|
KOMPAS,
31 Januari 2013
Akhir tahun lalu kita
dikejutkan oleh beberapa data ekonomi yang mencemaskan. Di antara banyak data
miris tersebut, angka kemiskinan dan penyerapan tenaga kerja bisa menjadi
representasinya.
Pertama,
selama Maret-September 2012, angka kemiskinan hanya turun 0,3 persen. Itu
artinya kemampuan pemerintah menurunkan angka kemiskinan makin lemah dari
waktu ke waktu. Anehnya, penurunan ini terjadi bersamaan dengan makin
besarnya anggaran yang digunakan untuk mengatasinya.
Kedua,
sampai dengan Triwulan III 2012, data Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa
setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi hanya mampu menyerap 180.000 tenaga
kerja. Kinerja ini jauh lebih buruk ketimbang tahun 2010 (400.000 tenaga kerja)
dan 2011 (225.000 tenaga kerja). Jika ditambahkan dengan data ketimpangan
pendapatan yang menganga, problem terkait kualitas pembangunan pada beberapa
tahun terakhir pun kian sempurna.
Pemerintah
berkilah penurunan kemiskinan yang lambat diakibatkan oleh persentase
kemiskinan yang sudah relatif rendah sehingga setiap upaya pengurangan akan
makin sulit. Argumen ini sebenarnya lemah karena kemiskinan ”alamiah”
sebetulnya berada di kisaran 4 persen, yang disebabkan oleh adanya individu
yang sakit (permanen), cacat, lanjut usia, dan lain sebagainya. Jika
kemiskinan berada di kisaran 10 persen, masih terbuka kemungkinan untuk
penurunan dalam persentase yang besar.
Dalam
kasus sedikitnya jumlah kemiskinan yang bisa dikurangi dalam beberapa tahun
terakhir, kemungkinan besar hal ini terkait dengan rendahnya pertumbuhan
sektor pertanian dan industri yang selama ini menjadi kantung kemiskinan.
Pertumbuhan
sektor pertanian nyaris tidak pernah di atas 3 persen, bahkan beberapa kali
hanya sedikit di atas 2 persen (padahal pertumbuhan ekonomi rata-rata 6
persen). Intinya, nyaris mustahil mengurangi kemiskinan jika sektor pertanian
tumbuh rendah (involusi pertanian).
Pola
yang sama juga terjadi di sektor industri. Sektor tersebut sedikit membaik
pertumbuhannya dalam dua tahun terakhir setelah sebelumnya berada dalam
jebakan zona pertumbuhan rendah. Pada sektor industri ini kelemahan yang
menonjol adalah keterlambatan pemerintah mengembangkan industri yang berbasis
komoditas pertanian (agroindustri).
Aneka
komoditas pertanian, perkebunan, perikanan/kelautan, peternakan, dan
lain-lain hanya dijual dalam bentuk bahan mentah sehingga tidak memiliki
nilai tambah. Implikasinya, mereka yang bekerja di situ terjebak dalam
kondisi pendapatan yang rendah. Jika sektor hilir dibangun, maka minimal
kemanfaatan yang diperoleh adalah: (1) penciptaan lapangan kerja yang besar
karena menggunakan teknologi yang rendah/menengah; dan (2) daya beli pekerja
kian meningkat karena barang yang diproduksi memiliki nilai tambah yang lebih
tinggi.
Dalam
soal penciptaan lapangan kerja ini, kegagalan pemerintah terletak pada
struktur pertumbuhan ekonomi yang didominasi sektor non-tradeable. Sektor ini
memang memiliki nilai tambah yang tinggi, tetapi elastisitas terhadap
penciptaan lapangan kerja kecil. Implikasinya, setiap pertumbuhan yang
terjadi pada sektor tersebut hanya akan menciutkan penciptaan lapangan kerja
dan meningkatkan kesenjangan pendapatan.
Tentu
saja pemerintah tidak harus mengurangi pertumbuhan sektor ini, tetapi
mendorong sektor riil (industri dan pertanian) mengejar pertumbuhan tersebut
agar lebih seimbang. Pada titik ini bukan sekadar dibutuhkan instrumen
keuangan dan infrastruktur pendukung, melainkan lebih penting dari itu
(seperti yang telah berulang kali disampaikan) adalah kesadaran untuk
menempatkan sektor tersebut sebagai basis ekonomi nasional. Sejarah telah
memberi pelajaran: negara yang melakukan pembangunan dengan benar selalu
bertumpu kepada sumber daya ekonomi yang dimiliki.
Pola
pembangunan seperti itulah yang pernah dipraktikkan Indonesia pada masa awal
pembangunan (dekade 1970-an) sehingga bisa menurunkan kemiskinan dalam jumlah
yang besar disertai ketimpangan pendapatan yang relatif rendah. Hasilnya,
pada periode tahun 1980-1993 Indonesia (bersama dengan Malaysia) digolongkan
sebagai model terbaik yang dalam waktu bersamaan dapat memadukan antara
pertumbuhan ekonomi (yang memiliki konsekuensi penurunan
kemiskinan/pertumbuhan berkualitas) dan pemerataan pendapatan.
Sebaliknya,
Rusia (1980-1993) adalah kasus terburuk karena mencatat pertumbuhan ekonomi
rendah dan ketimpangan pendapatan tinggi. China (1985-1993) dan Thailand
(1981-1992), pertumbuhan ekonominya tinggi, tetapi pemerataan pendapatannya
jelek. Sementara itu, Sri Lanka (1981-1990), pemerataan pendapatannya bagus,
tetapi pertumbuhan ekonominya rendah (Fritzen, 2002).
Model
pembangunan Indonesia pada masa itulah yang dalam 10 tahun terakhir ditiru
oleh Vietnam sehingga pada periode 2002-2012 kemiskinan di sana turun dari
29,0 persen menjadi 9,5 persen. Artinya, dalam kurun 10 tahun kemiskinan
turun 19,5 persen. Sebaliknya, Indonesia pada kurun yang sama hanya mampu
menurunkan kemiskinan 6 persen (dengan menggunakan garis kemiskinan yang
sangat rendah).
Oleh
karena itu, persoalan Indonesia bukanlah keterbatasan konsep, melainkan
keengganan mengadopsi sesuatu yang
Saat
ini merupakan momentum yang bagus, ketika pemerintah diingatkan betapa
buruknya kinerja pengurangan kemiskinan dan lapangan pekerjaan, untuk
mengarahkan layar ekonomi dengan kompas yang benar. ●
|
thanks buat artikelnya gan :)
BalasHapus