|
SUARA
MERDEKA, 26 Januari 2013
”Teknologi canggih gagal memberi sekat
pada keragaman bahasa daerah untuk tetap terus digunakan"
Pemberitaan gencar tentang
rencana penghapusan bahasa daerah dari muatan lokal kurikulum 2013, dari
tingkat dasar sampai menengah, membuat banyak pihak mengernyitkan dahi.
Penghapusan bahasa daerah sebagai mata pelajaran mandiri dan meleburnya ke
dalam Seni dan Budaya, akan menyebabkan mapel itu makin marginal.
Bahasa daerah selama ini
dikenal sebagai alat utama komunikasi bagi hampir semua warga provinsi di
negara kita. Sesuatu yang mungkin tampak sepele bagi sebagian orang karena
digunakan dalam keseharian kehidupan sehingga terasa tak ada lagi yang
istimewa. Inilah akar utama permasalahan.
Teknologi canggih dalam bidang
komunikasi pun membuka kesempatan dan kemudahan bagi siapa pun, termasuk
generasi muda, mengakses berbagai informasi, termasuk nilai-nilai tentang
tujuan hidup. Namun seandainya hal ini tak ada pengimbangan pedoman dari akar
budaya yang sudah mengendap ratusan tahun, teknologi tersebut justru akan
menjadi ancaman bagi pengguna.
Apakah layak suatu bahasa
sebagai alat komunikasi budaya yang strategis secara tiba-tiba dikurangi
keberadaannya dengan menghapusnya dari kurikulum sekolah? Tengoklah hasil
teknologi canggih yang bernama facebook, yang kini dimanfaatkan masyarakat
dunia sebagai sarana komunikasi dan reuni.
Penggunaan bahasa daerah dalam
jejaring sosial tersebut terbukti mampu menautkan tali silaturahmi lebih
erat, dan membawa romantisme akan daerah asal, semisal kerinduan akan kampung
halaman. Patut dicatat, facebookers terbukti bisa berkomunikasi dengan teman
dari daerah lain melalui keragaman dialek masing-masing.
Bahkan saling bertukar
kosakata, menghasilkan bahasa gaul yang akrab dan lucu. Fenomena facebook
membuktikan bahwa teknologi canggih gagal memberi sekat pada keragaman bahasa
daerah untuk tetap terus digunakan. Sebaliknya fenomena facebook justru turut
memberi ruang gerak yang makin luas tak terbatas.
Kita perlu menyadari, bahasa
daerah telah memberikan ruang tersendiri bagi etika dan kesantunan, antara
lain dengan mengajarkan pakem dalam bertutur kata.
Unggah-ungguh dalam bertutur
yang mencerminkan sopan santun ini tak hanya ada dalam Bahasa Jawa, tapi juga
dijumpai pada bahasa di daerah lain, semisal Sunda atau Madura.
Rubrik Khusus
Adapun dialek Pekalongan dan
masyarakat Badui di Banten memiliki ciri khas lain, yakni egalitarianisme
atau kesetaraan karena tidak mengenal strata penggunanya. Di sini terbukti
bahwa bahasa daerah sama sekali bukan produk budaya yang sederhana atau
sepele.
Lalu, apa yang terjadi bila
bahasa daerah dihilangkan atau dipinggirkan dari kurikulum sekolah?
Generasi yang akan datang,
jangankan bisa berbahasa daerahnya, mereka mungkin bahkan tidak bisa
mengenali bahasa daerahnya. Lebih jauh lagi, dikhawatirkan mereka tidak
mengenal akar budaya daerahnya.
Penulis berharap pemerintah
mengurungkan rencana menghapus bahasa daerah dari kurikulum 2013 dengan
melihat semua akibat bila hal itu dilakukan. Penulis justru
mengapresiasi Suara Merdeka yang mewadahi ragam dialek daerah dengan memberi
rubrik khusus, semisal ’’Warung Megono’’ untuk dialek Pekalongan besutan
Iyeng Setiawati pada edisi Suara Pantura, atau rubrik sejenis pada edisi
Semarang Metro, Suara Muria, dan Solo Metro.
Merupakan hal ironis manakala
media cetak berkomitmen untuk nguri-uri bahasa daerah namun pemerintah justru
membuat kebijakan sebaliknya. Penulis menaruh harapan besar kepada semua
pihak atas keyakinan pemerintah akan teguh melestarikan budaya nasional yang
terdiri atas kumpulan budaya daerah.
Kelak teknologi dunia bukannya
tak mungkin memakai istilah bahasa daerah dari Indonesia. Mungkin kita
menjumpai nama tatag atau canthas untuk nama program komputer, karya
putra-putri bangsa kita. Juga menaruh harapan besar, jangan sampai kelak
generasi penerus belajar bahasa daerah justru ke Negeri Belanda, Malaysia,
Jerman, atau Australia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar