|
KOMPAS,
29 Januari 2013
Vonis ringan terhadap
Angie (Angelina Sondakh) dan koruptor lain adalah pukulan yang bisa
melemahkan upaya pemberantasan korupsi. Kerja keras Komisi Pemberantasan
Korupsi dan dukungan hampir seluruh lapisan masyarakat dilecehkan oleh
keputusan hakim yang melawan rasa keadilan. Ketidakadilan tidak hanya
melanggar hak orang lain, tetapi juga gagal meringankan penderitaan.
Ketidakadilan vonis ringan
Angie merupakan bentuk kegagalan hakim memperbaiki situasi komunitas. Karena
korupsi, institusi sosial bekerja melawan kesejahteraan bersama. Kegagalan
membangun institusi yang lebih adil membuat kesejahteraan bersama
terbengkalai. Jadi, vonis ringan itu tidak memedulikan adanya kejahatan
struktural. Begitu mengakarnya korupsi di Indonesia sampai membentuk struktur
kejahatan, yaitu ”faktor negatif dalam institusi masyarakat yang bekerja
melawan kesejahteraan bersama” (Sesboüé, 1988:27).
Struktural dan Kredibilitas
Vonis ringan itu buta
mengenai hakikat struktural kejahatan korupsi. Struktur korupsi menyimpan
kode rahasia dan habitus. Pertama, praktik korupsi bersembunyi di balik kode
rahasia. Kerahasiaan hanya tersingkap jika terjadi krisis hubungan di antara
yang terlibat. Hukuman berat, selain efek jera, berfungsi memancing krisis
hubungan yang terlibat agar kode rahasia terbongkar. Jaringan korupsi akan
terkuak ketika yang dijadikan kambing hitam merasa dikhianati. Vonis ringan
membuat koruptor merasa dilindungi jaringan dan tetap menjaga kerahasiaan.
Kedua, habitus berarti
korupsi sudah menjadi tindakan praktis yang tidak menumbuhkan rasa salah.
Maka, setiap orang yang masuk ke struktur kekuasaan cenderung korupsi.
Jaringan korupsi terbentuk mengikuti pola isolasi seperti model pembagian
kerja. Maka, koordinasi efektif dan kerahasiaan terjaga.
Dengan vonis ringan, fungsi
pedagogis proses hukum diabaikan dan kredibilitas peradilan jatuh. Pertama,
proses hukum seharusnya bisa menumbuhkan sikap kritis masyarakat terhadap
budaya politik dan praktik lembaga sosial. Publik diajak becermin kadar
keterlibatan dirinya: tidak ada rasa salah menjadi bagian jaringan korupsi;
kagum kepada orang kaya tanpa peduli hasil korupsi; lembaga pendidikan, panti
sosial, lembaga keagamaan menutup mata ketika menerima donasi tidak wajar.
Proses hukum seharusnya menumbuhkan kesadaran publik ikut bertanggung jawab
menghadapi korupsi. Namun, vonis ringan membuyarkan fungsi pedagogis itu.
Kedua, kredibilitas
peradilan jatuh ketika kemampuannya mengisahkan sejarah dalam bingkai ingatan
sosial dimanipulasi. Proses hukum melukai ingatan sosial ketika yang
dikisahkan adalah pembebasan sebagian besar koruptor. Ketika sebagian kecil
pelaku menjadi kambing hitam, perhatian masyarakat dialihkan dari rasa
keadilan dan atasan dibebaskan dari kesalahan. Vonis ringan berarti
perlindungan terhadap otak jaringan korupsi.
Hakim membela diri atas
vonis ringan dengan mendasarkan pada hukum yang berlaku. Namun, dua keberatan
bisa diajukan: pertama, sistem hukum bisa cacat sehingga tidak efektif
menghadapi korupsi. Sistem hukum cacat karena gagal memberi rasa keadilan dan
gagal mengembangkan sistem keadilan kriminal yang adil (Tebbit, 2000: 7).
Jadi, sistem hukum menjadi sumber kemalangan masyarakat karena pelaku
korupsi, yang menyebabkan institusi-institusi sosial bekerja melawan
kesejahteraan bersama, tidak menerima sanksi setimpal.
Positivisme Hukum
Kedua, hakim bersembunyi
di balik positivisme hukum. Keadilan hukum diformalisasikan dalam aturan
tegas dan diterapkan pada tindakan, bukan pelaku. Konsepsi formal keadilan
legal ini mengabaikan keadilan riil. Padahal, keadilan riil memperhitungkan
seluruh konteks dan situasi sengketa hukum. Konteks kejahatan korupsi
menunjuk sifat strukturalnya membuat institusi sosial melawan kesejahteraan
bersama. Ini seharusnya masuk pertimbangan, tetapi demi kepastian hukum hakim
memvonis ringan.
Kepastian hukum menjadi
mitos realisme hukum. Padahal, kepastian hukum lebih merupakan keyakinan
seakan hukum itu sempurna tinggal diterapkan. Hukum dianggap ”suatu korpus
aturan yang koheren siap untuk diterapkan oleh hakim yang terlatih dalam
deduksi silogistis sehingga dapat menemukan jawaban yang tepat terhadap
masalah dengan penuh kepastian” (Tebbit, 2000: 25). Padahal, realitas hukum
tidak pasti. Hukum selalu mencari keseimbangan antara prinsip, kebijaksanaan
dan asumsi yang tersirat.
Bukti ketidakpastian
adalah beragam tafsir hukum yang mengatur satu kasus sama. Dalam kasus
korupsi serupa, ada tersangka yang dihukum berat, ada yang ringan, atau
bahkan dibebaskan. Penganut positivisme hukum mengabaikan kesenjangan hukum
tertulis dan penafsirannya. Padahal, bisa saja penafsiran hukum diterapkan
pada kasus yang berlawanan. Kalau tujuan kepatuhan pada hukum yang berlaku
adalah kesetaraan hukum, hakim Tipikor telah mengkhianati tujuan itu.
Perlakuan beda terhadap koruptor adalah bukti praktik ketidaksetaraan meski
keputusan atas nama formalisme hukum (ideal kepastian hukum) yang menekankan
prosedur hukum (Tebbit, 2000: 26).
Tekanan pada prosedur
hukum mudah mengabaikan rasa keadilan. Maka, sebaiknya penilaian hukum
mendasarkan pada keputusan, bukan aturan umum. Menurut model penilaian ini,
kepastian hukum masih punya masalah penafsiran. Konsep epieikeia (kualitas
keadilan) membantu mengukur sahih/tidaknya penafsiran.
Pendekatan epieikeia untuk
mencegah dampak berlebihan atau lembek (vonis ringan) dalam menerapkan aturan
umum pada kasus khusus. Memang aturan umum perlu diterapkan, tetapi pada
kasus korupsi tidak bisa diterapkan begitu saja. Fungsi naik banding
memungkinkan hakim mempertimbangkan keadilan hukum. Jadi, epieikeia mengacu
ke keadilan sebagai kualitas hukum (substansi hukum).
Formalisme hukum kurang
mengenali jiwa atau substansi hukum. Maka, epieikeia menekankan peran
kesadaran moral hakim/penegak hukum. Penalaran di balik judicial review mau
membatalkan keputusan khusus, yang hasilnya dianggap melawan nurani atau rasa
keadilan (Tebbit, 2000: 9). Penafsiran hukum memperhitungkan faktor sosial
seperti sifat struktural kejahatan korupsi yang merugikan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar