|
SINDO,
28 Januari 2013
Seperti telah diduga, Surya
Paloh (SP) akhirnya terpilih secara aklamasi sebagai Ketua Umum Partai
Nasional Demokrat (NasDem) dalam Kongres I di Gedung Jakarta Convention Centre (JCC) pada Sabtu (26/1) malam kemarin.
Tanpa ada perlawanan karena memang tidak ada satu pun pesaingnya, SP yang sebelumnya menjabat ketua majelis tinggi partai kini telah mengambil alih posisi pimpinan partai dari tangan Rio Capella, ketua umum sebelumnya. Satu hal yang menarik adalah bahwa justru kenaikan SP sebagai orang nomor satu di tubuh satu-satunya partai yang lolos sebagai kontestan Pemilu 2014 inilah yang kemudian menjadi akar dari kekisruhan internal yang meramaikan jagat perpolitikan Tanah Air. Betapa tidak, persoalan ini berbuntut mundurnya salah seorang tokoh partai yang sangat berpengaruh selain SP, yaitu Hary Tanoesoedibjo (HT), dan orang-orang terdekatnya dari NasDem seperti sekjen dan wakilnya. Belakangan kader-kader NasDem banyak yang menyatakan mundur dari partai karena merasa sudah tidak sejalan dengan cara yang dilakukan SP. Sampai saat ini yang sudah menyatakan mundur secara terang-terangan antara lain Ketua DPW DKI Jakarta, Ketua DPW Jawa Barat,Ketua DPW Maluku, dan pengurus Dewan Pimpinan Luar Negeri Hong Kong. Bahkan diberitakan pula bahwa ratusan ribu kader NasDem ikut pula keluar dari partai. Pekerjaan Rumah Melihat situasi yang mengantarkan penyelenggaraan Kongres I NasDem tersebut, sebenarnya ada banyak pekerjaan rumah yang mesti diselesaikan SP terutama untuk menghadapi pemilu yang menyisakan waktu kurang lebih satu tahun. Pertama, masalah konsolidasi internal. Meskipun terpilih secara aklamasi, cara bagaimana SP menjadi ketua umum yang lebih menyerupai pengambilalihan, malah ada yang menyebutnya kudeta, bisa menyisakan persoalan. Tidak menutup kemungkinan hal tersebut akan mengakibatkan ketidakpuasan di kalangan kader-kader NasDem yang pada gilirannya dapat menimbulkan friksi di tubuh partai. Memang beberapa orang yang tidak puas secara gambling menyatakan ke publik dan kemudian mundur dari partai. Tetapi, bukan tidak mungkin banyak pula kader yang sesungguhnya merasa tidak puas, tetapi tidak berani menyatakan terus terang dan lebih memilih arus kebanyakan orang lain. Dari perspektif teori spiral keheningan (the spiral of silence) seperti yang dikemukakan Elizabeth Noelle-Neumann (1984), kecenderungan di atas dapat dijelaskan. Teori ini menegaskan bahwa ketika opini mayoritas telah terbentuk, ada dua kemungkinan pilihan yang dilakukan minoritas yakni diam atau ikut suara mayoritas. Dari sisi ini, boleh jadi banyak yang sebenarnya tidak setuju dengan cara pengambilalihan SP, tetapi mereka lebih memilih mengikuti suara mayoritas yang mendukung SP karena merasa lebih aman. Kedua, persoalan lain yang menjadi tugas berat SP adalah mendapatkan kepercayaan publik khususnya terkait citra personalnya yang cukup terganggu dengan kekisruhan yang diciptakannya. Sangat mungkin publik menganggap SP sebagai memaksakan diri untuk menjadi ketua umum, padahal tanpa posisi itu pun dia masih bisa menjadi the king maker di partai yang digagasnya itu. Akibatnya, publik akan beranggapan bahwa SP adalah orang yang sangat ambisius dan haus kekuasaan. SP juga bisa dianggap tidak konsisten dengan ucapannya. Pada saat-saat sebelumnya dia pernah berjanji bahwa ormas Nasdem yang digagasnya tidak akan dijadikan partai, tetapi apa yang terjadi sekarang ternyata bertolak belakang. Hal ini jelas bisa menimbulkan persepsi negatif di kalangan publik. Selain itu, publik juga bisa menilai SP sebagai orang yang hanya “memanfaatkan” orang lain, termasuk HT, yang telah bersusah-payah meloloskan partai, tetapi kemudian dia ambil alih sendiri. Ibarat pepatah: habis manis sepah dibuang. Pada sisi kaum muda, kenaikan SP menjadi ketua umum jelas dapat menimbulkan anggapan akan ketidakpekaannya terhadap kecenderungan politik Indonesia kontemporer di mana kalangan muda tengah mendapatkan momentumnya. Tentu saja realitas ini menjadi catatan yang kurang menguntungkan bagi Nas-Dem, padahal sekarang partai ini mulai banyak digandrungi kalangan muda di berbagai daerah. Ketiga, persoalan logistik dan iklan di televisi merupakan hal yang harus dipersiapkan SP. Hengkangnya HT yang memiliki kedua sumber tersebut tentu saja kehilangan yang sangat besar. Apalagi selama ini kenaikan citra Nas-Dem di mata publik Indonesia banyak disokong oleh iklan dan publikasi politik yang dilakukan jaringan media pimpinan HT. Meskipun infrastruktur partai telah terbangun di semua provinsi di Indonesia, tanpa logistik dan sosialisasi lewat saluran udara yang memadai, jelas akan menjadi persoalan berat. Kian Sulit Bersaing Untuk bisa berhasil pada Pemilu 2014, NasDem tentu harus mampu mengalahkan partai-partai yang secara langsung berhadapan vis-à-vis dengannya yakni dari kalangan nasionalis seperti Demokrat, Golkar, dan PDIP. Ceruk itulah yang paling mungkin dapat diambil NasDem. Kendati demikian, perjalanan NasDem untuk berhadapan dengan ketiga partai tersebut kian berat karena publik makin sulit menemukan perbedaan yang signifikan antarpartai tersebut. Publik bahkan kemudian bertanya-tanya, bagaimana NasDem mau melakukan restorasi dan perubahan guna mengatasi berbagai karut-marut perpolitikan di negeri ini jika mengatur dirinya sendiri saja belum bisa. Pertanyaan ini jelas sangat menohok bagi para elite politik NasDem. Ini tentu saja sangat berbahaya bagi kelangsungan partai ini ke depan. Pendek kata, jalan terjal siap menghadap NasDem. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar