|
SINDO,
28 Januari 2013
Sebelum rumus, dalil atau
hukum-hukum kebenaran alam semesta dirumuskan oleh para pencari hakikat
kebenaran, atau para ilmuwan, di mana kebenaran bersembunyi?
Pendeknya,sebelum peradaban bisa berbicara tentang kebenaran ilmiah—karena kebenaran jenis itu belum ditemukan— di zaman itu kebenaran diberi “merek”apa dan menjadi milik siapa? Dengan bahasa agama, mungkin kita bisa menyebut, saat itu kebenaran masih disembunyikan di dalam genggaman Allah. Saat itu belum ada yang bertanya mengenai kebenaran dengan sungguh-sungguh, melalui kerja tekun, memakai percobaan, perenungan, maupun pengamatan sistematis terhadap berbagai gejala alam semesta. Di zaman itu kebenaran semata milik Allah, dan kita menyebutnya kebenaran ilahiah: satu-satunya jenis kebenaran dan sumber dari jenis semua kebenaran. Ketika Newton mengamati apel jatuh dari tangkainya ke tanah, dia bertanya terusmenerus mengapa dan mengapa, dia menemukan hukum gaya berat, hukum gravitasi bumi. Ini disebut kebenaran ilmiah. Rahasia Allah, yang tertutup misteri kegelapan selama abad-abad yang lewat, terungkap. Maka itu, dalam arti tertentu, kebenaran ilmiah ini bisa disebut milik manusia. Ini hasil kerja “ilmiah” dan melahirkan kebenaran “ilmiah” tadi. Apa yang “ilmiah” ini berkembang pesat. Dunia kedokteran dan pengobatan modern merupakan anak kandung dari kerja “ilmiah”jenis ini. Mereka pun kemudian merumuskan formula obat-obatan. Umat manusia pun “beriman” pada formula “ilmiah” yang teruji dan terpuji itu. Di luar dunia “ilmiah”yang jelas meneguhkan kehebatan dunia modern, ada dunia lain, yang dengan kearifannya sendiri, mencoba merespons fenomena alam semesta, dan mencari kebenaran melalui pengamatan tekun, juga teruji. Jamu-jamu bikinan nenek moyang kita dahulu kala, yang kini kita terima sebagai warisan kebudayaan yang megah itu, jelas lebih penting, lebih berharga, daripada sekadar memberi gengsi,dan merek eksotik dunia Timur. Apakah hasil kerja tekun mereka itu juga “ilmiah”? Label ilmiah vs tidak ilmiah, kelihatannya tak menjadi isu, atau persoalan penting. Apa salahnya tidak ilmiah, tapi “ngurakapi”, terbukti memenuhi kebutuhan masyarakat, menyembuhkan penyakit, menyelamatkan kehidupan? Apa salahnya tidak ilmiah? Sebaliknya, apa mulianya “ilmiah”, tapi tak mampu menjawab persoalan hidup yang sangat mendesak, dan kritis sifatnya? Apa nilai lebihnya “ilmiah” jika persoalan gawat mengenai “hidup” atau “mati”-nya seseorang tak ada jawabnya? Orang kampung memiliki kreativitas dan nalar “mencoba” yang dahsyat. Mereka bisa melakukan eksperimen dan kerja tekun. Singkong beracun yang mustahil dimakan, dibikin menjadi “mungkin”. Singkong itu dikupas, direndam air beberapa jam lebih dahulu, untuk membuang racun di dalamnya. Racun itu memang hilang karena ketika dimasak dan kemudian dimakan, singkong tadi enak, dan terbukti menyelamatkan kehidupan. Diakui atau tidak oleh dunia ilmu modern,kreativitas itu juga wujud kebenaran ilmiah. Boleh saja diejek kebenaran ilmiah cara kampung, semata karena hal itu tak terjadi di Eropa, atau Amerika. Tapi, apa yang merupakan kebenaran ilmiah di kampung itu juga akan tetap merupakan kebenaran ilmiah di Eropa atau Amerika bila eksperimen dilakukan di kedua negeri itu. Anda tahu, di kampungkampung ada sejenis talas beracun, yang bisa membikin gatal-gatal di kulit yang menyentuhnya? Atau di lidah dan mulut yang telanjur memakannya? Talas itu punya nama: senthe. Dibakar gatal. Direbus gatal. Digoreng juga gatal. Sebenarnya orang tahu, senthe tak layak lagi dimakan. Dia buah yang dijauhi. Tapi, mereka yang mengerti “tabiat” umbi itu, mudah menanganinya. Senthe direndam air garam beberapa jam. Paling lama empat jam. Racun gatal-gatal itu luruh di dalam air dan pergi ketika air dibuang. Dia kemudian menjadi makanan yang aman bagi kemanusiaan kita. Ada lagi umbi bernama gadung: buah di dalam tanah yang sangat beracun. Tapi, orang kampung bisa menjinakkannya. Gadung itu dikupas, diiris-iris tipis-tipis, dibalur abu, lalu dijemur. Sesudah kering, gadung tadi direndam semalam, dan paginya, airnya dibuang. Gadung direndam lagi semalam berikutnya, dan besok paginya, air rendaman dibuang lagi. Begitu berturutturut, setidaknya tiga kali. Sesudah itu, gadung yang beracun itu pun siap dimasak. Dikukus bisa. Digoreng, menjadi gadung goreng yang kemripik dan gurih juga bisa. Hasil karya orang kampung itu ternyata bisa menjadi makanan orang kota,modern,bahkan dari kelas paling elitenya. Sekampung-kampungnya sebutan, hasil karya ini juga merupakan“kebenaran ilmiah”. Di sana ada formula alam, air sebagai kekuatan peluruh racun, dan garam penjinak jenis racun yang lain. Ini bukan hanya kebenaran ilmiah tingkat kampung.Tapi, kebenaran ini juga akan menjadi kebenaran di Eropa dan Amerika. Dia tak pernah memilih tempat. Orang kampung bisa menjadi pawang ular, pawang gajah, dan pawang harimau. Orang kampung yang lain bisa menjadi pawang singkong beracun, senthe beracun, dan gadung beracun. Bagi orang kota, barang beracun macam itu mustahil dimakan karena membahayakan kehidupan. Benda-benda itu beracun itu ada pawangnya. Parapawang menundukkan mereka bukan dengan mantra-mantra “sim salabim”, melainkan dengan formula ilmiah yang mencerminkan kebenaran ilmiah. Apa yang mustahil diubah menjadi mungkin. Di sana kebenaran ilmiah mereka bertemu dengan kebenaran ilahiah, yang sudah ada jauh sekali sebelumnya. Dr Gretha dan Prof Dr Sutiman B Sumitro, yang bertahun-tahun, dengan ketelitian ilmuwan modern, yang rendah hati dan selalu “bertanya” penuh sikap para hamba yang hanief, yaitu tekun, gigih mengamati, cermat mencatat, telah meneliti dan menemukan tembakau sebagai obat. Radikal bebas di tembakau dibikin luruh dan hilang berkat teknologi nano yang beken. Maka itu, tembakau yang banyak racunnya menjadi aman dikonsumsi. Dalam tembakau yang sudah dibikin sehat secara ilmiah, bukan hanya menjadi kebenaran ilmiah, melainkan juga, sekaligus, menjadi kebenaran ilahiah. Barang siapa mengingkari kebenaran ilahiah, mengingkari nikmat Allah. Orang ingkar macam itu, namanya kufur nikmat. Kufur itu kata yang sama dengan kafir. Mengapa kau masih juga gigih menentangnya? ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar