|
MEDIA
INDONESIA, 28 Januari 2013
BERDASARKAN Surat Keputusan Komisi Pemilihan
Umum (KPU) No 05/Kpts/ KPU/2013, hanya 10 partai yang lolos verifikasi
sehingga bisa berlaga dalam Pemilu 2014. Ke10 partai itu terdiri dari 9
partai yang sudah memiliki kursi di DPR dan 1 partai baru, yakni NasDem.
Secara politis, keputusan KPU itu menguntungkan NasDem karena menjadi
satu-satunya partai baru yang lolos sebagai kontestan pemilu. Partai-partai
yang tidak lolos parliamentary
threshold (PT) Pemilu 2009 juga tak ada yang lolos dari lubang jarum.
Jika NasDem mampu memanfaatkan situasi ini,
setidaknya ada dua keuntungan politis. Pertama, NasDem bisa melakukan
pendekatan kepada partai-partai non-PT dan partai baru yang tidak lolos untuk
diajak berkoalisi. Terlebih lagi, muncul kecurigaan politis di kalangan
partai yang gagal lolos verifikasi bahwa KPU telah dikendalikan partai-partai
lama yang duduk di Senayan sehingga menyebabkan partaipartai baru dan non-PT
gagal mengikuti Pemilu 2014.
Kedua, sebagai satu-satunya partai baru yang
lolos verifikasi, NasDem bisa membuat diferensiasi yang tegas di mata
pemilih. Pemilih akan disodori dua pilihan yang kontras; sembilan partai lama
yang sudah ketahuan rekam jejaknya selama ini dengan satu partai baru.
Partai-partai lama memang memiliki keunggulan komparatif dari sisi jaringan
dan infrastruktur yang sudah terbentuk, sumber daya kader yang telah
tersedia, momentum ratusan pemilu kada di sepanjang 2013 ini yang bisa
dimanfaatkan partai lama untuk memanaskan mesin politik, dan lain-lain.
Namun, partai-partai lama juga menjadi sasaran
tembak sentimen negatif publik. Disilusi dan apati pemilih terhadap kinerja
partai yang marak dengan pemberitaan mengenai korupsi elite politik,
patronase negatif, konflik internal, faksionalisasi, dan lain-lain, jelas
memberi insentif bagi partai baru untuk menegaskan jati diri dan perbedaannya
dari partai lama.
Batu Ujian
Karena itu, NasDem seharusnya tak hanya
menjual slogan partai baru. Percuma saja jika pencitraan sebagai partai baru
yang berorientasi perubahan terus dikumandangkan, tetapi ironisnya spirit dan
mindsetnya masih lama. Setidaknya ada beberapa persoalan krusial yang menjadi
batu ujian bagi NasDem untuk menegaskan positioning
yang berbeda dengan partai lama, yakni rekrutmen pejabat publik, kaderisasi,
penyelesaian konflik internal dan faksionalisasi, serta transparansi dan
akuntabilitas pendanaan partai.
Sayangnya, baru saja ditetapkan sebagai
peserta pemilu 2014, NasDem dihantam isu faksionalisme dan konflik internal
yang tak kalah hebat ketimbang partai lama. Pecah kongsi Surya Paloh dan Hary
Tanoe membuktikan bahwa meskipun mereka selama ini tidur dalam `ranjang
politik' yang sama, mereka memiliki `mimpi' yang berbeda.
Mundurnya Hary
Tanoe yang diikuti elite dan kader-kader lainnya menjadi iklan buruk bagi
NasDem. Publik bisa mengambil kesimpulan bahwa NasDem tak ubahnya seperti
partai lama karena belum apa-apa sudah terjangkiti virus negatif partai pada
umumnya.
Beruntunglah eksodus elite dan kader tersebut
segera dinetralkan dengan masuknya tokoh-tokoh ke NasDem, seperti Sekjen DPD
Siti Nurbaya, Sekjen DPR Nining Indra Saleh, politikus kawakan Golkar
Enggartiasto Lukita, pengacara OC Kaligis, dan kalangan yang mengatasnamakan
aktivis `98.
Selain masalah internal, seleksi dan rekrutmen
calon legislatif juga menjadi parameter seberapa mampu NasDem menjaring
caleg-caleg yang berkualitas, berintegritas, dan memiliki track record yang
bersih dari korupsi dan kejahatan HAM. Jika NasDem gagal meyakinkan publik
dalam merekrut caleg yang kredibel, partai tersebut akan kehilangan respek di
mata pemilih. NasDem hanya akan dilihat sebagai partai yang secara fisik
baru, tetapi secara faktual mengidap mentalitas partai lama. Insentif sebagai
partai baru bisa dialihkan ke partai lain, atau pemilih lebih cenderung
golput karena 10 partai yang lolos sebagai peserta Pemilu 2014 menciptakan
oligopoli politik. Pemilih disodori pilihan yang terbatas, dan satu-satunya
pilihan baru yang tersedia dinilai publik tak ada bedanya dengan pilihan
lama.
Persoalan bisa makin bertambah pelik jika
pengadilan tata usaha negara (PTUN) mengabulkan gugatan partaipartai yang
dinyatakan gagal verifikasi oleh KPU. Pengalaman pada Pemilu 2009 yang lalu,
KPU akhirnya membolehkan empat partai ikut pemilu meski pada awalnya mereka
dinyatakan gagal verifikasi.
Sebab-musababnya ialah keputusan PTUN yang
mengabulkan gugatan Partai Buruh, Partai Merdeka, Partai Persatuan Nahdlatul
Umat Indonesia, dan Partai Sarikat Indonesia. Jika PTUN nanti mengabulkan
gugatan partai yang tidak lolos, praktis NasDem tak bisa mengklaim sebagai
satu-satunya partai baru. Insentif partai baru atau partai nonparlemen akan
terbagi. Selain itu, partai lama juga akan melakukan rebranding dengan menawarkan paket perubahan yang menarik,
terlepas dari motifnya sekadar untuk menarik suara di Pemilu 2014.
Dinamika Elektoral
Secara elektoral, semakin sedikit jumlah
partai peserta Pemilu 2014, semakin besar peluang partai yang mampu mencapai magic number ambang batas parlemen
3,5%. Pada Pemilu 2009, dari 38 partai peserta pemilu, 29 partai tidak lolos
PT. Perolehan 29 partai yang gagal itu mencapai sekitar 19%. Jika 19% suara
terbuang itu terbagi secara proporsional ke partai peserta Pemilu 2014 yang
jumlahnya makin sedikit, peluang untuk lolos PT di 2014 akan makin besar.
Pemilih akan dihadapkan pada pilihan yang
tidak terlalu ekstrem. Suara yang awalnya diberikan ke partai yang tidak
lolos verifikasi administrasi maupun faktual bisa saja diberikan ke partai
peserta pemilu yang dianggap memiliki kedekatan ideologis, sosiologis, atau
historis. Namun, bisa juga terjadi proporsionalitas dukungan dari
partai-partai yang tidak lolos verifikasi ke seluruh partai peserta pemilu.
Berdasarkan survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) September 2012,
sembilan partai diprediksi lulus PT 3,5%, yakni Golkar (18%), PDI Perjuangan
(16%), Demokrat (11%), NasDem (6%), Gerindra (5%), PKS (5%), PKB (4%), PPP
(4%), dan PAN (3%). Hanura memang belum aman (1,2%), tapi suara undecided voters bisa menolong Hanura
untuk sekadar lolos dari lubang jarum.
Survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada
Desember 2012 menunjukkan dinamika politik elektoral lebih terjadi pada
Golkar, PDI Perjuangan, dan Gerindra, yang mengalami sentimen positif. Adapun
Demokrat masih menghadapi cuaca politik yang tidak bersahabat.
Sebagai partai baru, NasDem memang menciptakan
kejutan baru dengan bertengger di jajaran partai menengah. Meski belum pernah
mengikuti pemilu, NasDem sudah muncul sebagai kekuatan elektoral baru yang
mengancam kenyamanan partai-partai yang sudah mapan. Meski demikian, tren
elektabilitas NasDem tidak berubah dari dukungan elektoral sejak Februari
2012. Stagnasi yang sama dialami PPP, PKB, PAN, dan Hanura.
Memang survei perlu di-update, terutama pasca pengumuman KPU tentang 10 partai yang
lolos sebagai peserta Pemilu 2014. Namun, berdasarkan simulasi 10 partai yang
lolos pun, dukungan elektoral tetap terfragmentasi; kekuatan politik relatif
merata dan pemilu tak mampu menghasilkan partai mayoritas yang mampu mencapai
single majority di DPR.
Secara faktual-empiris, fragmentasi politik di
parlemen tidak berhubungan langsung dengan banyak-sedikitnya peserta pemilu.
Pada 1999, dari 48 peserta pemilu, hanya 5 partai (PDI Perjuangan, Golkar,
PKB, PPP, dan PAN) yang memperoleh suara 3% atau lebih. Pada 2004, peserta
pemilu menyusut menjadi 24 partai, tetapi partai yang mendapatkan 3% atau
lebih malah bertambah menjadi 7 (plus dua pemain baru, Demokrat dan PKS).
Pada 2009, dari 38 peserta pemilu, partai yang mendapat dukungan 3% atau
lebih bertambah lagi menjadi 9 partai, dengan aktor baru Gerindra dan Hanura.
Pemenang pemilu dari waktu ke waktu, makin
mengecil juga dari segi persentase suara. Pada 1999, PDI Perjuangan menjadi
jawara pemilu dengan perolehan 34%. Lalu Golkar tampil sebagai pemenang pada
2004 dengan mengantongi 22%, dan terakhir Demokrat cukup mengantongi 20,8%
untuk memenangi Pemilu 2009. Teori Bandwagon
Effect, bahwa pemilih cenderung menjatuhkan pilihan kepada partai yang
berpeluang besar menang, kurang terbukti secara empiris.
Di satu sisi, besarnya massa mengambang (swing voters) dan volatilitas dukungan pemilih memberikan
insentif elektoral bagi semua partai untuk mendulang suara di 2014. Dinamika
elektoral sangat dipengaruhi oleh ke mana suara swing voters akan berlabuh. Tak pernah ada juara pemilu yang
mampu mempertahankan kemenangan di pemilu berikutnya. Di sisi lain, Pemilu
2014 potensial akan mengulang episode lama: tiadanya partai mayoritas dan munculnya kekuatan politik yang merata
bisa menciptakan kegaduhan permanen di parlemen. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar