|
KOMPAS,
27 Januari 2013
Tidak jelas, atau
setidaknya saya tak punya catatan, sejak kapan buku sastra—prosa ataupun
puisi—menyertakan beberapa komentar dari orang-orang yang dianggap bisa
mengatrol isi buku tersebut.
Komentar
yang biasa dimuat di halaman sampul belakang tersebut dikenal dengan sebutan endorsement (dukungan; endorse: mengesahkan) atau blurp
(entah apa artinya dalam bahasa Indonesia). Yang paling saya ingat, cetakan
kedua novel Burung-burung Manyar (1981) karya YB Mangunwijaya menyertakan
komentar Subagio Sastrowardoyo, Th Rahayu Prihatmi, Satyagraha Hoerip, dan
entah siapa lagi.
Siapa
pun mereka (pastilah semuanya bukan nama-nama sembarangan), komentar mereka
yang dimuat di sampul belakang buku itu sebelumnya telah lebih dulu dimuat di
media massa, surat kabar, atau majalah karena memang ditulis sebagai review
atau tinjauan atas cetakan pertama. Subagio menulis resensi novel tersebut di
surat kabar Kompas, Rahayu Prihatmi me-review
di Sinar Harapan, dan begitu seterusnya. Komentar mereka adalah sebagian dari
tulisan kajian lebih panjang terhadap novel yang dalam perjalanan dan
perkembangan sastra Indonesia mempunyai tempat khusus, fenomenal, lantaran
merupakan salah satu ikon mengenai kembalinya tradisi subkultur dalam
khazanah sastra nasional.
Berbeda
dibandingkan dengan novel Saman (1998) karya Ayu Utami. Sederet komentar,
atau endorsement, sepertinya
benar-benar diniatkan untuk kemasan buku ini. Ada komentar dari enam nama,
yakni Sapardi Djoko Damono, Ignas Kleden, Faruk HT, Umar Kayam, YB
Mangunwijaya, bahkan Pramoedya Ananta Toer. Beberapa di antara mereka (tiga
disebut pertama) merupakan para juri sayembara menulis novel yang
diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta, tempat Saman memenangi penilaian, toh
komentar yang mereka sampaikan lebih ”pribadi”, sementara beberapa lainnya
tak ada kait mengait dengan sayembara tersebut.
Di
kemudian waktu, pola buku Saman inilah yang diteruskan oleh berderet
penerbitan buku sastra, bahkan umumnya buku, yakni adanya endorsement yang
sejak awal diperuntukkan penerbitan buku. Yang membedakan endorsement sejumlah buku terbitan
belakangan dibandingkan dengan Saman adalah, endorsement untuk Saman tak
semuanya berisi pujian. Pramoedya Ananta Toer menyatakan secara gamblang, ”Saya tidak kuat melanjutkannya.
Melanjutkan membaca rasanya saya jadi tapol lagi.” Sementara terbitan
lainnya, lebih banyak sebagai pujian atau tampak sebagai basa-basi yang tak
tampak menukik—mungkin karena pemberi komentar sama sekali tak membaca
keseluruhan buku secara baik dan benar, atau itu bentuk rasa sungkan untuk
melontarkan kritik, yang berujung pada kurang diminatinya buku tersebut di
mata calon pembeli. Soalnya, segenap kemasan, segenap desain visual dan
segenap pemberi teks dan isi teks memang diniatkan untuk membetot perhatian
agar buku tersebut dibeli atau dibaca.
Sekadar
ilustrasi, saya pernah diminta menulis hal yang sama untuk sebuah kumpulan
cerita pendek, yang rata-rata setting-nya
ranah Minangkabau. Pada kalimat akhir, saya tulis, ”Di negeri matrilineal ini, entah kenapa hampir semua kisah
menempatkan para perempuan sebagai sumber bencana atau sebagai antagonis.”
Kalimat terakhir ini kemudian dipenggal untuk tak dimuat sebagai endorsement.
Mungkin isinya ditafsirkan sebagai kritik yang akan merugikan promosi buku
kumpulan cerpen termaksud. Padahal, pernyataan itu saya niatkan untuk
memancing diskusi lebih lanjut.
Kalau
coba dirumuskan, ada beberapa pola kritik sampul belakang. Pola pertama,
berisi kritik—baik dengan argumentasi atau tidak—macam yang dilakukan
Pramoedya Ananta Toer atas novel Saman. Pola ini boleh dikata langka. Pola
kedua, berisi pujian, ada atau tanpa argumentasi. Pola ketiga, pujian yang
terasa mengambang—yang rata-rata diberikan nama-nama kondang, termasuk di
dalamnya para selebritas atau sosok yang terkait dengan bidang yang ditekuni
nama bersangkutan, yang bisa saja tak ada kait mengait dengan dunia
kesusastraan.
Sebagai
contoh, novel Amba (2012) karya Laksmi Pamuntjak, ada empat nama pemberi
endorsement di sampul belakang, yakni Amarzan Loebis, Ariel Heryanto, Sitok
Srengenge, dan Dewi Lestari. Dua nama yang disebut pertama memiliki pemahaman
mendalam mengenai sejarah kelam yang dikaitkan dengan partai komunis—yang
menjadi bahan mentah sekaligus bahan baku cerita—yang kemudian waktu
dipinggirkan. Nama ketiga, Sitok Srengenge, tak semata sebagai penyair,
penulis novel, dan esais, yang cenderung memberikan pujian dengan segenap
alasannya. Sementara nama terakhir, tampaknya diminta menulis komentar lebih
sebagai selebritas: ”penulis buku
bestseller”, yang komentarnya memang tak serinci Sitok dan tak sefokus
Ariel dan Amarzan.
Yang
menarik, saat Sitok Srengenge menulis tinjauan novel Amba di majalah Tempo,
tulisannya menunjukkan kejeliannya sehingga tak semata berisi sanjungan,
tetapi juga memberikan perspektif agar pembaca membandingkan secara
proporsional dengan jagat pewayangan yang dipakai sebagai pola penceritaan
Amba, termasuk peminjaman nama-nama tokoh wayang.
Contoh
lain (bukan dalam bidang sastra, memang), di sampul belakang buku kumpulan
kolom Sujiwo Tejo, judulnya Ngawur
karena Benar (2012), dimuat endorsement
Tina Talisa dan Nova Riyanti Yusuf. Tak begitu jelas apa ”kompetensi” dua
nama ini dikaitkan pelbagai tema yang ditulis dalam kolom-kolom Sujiwo Tejo,
kecuali bahwa dua nama tersebut bersejajar layaknya selebritas; yang pertama
kerap muncul di layar televisi, satunya perempuan di parlemen dan penulis
beberapa novel, yang sesungguhnya belum menunjukkan buah karya yang
benar-benar fenomenal, baik di parlemen maupun dalam penulisan novel.
Kritik
atau komentar ala sampul belakang ini sesungguhnya bisa diacukan pada
produksi film Indonesia, terutama saat pertama diputar untuk khalayak. Biasanya,
saat launching atau pemutaran
perdana yang dihadiri pejabat, atau tokoh organisasi kemasyarakatan, ucapan
pejabat atau tokoh masyarakat itu akan dicuplik dan disematkan dalam poster
film tersebut yang dipasang sebagai iklan di surat kabar. Tak penting apakah
pernyataan pejabat atau tokoh masyarakat tersebut punya dasar atau sama
sekali tidak.
Ada
kesan, komentar pejabat—pastilah berisi pujian—dianggap sebagai pengatrol
harkat dan martabat film Indonesia. Sama persis dengan cara pikir perhelatan
kesenian yang diharapkan dibuka oleh pejabat pemerintah, seolah dengan begitu
harkat dan martabat kesenian tersebut naik terangkat, padahal pejabat
bersangkutan—seteras apa pun peringkatnya—belum tentu paham benar tentang
kreasi seni bersangkutan.
Dengan
demikian, endorsement memang bukan
termasuk kategori kritik—dalam pengertian nan luas dan dalam, tak sebatas
kritik berupa caci-maki, juga tak sebatas kebalikannya berupa puja-puji,
tetapi ada kaitannya dengan ranah lain, pemikiran lain, dan seterusnya.
Jadi,
di manakah bisa didapatkan kritik sastra? Mungkin, dalam jurnal, yang jumlah
tirasnya tak banyak, karena terasa eksklusif segmentasi dan cara
penulisannya. Bisa juga didapatkan dalam kajian kesarjanaan (strata pertama,
kedua, ataupun ketiga), yang jauh lebih ”tertutup” lagi lantaran hanya
beredar di kalangan akademisi, bahkan hanya di kalangan lebih terbatas lagi:
pembimbing skripsi, tesis, disertasi, penguji, dan mahasiswa bersangkutan,
yang bahkan bisa menyembunyikan kemungkinan kelemahan kajian itu sendiri
karena tak ada ”pengawasan” dari publik atau khalayak. Munculnya skripsi,
tesis, bahkan disertasi dalam versi plagiasi adalah salah satu wujud konkret
yang peluangnya dimungkinkan oleh ”ketertutupan” dari khalayak itu.
Jadi, jangan cari kritik
sastra di sampul belakang buku. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar