|
JAWA
POS, 30 Januari 2013
RENCANA pemerintah,
dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), untuk
memajukan pelaksanaan ujian nasional (unas) di SMA dan SMK sungguh
mengejutkan banyak orang, termasuk pejabat pendidikan itu sendiri.
Sebagaimana diberitakan di berbagai media massa, Kemendikbud berencana memajukan pelaksanaan unas SMA dan SMK dari yang selama ini di kelas XII menjadi kelas XI. Artinya, sebelum siswa mendapat materi pembelajaran di kelas XII, unas sudah dilaksanakan. Rencana tersebut tentu saja mengejutkan. Argumentasinya jelas. Sejak Indonesia merdeka sampai era reformasi sekarang ini, rasanya tidak pernah sekalipun ujian akhir program seperti unas, ujian akhir nasional (UAN), dan evaluasi belajar tahap akhir tingkat nasional (ebtanas) dilaksanakan di tengah-tengah program itu. Belum pernah terjadi unas dilaksanakan di ''tengah jalan''. Tidak Masuk Akal Rencana pemajuan pelaksanaan unas SMA dan SMK tersebut, tampaknya, tidak main-main. Terbukti, masalah itu sudah dibawa dalam rapat dengar pendapat antara pemerintah dan Panitia Kerja (Panja) Kurikulum Komisi X DPR di Jakarta. Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bidang Pendidikan Musliar Kasim menyatakan, pemajuan unas dimaksudkan agar siswa SMA lebih berkonsentrasi terhadap persiapan masuk perguruan tinggi dan siswa SMK lebih berkonsentrasi pada penyelesaian pelajaran praktik yang menjadi ciri khas siswa kejuruan. Pak Musliar melanjutkan, pemajuan pelaksanaan unas tersebut dikenakan kepada siswa yang sudah menjalani Kurikulum Tahun 2013. Reaksi atas rencana pemajuan unas SMA dan SMK tersebut telah muncul dari berbagai elemen masyarakat. Bukan saja pendidik, orang tua siswa, dan pemangku kepentingan pendidikan lainnya, tapi juga para pimpinan birokrasi pendidikan di daerah. Misalnya, Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga Provinsi DIJ Baskara Aji. Apakah reaksi pimpinan birokrasi pendidikan di daerah itu positif sebagaimana reaksi terhadap kebijakan menteri pendidikan lainnya? Ternyata tidak! Pak Baskara Aji menyatakan, rencana pemajuan pelaksanaan unas tersebut tidak masuk akal. Bahkan, beliau menyatakan DIJ berkeberatan atas pemajuan pelaksanaan unas kalau alasannya hanya supaya siswa lebih siap menghadapi ujian masuk perguruan tinggi. Negara kita adalah negara yang demokratis, sehingga sah-sah saja seorang kepala dinas pendidikan berbeda pendapat dari seorang menteri atau wakil menteri pendidikan dalam masalah kependidikanan. Apalagi, sekarang daerah memiliki otonomi yang luas di bidang pendidikan. Kenyataannya, rencana pemajuan unas SMA dan SMK memang membingungkan banyak pendidik di lapangan. Bagaimana mungkin ujian akhir akan dilaksanakan di ''tengah jalan''? Tiga Jenis Ujian Dalam teori evaluasi pendidikan, ada tiga jenis ujian. Yakni, ujian prediksi (prediction examination) yang dilaksanakan pada awal program, ujian prestasi (achievement examination) yang dilaksanakan pada akhir program, dan ujian diagnosis (diagnostic examination) yang dilaksanakan pada tengah program pendidikan. Tiga jenis ujian tersebut memiliki tujuan berbeda. Ujian prediksi bertujuan mengukur kesiapan seseorang mengikuti program pendidikan yang akan dijalani. Contohnya, seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri (SNM PTN) jalur tertulis. Ujian prestasi bertujuan mengukur kemampuan seseorang atas program pendidikan yang sudah dijalaninya. Contohnya, unas. Pada sisi lain, ujian diagnosis bertujuan mengukur kesiapan seseorang mengikuti bagian atau subprogram yang akan dijalaninya. Contohnya, tes awal (pretest) oleh guru atau dosen tertentu. Sebagai catatan, sekarang jarang ada guru dan dosen yang melaksanakan ujian diagnosis. Dari teori evaluasi pendidikan tersebut, jelas bahwa tidak ada ujian prestasi seperti unas yang dilaksanakan di tengah program. Menurut ahli evaluasi mana pun, ujian prestasi senantiasa dilaksanakan pada akhir program karena materi yang diujikan adalah materi yang pernah diberikan pada program pendidikan tertentu. Kalau kita bicara program pendidikan SMA dan SMK, materi programnya adalah materi yang pernah diberikan kepada siswa mulai kelas X sampai kelas XII, tidak hanya kelas X dan XI. Dari sisi teori evaluasi pendidikan, pelaksanaan unas di kelas XI SMA dan SMK memang tidak ada dalam teori, tidak masuk akal, bahkan sangat berisiko. Risikonya, siswa kelas XII akan kehilangan kesungguhan dalam mengikuti kegiatan pembelajaran yang ujung-ujungnya bisa meruntuhkan kinerja pendidikan nasional kita. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar