|
SUARA
MERDEKA, 28 Januari 2013
MUNGKIN terasa ’’aneh’’ menghubungkan sosok Dewi Themis dengan
Ninik Setyowati (Nani). Sang Dewi lahir sejak gerakan positivisme hukum
dengan filosofi legismenya pada awal abad ke-19 dan hingga saat ini terus
hidup dalam pikiran para penegak hukum. Adapun Nani yang lahir 44 tahun lalu,
sementara ini hanya bisa berbaring, bergelut dengan kelumpuhannya. Memang
berbeda nasib dua sosok perempuan tersebut. Risalah kali ini bercerita kala
sang Dewi membesuk Nani.
Themis (yang berarti keadilan) digambarkan melalui sosok perempuan bersenjatakan pedang di satu tangan, dan dacin (timbangan) di tangan yang lain. Dacin melambangkan keadilan, sementara pedang mengiaskan ketegasan da-lam menegakkan kebenaran. Mata sang Dewi Keadilan senantiasa tertutup, terpejam, melambangkan sikap tak akan pilih kasih dalam mengambil keputusan. Nilai-nilai filosofis keadilan itulah yang menjadi etos kerja penegak hukum pidana, dan memang begitulah semestinya. Dewi Themis adalah personifikasi hukum yang memiliki sifat tegas, tanpa pandang bulu, tidak melihat siapa yang bermasalah tetapi apa masalahnya. Dia lebih menekankan pada aspek perbuatan. Hukum pidana berkarakter demikian dikenal dengan daad strafrecht yang hanya berorientasi pada perbuatan. Tapi perlu memahami pula bahwa karakter itu sebetulnya bentukan reformasi hukum abad ke-18 yang dikenal dengan ancime regime, yang berarti hukum adalah raja atau raja adalah hukum, hukum penuh dengan ketidakpastian dan karena itu semangat reformasi hukum antara lain legal definition of crime. Mendefinisikan perbuatan yang dilarang ke dalam peraturan adalah solusi terbaik, tugas penegak hukum tinggal menerapkan aturan itu untuk peristiwa konkret. Kerja mekanistik (subsumsi otomat) inilah yang tergambar dengan kredo: peraturan dan logika (rules and logic). Itulah sebabnya Dewi Themis selalu memejamkan mata karena ia bisa bekerja tanpa harus melihat dan kemudian merasakan. Dewi Themis adalah kristalisasi semangat dan pemikiran pada zamannya yang dilambangkan dalam sosok perempuan. Tatkala zaman hukum ditegakkan dalam konteks hukum nasional, secara otomatis sang Dewi harus melihat rambu kebijakan hukum nasional (national legal framework). Membuka Mata Rambu itu antara lain Pasal 50 (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 yang berbunyi,’’ Segala putusan pengadilan, selain harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut, memuat pula pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili’’. Pasal 5 (1) UU yang sama menyebutkan, ’’Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat’’. Kemudian, Pasal 2 Ayat (2) masih regulasi yang sama menuliskan, ’’Peradilan negara menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila. Dalam rangka menyelenggarakan tugasnya, kepolisian berwenang melaksanakan kewenangan lain, yang termasuk dalam lingkup tugasnya’’ (Pasal 15 Ayat (2) Huruf k). Berwenang untuk mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab ada pada Pasal 16 Ayat (1) huruf l UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI. Rambu-rambu kebijakan hukum nasional bersifat responsif untuk melihat, mendengar, dan merasakan nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Memperhatikan rambu-rambu kebijakan hukum nasional itu, tampaknya pada waktu-waktu tertentu Dewi Themis perlu membuka mata, untuk memilih dan menentukan sendiri apa yang pantas menjadi hukum di negeri ini, bukan sekadar corong peraturan. Ironis seandainya Nani yang sudah kehilangan Kumaratih Sekar Hanifah (11), salah satu dari dua anaknya, dan ia kini lumpuh, harus menjalani pidana. Namun Dewi Keadilan rupanya bersedia membuka mata untuk wanita itu, dan Polres Banyumas menghentikan penyidikan kasusnya, sekaligus mencabut status sebagai tersangka (SM, 27/01/13).
Seandainya aparat penegak hukum bersikukuh melanjutkan
penyidikan kasus kecelakaan yang menewaskan anak dari Nani, pertanyaannya
besarnya adalah ’’kepentingan apa yang hendak dilindungi dengan memidana
Nani?’’ Kalau berdalih melindungi keluarga, bukankah tak berarti sebaliknya,
mengingat memidana dia sama artinya dengan memperpanjang derita keluarga.
Pembenaran pemidanaan atas diri Nani ada pada perlindungan atas social value, yaitu sifat kehati-hatian, dan melarang orang berbuat ceroboh yang bisa merugikan orang lain. Namun menjadi insignificant bila keputusan itu diterapkan kepada Nani karena membawa kerugian lebih besar daripada keuntungannya. Publik bersyukur karena Dewi Themis mau membuka mata sehingga bisa melihat sejelas-jelasnya fakta. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar