|
SUARA
KARYA, 30 Januari 2013
Era
otonomi daerah (otda) memberikan hak dan wewenang kepada daerah dalam
penyelenggaraan pemerintahan secara profesional melalui pengaturan,
pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan. Semangat di
balik kebijakan otda yang ditetapkan melalui UU No. 32 Tahun 2004 ini
setidaknya mencakup pemerataan kesejahteraan, percepataan pembangunan dan
peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) di daerah.
Seiring
dengan perjalanannya, banyak ditemukan potensi masalah dalam penerapan otda.
Di antaranya, kapasitas administrasi pemerintahan daerah yang belum siap
akibat SDM yang tidak mampu merubah paradigma administrasi pemerintahan
daerah di tengah semangat reformasi dan demokrasi.
Dalam
banyak kasus, sering ditemukan permasalahan korupsi yang dipicu oleh
penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung. Temuan
Kemendagri tahun 2012 menunjukkan bahwa Pilkada langsung merupakan salah satu
faktor utama pencetus korupsi di daerah.
Biaya
yang diperlukan untuk memenangkan pilkada menjadi excess luggage bagi kepala
daerah. Konsekuensinya, penyelenggaraan pemerintahan bersifat oportunis dan
berorientasi jangka pendek. Dalam konteks ini, perizinan dan pungutan liar
menjadi alternatif penyalahgunaan wewenang di samping mark-up pengadaan dan
penyimpangan APBD. Dua jenis praktik korupsi ini dinilai aman karena
setidaknya luput dari cakupan audit anggaran. Namun, baik perizinan maupun
pungutan liar memerlukan objek penderita yang dalam hal ini adalah pengusaha
atau pihak swasta. Di sinilah kriminalisasi pengusaha muncul ke permukaan.
Terminologi ini melahirkan kontroversi tersendiri apabila dilihat dari sudut
pandang teori lingkaran setan (vicious
circle) antara pengusaha dan penguasa. Sayangnya, persepsi ini seolah
dijadikan justifikasi bagi penguasa daerah yang kerap menyalagunakan
wewenangnya untuk terus melakukan korupsi dalam bentuk pungutan liar.
Praktik
pungutan liar umum terjadi dalam perizinan. Temuan KPK menunjukkan bahwa di
banyak daerah, izin perkebunan, pertambangan dan pengolahan sumber daya alam
lainnya banyak diterbitkan pada periode menjelang dilangsungkannya pilkada.
Di samping itu, ditemukan juga berbagai bentuk 'pemerasan' atau pengkondisian
yang mengatasnamakan jaminan keamanan berusaha di daerah. Dalam hal ini,
tidak banyak opsi yang dimiliki oleh pengusaha. Untuk mencegah kerugian
operasional, sebagian pengusaha mengkonversi alokasi anggaran Corporate Social Responsibility (CSR)
untuk menampung permintaan tersebut. Kriminalisasi pengusaha menjadi semakin
nyata saat kontribusi yang terpaksa diberikan tersebut menimbulkan masalah
hukum. Berdasarkan hukum tindak pidana korupsi yang berlaku di Indonesia, hal
ini dikategorikan penyuapan atau setidaknya pemberian gratifikasi kepada
pemerintah daerah yang melebihi aturan. Baik penyuap maupun penerima suap
memiliki konsekuensi hukum dalam proses peradilan.
Terkait
dengan kasus Buol, misalnya, di mana tuntutan jaksa yang meminta hakim
menjatuhkan hukuman lima tahun penjara terhadap pengusaha nasional Siti
Hartati Murdaya atas dugaan suap sebesar tiga miliar rupiah kepada Bupati
Buol Amran Batalipu untuk mengurus perizinan perkebunan PT HIP yang
dipimpinnya, memberikan sinyalmen kepada pengusaha untuk sangat berhati-hati
dalam menjalankan usaha di era otda.
Bagaimana
tidak, fakta pengadilan menunjukkan tidak adanya korelasi antara perpanjangan
izin dan pemberian suap mengingat perusahaan yang bersangkutan telah
mengantongi izin yang sah sejak pertengahan 1990-an. Di samping itu diakui
bahwa terdapat kerusuhan di daerah yang mengakibatkan terhentinya operasi
perusahaan menjelang dilangsungkannya pilkada di Kabupaten Buol.
Terlepas
dari hasil akhir persidangan yang wajib kita hormati putusannya, diperlukan
kesadaran bahwa banyak pengusaha dibayang-bayangi rasa takut menghadapi
ancaman baru otda di era reformasi ini. Kriminalisasi terhadap pengusaha
kerap terjadi akibat perilaku kepala daerah yang menerapkan kebijakan lokal
yang tidak pro-bisnis. Di saat ada permintaan dari kepala daerah, pengusaha
kerap berada pada posisi dilematis. Jika tuntutan tidak dipenuhi, maka ada
risiko komersial yang harus ditanggung. Selain roda usaha terganggu, juga
terjadi gangguan eksternal seperti demonstrasi massa dan lainnya.
Setidaknya
diperlukan tiga upaya konkrit untuk Hal ini berdampak langsung pada potensi
menurunnya investasi ke daerah yang tentu saja menghambat laju pergerakan
perekonomian di daerah. Perlu dipahami bahwa catatan laju pertumbuhan ekonomi
Indonesia yang cukup stabil di angka 6.5 persen per tahun tidak dicerminkan
oleh peningkatan investasi langsung yang berorientasi jangka panjang dan
memiliki multiplier effect besar
bagi peningkatan kesejahteraan dan percepatan pembangunan daerah.
Jika
demikian, maka semangat mulia di balik kebijakan otda akan pudar oleh
maraknya penyalahgunaan wewenang di daerah.memperbaiki kondisi yang ada.
Pertama, pengkajian ulang UU No.32 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah. Kedua,
pemberdayaan fungsi pengawasan KPK di daerah. Ketiga, kemampuan sistem
peradilan untuk menerapkan due process
of law sebagai asas untuk mewujudkan fairness dalam pembuatan suatu
keputusan peradilan.
Di
sini hakim diberikan kewenangan untuk menilai kebijaksanaan putusannya. Jika
terbukti pengusaha menjadi korban, tidak perlu ada tekanan untuk
membebaskannya dari jerat hukuman. Justru di sinilah kepastian hukum
tercermin dalam sistem peradilan di Indonesia.
Lebih
dari itu, diperlukan perubahan mindset
individu secara masif terkait praktik pungutan liar. Bukankan sudah saatnya
kita berhenti memahfumi pemberian sumbangan sukarela saat mengambil
perpanjangan KTP di kantor kelurahan? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar