|
MEDIA
INDONESIA, 29 Januari 2013
EDITORIAL Media Indonesia (21/1) menurunkan judul Politik Ekologi Banjir. Yang menarik
dari editorial itu ialah usulan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan
pemerintah pusat untuk mencegah banjir dengan beberapa megaproyek seperti
penyodetan Sungai Ciliwung, bangun waduk Ciawi, deep tunnel, normalisasi 13
sungai, penataan permukiman di bantaran Kali Ciliwung, 10 ribu sumur resapan,
dan pembuatan pompa air khusus di Ancol.
Persoalannya, bagaimana menangani urusan ekologi yang
melingkupi tiga wilayah administratif provinsi itu? Cukupkah ditangani DKI
atau membentuk kementerian urusan Jabodetabek? Ekologi pertama kali
dikemukakan Ernst Haeckel (1834-1914), sebagai ilmu yang mempelajari
interaksi antara organisme dan lingkungan lain.
Konten ekologi sebagai sains
ialah mempelajari interaksi, baik antarmakhluk hidup maupun makhluk lain di
sekitar. Ekologi fokus pada keterkaitan fungsional sebagai sebuah sistem. Dengan
konsep itu, menata Jakarta, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur
(Jabodetabekpunjur) sebagai ekologi harus dalam tiga matra, yakni banjir
(sampah), transportasi (macet), dan kejahatan (narkoba, kekerasan,
pembunuhan).
Dalam ketiga hal itu, ekologi bekerja ibarat `metabolisme'
tubuh kita. Metabolisme ditandai dengan interaksi yang sistemis, keterpaduan
berbagai fungsi menjadi satu kesatuan sebagai sebuah sistem. Dari teori
sistem--sebagaimana diungkapkan Ritzer (George
Ritzer, Douglas J Goodman, Sociological Theory, 2004), sistem sebagai
integrasi proses dan fungsi sehingga menjadi ekosistem.
Jika paradigma itu kita konversikan ke dalam persoalan di
DKI, mengapa tiap tahun banjir, macet, dan aneka tindakan kejahatan terus
saja terjadi? Penanganan banjir (dan sampah), transportasi (kemacetan), dan
tindak kejahatan (narkoba, kekerasan, dan lain) sangat parsial, tidak
dipandang sebagai sesuatu yang integral. Tidak ada koordinasi di tataran
substantif dan teknis antara pemda DKI, Jawa Barat, dan Banten sehingga
penanganannya sangat parsial dan lokal.
Prioritas DKI, misalnya, menahan laju debit banjir kiriman
di musim penghujan dan membenahi daerah aliran Sungai Ciliwung. Namun, di
saat yang sama Jawa Barat memilih prioritas membenahi permu kiman warga.
Sementara itu, Banten fokus ke pembangunan drainase. Itulah kerja parsial,
tidak integratif dan sistemis. Lalu bagaimana?
Revolusi Politik Ekologi
Solusinya dengan pembaruan ‘revolusi’
politik ekologi di Jabodetabek. ‘Revolusi’ itu menuntut pembaruan perilaku dan penataan
kepemerintahan (governance), baik
masyarakat sebagai `pemangku kepentingan’ maupun pemerintah sebagai `pemangku
kewajiban' (Andrew Dobson, Ecologism,
dalam Contemporary Political Ideologis, 2001). Ekologisme Dobson
menyerukan back to nature, kembali
ke alam dengan gerakan penghijauan, pelestarian (preservation), dan perlindungan (conservation) sebagai sebuah environmental
politics.
Untuk
merombak total manajemen ekologi, banjir, macet, dan tindak kejahatan harus
lah menjadi urusan wajib pemerintah pusat, sebagaimana diatur dalam UU No
32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, bukan hanya karena lintas provinsi,
melainkan juga intensitas dan skala persoalannya tinggi.
Karena itu, `revolusi' politik ekologi Jabodetabek punjur
itu harus mencakup tiga arah dasar.
Pertama, menata fungsi-fungsi yang berkaitan dengan sumber
daya air dan lingkungan. Berdasarkan UU No 7/2004 tentang Sumber Daya Air dan
UU No 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, penataan
fungsi sumber daya air dan lingkungan ditujukan bagi kepentingan dasar manusia
baik pemenuhan air baku untuk M C K (mandi, cuci, kakus), untuk irigasi,
untuk pembangkit listrik, maupun penghijauan. Untuk tujuan itu, harus dilakukan
penataan daerah aliran sungai (DAS) 13 sungai mulai hulu di Puncak dan
Cianjur sampai muaranya di pantai utara Jakarta.
Penataan fungsi sumber daya air dan lingkungan itu dapat
dijalankan dengan membangun enam proyek penataan sumber air usulan Gubernur
Joko Widodo dan pemerintah pusat tersebut. Berkaitan dengan lingkungan dan
tata ruang Jabodetabek, harus ditata ulang bahkan izin pembangunan vila
dicabut bagi developer perumahan
dan perkantoran di Puncak, Cianjur, dan kawasan Halimun-Salak serta menata
kawasan perumahan dan permukiman sesuai UU No 1/2011 tentang Perumahan dan
Kawasan Permukiman dan UU No 20/2011 tentang Rumah Susun. Sejalan dengan itu,
sesuai UU No 26/2007 tentang Penataan Ruang, pemerintah daerah menertibkan
tata ruang wilayah. Dengan perda RTRW, warga diwajibkan mengelola sampah
dalam dua jenis (kering dan basah) serta mewajibkan setiap rumah tangga,
kantor, vila, sekolah, lembaga kemasyarakatan untuk menggali sumur peresapan
air, dikontrol dan diberi sanksi.
Kedua, ekologi yang menyakitkan di Jakarta selain banjir
(dan sampah) ialah kemacetan. Pada siang hari ada 14 juta warga yang bekerja
di Jakarta dan hanya sekitar 8 juta orang yang tinggal di malam hari. Selebihnya
mobilitas ke setiap penjuru Jabodetabek. Itu berarti membutuhkan sarana dan
prasarana transportasi baik bus (umum dan busway), kereta commuter line, maupun kereta rel
listrik (KRL), yang dioperasikan sesuai dengan UU No 22/2009 tentang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) dan UU No 23/2007 tentang Perkeretaapian.
Jika sekitar 6 juta warga yang tinggal di luar Jakarta
hanya diatur DKI dan PT KA (PT
Commuterline), akan sulit menembus wilayah administratif pemerintahan,
dan tidak akan mewujudkan MRT (mass
rapid transit). Karena itu, transportasi harus juga menjadi urusan wajib
pemerintah pusat, integrasi dengan penataan banjir dan lingkungan.
Ketiga, politik ekologi berkaitan dengan jaminan keamanan
dan ketertiban.
Wilayah Jabodetabek sangat rawan kasus-kasus kejahatan seperti narkoba, pembunuhan, penggunaan senjata api, pemerkosaan, kekerasan bahkan atas nama agama dan golongan, pencurian, pembobolan bank, dan korupsi sampai pencucian uang. Semua kejahatan itu berdelik tindak pidana ringan sampai extraordinary crime, baik kejahatan lingkungan maupun kejahatan kemanusiaan. Dalam pembaruan politik ekologi penegakan hukum sampai pemiskinan koruptor harus bisa dijalankan tanpa pandang bulu.
Dengan ketiga dimensi politik ekologi itu, kita sampai
pada kesadaran baru bahwa banjir, macet, dan kejahatan ibarat saudara `kembar
siam' yang membutuhkan revolusi paradigma. Tidak ada pilihan lain selain
penangannya harus oleh lembaga setingkat menteri. Tidak salah jika kita
meminta Presiden untuk segera membentuk kementerian urusan Jabodetabek.
Hal itu mendesak dengan menunjuk Pasal 6 UU No 39/2008
tentang Kementerian Negara yang isinya merujuk Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3),
yang mengatur kewenangan presiden membentuk kementerian untuk urusan
lingkungan hidup, transportasi, dan keamanan (dalam hal ini daerah khusus
seperti Jabodetabek).
Dengan demikian, baik komitmen Gubernur Joko Widodo dan
pemerintah pusat untuk membangun 6 megaproyek penanggulangan banjir di
wilayah Jabodetabek maupun wacana megapolitan yang dulu pernah diungkap
mantan Gubernur Sutiyoso akan terwujud dengan adanya kementerian urusan
Jabodetabek. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar