|
KOMPAS,
31 Januari 2013
If
you repeat a lie often enough,
Kepercayaan
publik terjun bebas ke titik terendah. Advokasi berbagai kasus pun terpaksa
dilakukan secara swadaya melalui situs jejaring sosial, meninggalkan ”rumah
wakil rakyat” yang sudah menjadi pasar jual-beli kepentingan kaum tebar
pesona.
Kultur
kekuasaan politik yang dibidani demokrasi justru menjadi sumber resesi
demokrasi. Ia menganga sebagai lubang hitam dalam kehidupan kebangsaan. Di
daerah, kekuasaan politik menjadi cara untuk merampok kekayaan daerah.
Sementara
itu, di tingkat nasional, kekuasaan politik menjadi ajang pelembagaan dinasti
politik. Kekuasaan politik makin jauh dari pemaknaan modalitas keadaban dan
kebajikan kepada publik.
Untuk
kepemimpinan nasional, opini publik tidak jauh beda. Perhitungan kualitatif
pada hasil survei sejumlah lembaga survei yang dirilis tahun lalu, seperti
CSIS (Februari 2012), Soegeng Sarjadi Syndicate (Juni 2012), Saiful Mujani
Research & Consulting (Juli, 2012), Indonesia Network Election Survey (19
November 2012), Lembaga Survei Indonesia (28 November 2012) menegaskan hal
itu.
Sebanyak
25,2 persen menginginkan pemimpin yang jujur, 22,1 persen memilih pemimpin
yang tegas, 20,3 persen pada kapabilitas kepemimpinan, 14,8 persen pada
pemimpin yang bersih dan tak pernah terlibat KKN, 11,1 persen menginginkan
pemimpin yang dapat dipercaya, 2,3 persen memilih pemimpin tidak pernah
terlibat kriminal, 1,6 persen pada pemimpin yang prorakyat, dan 1,4 persen
pada pemimpin yang cerdas, serta 1,2 persen memilih pemimpin yang
mengedepankan pluralisme.
Preferensi
mayoritas ialah lahirnya pemimpin yang jujur, bersih, dan dapat dipercaya.
Inilah harapan dan impian banyak orang di 2014.
Nelson
Mandela, dalam Long Walk to Freedom,
menuliskan, ”A leader is like a
shepherd. He stays behind the flock”. Konsep kepemimpinan yang disebut leading from behind ini digali Mandela
dari khazanah kultur Afrika tentang bagaimana pemimpin itu seharusnya. Dalam
praktik, konsep leading from behind
ini menjadi kerangka kepemimpinan transformatif dan emansipatif di banyak
negara, tidak terkecuali Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Obama.
Di
Indonesia, kerangka kepemimpinan masih elitis dan eksklusif. Kekuasaan
politik konstitusional yang dilahirkan elektoral supermahal sejauh ini belum
berdampak makro pada perbaikan kualitas kehidupan rakyat.
Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik yang mestinya jadi acuan standar
tata kelola pemerintahan, termasuk pengawasan oleh legislatif, hanya lembar
regulasi mati. Pemenuhan pelayanan publik dasar, seperti pendidikan,
kesehatan, penyediaan air bersih, sanitasi, dan manajemen limbah,
dinomorsekiankan.
Yang
lebih dikejar ialah arus masuk investasi lewat strategi konversi lahan
produktif dan menyepak petani mandiri untuk menjadi stok buruh murah yang
berlimpah. Orientasi jelas bukan untuk distribusi keadilan ekonomi, melainkan
konsentrasi akumulasi kapital di genggaman sekelompok orang.
Begitupun,
aplikasi Fakta Integritas yang dikembangkan oleh lembaga Transparency
International pada tahun 1990-an yang dikuatkan oleh Keppres No 80/2003 sama
sekali tidak punya nyawa. Aplikasi Fakta Integritas sebatas di atas kertas.
Di sejumlah daerah, Fakta Integritas justru dimusuhi karena menuntut
transparansi kontrak-kontrak pemerintah, terutama soal pengadaan barang dan
jasa, privatisasi, lelang bagi lisensi ataupun konsesi. ●
|
thanks buat artikelnya gan :)
BalasHapus