|
SUARA
KARYA, 28 Januari 2013
Jeblok. itulah kata
yang tepat untuk menggabarkan kinerja program Keluarga Berencana (KB)
Nasional selama lima tahun terakhir ini. Betapa tidak! Hasil Survei Demografi
dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012 menunjukan kinerja program KB Nasional
selama lima tahun (2007-2012) berjalan stagnan, tidak menunjukkan
peningkatan.
Sejumlah indikator
krusial yang ditargetkan pada tahun ini gagal tercapai. Akibatnya, target
pembangunan milenium (MDGs) pada 2015 nanti hampir mustahil dapat diwujudkan.
Survei Demografi dan
Kesehatan Indonesia (SDKI) merupakan survei statistik kesehatan/kependudukan
yang paling diakui datanya secara internasional.
Survei yang dilakukan
Badan Pusat Statistik (BPS) setiap lima tahun sekali dan SDKI 2012 ini telah
dibeberkan ke publik pada akhir November 2012 lalu.
Padahal sebelumnya,
Indonesia sempat mencatat puncak keberhasilan program pengendalian penduduk
melalui program KB sejak tahun 1970-an. Kala itu, Indonesia sudah dianggap
sebagai negara yang berhasil dalam bidang pengendalian penduduk. Bahkan Indonesia
diminta membantu mengajari negara-negara lain yang belum berhasil program
kependudukannya.
Namun, setelah
reformasi, program KB berantakan. Program KB ini kemudian direvitalisasi pada
tahun 2007. Dengan adanya revitalisasi program KB, Indonesia diharapkan dapat
terhindar dari ancaman ledakan penduduk. Namun apa yang terjadi, hasil sensus
penduduk tahun 2010 mengumumkan jumlah penduduk Indonesia sekitar 237,6 juta
jiwa atau 3 juta lebih tinggi dari angka proyeksi penduduk.
Badan Kependudukan dan
Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) yang diberi mandat untuk menekan tingkat
pertambahan penduduk kemudian melancarkan program-program mulai dari kampanye
media sampai dengan menjalin kerja sama dengan TNI dan lembaga keagamaan
hingga membuat program Generasi Berencana (GenRe).
Kerja
keras selama 5 tahun yang dilakukan BKKBN ternyata pencapainnya tidak seperti
yang diharapkan. Target yang dicanangkan banyak yang tidak tercapai.
Terdapat
tiga indikator utama yang menunjukkan perjalanan program KB selama lima tahun
belakangan ini gagal total. SDKI 2012 mencatat, rata-rata dari 100 perempuan
usia subur yang menjadi peserta KB aktif (contraceptive prevalence rate -CPR)
hanya mencapai 61,9 persen.
Kendati hasil ini
mencapai peningkatan sekitar 0,04 persen dibanding hasil CPR pada SDKI 2007,
namun hasil ini jauh dari target yang dicanangkan pada tahun 2012, yaitu CPR
harus mencapai minimal 62-63 persen.
Selain CPR, BKKBN juga
gagal memenuhi target penurunan rata-rata wanita usia subur yang melahirkan
anak (total fertility rate - TFR).
SDKI 2012 mencatat TFR pada tahun ini masih berada di kisaran 2,6 per
perempuan usia subur.
Ini artinya rata-rata
TFR 2012 masih sama dengan 2007 dan gagal mencapai target 2,4 pada tahun
2012. Dengan TFR 2,6, maka pasangan usia subur di Indonesia rata-rata masih
memiliki 3-4 anak.
Dengan kondisi yang
dihadapi pada saat ini, hampir mustahil target TFR 2,1 pada 2015 nanti bisa
diraih. Pasalnya untuk mencapai TFR 2,1, syaratnya pemerintah harus bisa
meningkatkan CPR minimal 68. Untuk menaikan CPR dari 61,9 menjadi 68 dalam
jangka waktu sekitar kurang dari tiga tahun sangat berat sekali. Indikator
yang paling menunjukkan pelaksanaan KB gagal dijalankan pemerintah, adalah
tidak terlayaninya pasangan usia subur yang ingin ber-KB (unmeet need) yang gagal diturunkan
sesuai target.
SDKI 2012 menunjukkan
unmeet need pada tahun ini mencapai 8,9 persen atau hanya turun 0,02 persen
dari SDKI 2007 yaitu 9,1 persen. Dengan raihan seperti ini, lagi-lagi secara
teori mustahil untuk mengejar target unmeet
need pada 2015 menjadi 5 persen.
Berbagai kegagalan
pencapaian target pada tahun ini menunjukkan bahwa metode pelaksanaan KB yang
diterapkan pada saat ini tidak tepat. Dia mencontohkan di sejumlah daerah,
CPR-nya mengalami kenaikan, tetapi TFR-nya juga ikut naik. Ini aneh, peserta
KB bertambah, tetapi tingkat kelahiran juga tinggi.
Dari penelusuran bisa
ditarik kesimpulan, pemerintah kabupaten/kota gagal membina peserta KB baru
untuk terus bertahan ber-KB, sehingga peserta putus KB di tengah jalan (drop out rate) tinggi.
Ke depan, agar KB bisa
kembali bangkit, tidak bisa lain peran pemerintah daerah harus lebih
ditingkatkan. Pasalnya, sejak otonomi daerah diberlakukan, sesuai
undang-undang, urusan KB mutlak menjadi urusan kabupaten/kota. Saat ini
kewenangan pusat untuk mendorong pelaksanaan KB di daerah terbatas. Pusat
bisa memberikan Dana Alokasi Khusus (DAK) pada daerah, namun DAK itu hanya
boleh diperuntukan bagi sarana dan prasarana.
Untuk itu diperlukan
alokasi dana dari APBD daerah untuk operasional pelaksanaan KB. Misalnya,
pusat memberikan bantuan motor pada PLKB untuk bertugas, namun untuk bensin,
tranportasi, dan lain-lain anggarannya harus dari daerah.
Sudah saatnya
dilakukan sejumlah perubahan strategi dalam pelaksanaan program KB Nasional
ke depan. Semoga! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar