yang
selama ini sudah diputuskan pada APBN dalam DIPA RSBI untuk digunakan bagi
peningkatan mutu sekolah melalui cara hibah kompetisi, seperti selama ini
dilakukan untuk perguruan tinggi, perlu didukung.
Mekanismenya memang perlu disiapkan dan secara
transparan harus dikomunikasikan kepada semua satuan sekolah sehingga tidak
ada lagi anggapan terjadi diskriminasi sebagaimana dalam praktik RSBI. Kita
juga berharap upaya Kemendikbud untuk dalam berkoordinasi, baik dengan DPR
maupun Kementerian Keuangan, terkait dengan revisi penggunaan anggaran, dalam
waktu yang tidak terlalu lama tidak menemukan kendala.
Ke depan, taruhan kualitas pada satuan
pendidikan di berbagai jenjang menjadi sebuah keniscayaan mengingat salah
satu tolok ukur keberhasilan kita yang bisa dilihat dalam hasil Trends In International Mathematics and
Science Studies (TIMSS) 2011, yang diselenggarakan International Study Center, Lynch School of Education, Boston
College, AS, berada di peringkat 40 untuk bidang sains dan peringkat 38 untuk
matematika dari 42 negara.
Fakta tersebut harus dijadikan sebagai salah
satu pemicu untuk berupaya terus meningkatkan mutu dan kualitas dunia
pendidikan kita. Sebagaimana dinyatakan Mendikbud, ada atau tidak ada RSBI/SBI,
komitmen Kemendikbud untuk mengembangkan dan meningkatkan layanan pendidikan
yang bermutu pada semua satuan dan jenjang pendidikan. Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar