|
SUARA
KARYA, 29 Januari 2013
Media massa mempunyai
pengaruh yang cukup besar terhadap proses pembentukan tingkah laku, termasuk
tingkah laku agresi. Televisi merupakan salah satu media massa yang dekat
dengan kehidupan anak-anak dan diharapkan mampu menjalankan peran yaitu
menyampaikan contoh perilaku dan nilai-nilai positif bagi anak melalui
tayangan-tayangan yang disajikan. Dalam kenyataan yang tampak sekarang,
televisi bisa bermuka dua dengan menyampaikan nilai positif dan negatif.
Memasuki millenium kedua
ini persoalan tidak lagi menjadi dominasi dan domain televisi, tentang
pengaruhnya pada prilaku dan kehidupan anak. Kini persoalan menjadi lebih
fenomenal dan ironik, yaitu hadirnya komunikasi mutakhir yang serba digital,
berupa perangkat telekomunikasi smartphone dan gadget yang tidak saja
digunakan sebatas berkomunikasi dua arah, tapi juga bisa mendengar radio
sekaligus menonton televisi dan mengaktivasi international networking (internet).
Jadi seseorang tidak
perlu lagi membeli sebuah pesawat telepon, radio penerima dan televisi. Tapi
cukup memiliki sebuah handphone sudah memfasilitasi ketiganya. Bahkan,
ditambah aktivasi internet yang memanjakan pemakainya untuk berselancar
mengarungi dunia maya dengan mengikuti jejaring sosial macam facebook dan twitter
atau browsing informasi, lagu, film dan sejenisnya dari ribuan website lokal
maupun internasional.
Kehadiran smartphone
dan gadget dengan kemampuan super canggih selanjutnya menginspirasi banyak
media konvensional untuk beralih masuk ke pasar pengguna telepon berjalan
tersebut. Diawali surat kabar dan majalah yang terbit online atau lebih
dikenal dengan e-paper seperti Sunday Telegraph, Washington Post dan New York
Times dan diikuti di Indonesia seperti e-paper majalah Detik.com, untuk surat
kabar Kompas.com dan sebagainya. Era masuknya industri media konvensional ke
dalam dunia digital, disebut sebagai konvergensi media terus bergulir
bagaikan bola salju.
Konvergensi dalam
media yaitu konvergensi adalah digitalisasi, karena seluruh bentuk informasi
maupun data diubah dari format analog ke format digital sehingga dikirim ke
dalam satuan bit (binary digit). Karena informasi yang dikirim merupakan
format digital, konvergensi mengarah format digital, konvergensi mengarah
pada penciptaan produk-produk yang aplikatif yang mampu melakukan fungsi
audiovisual sekaligus komputasi. Konvergensi media telekomunikasi ini telah
memberi ruang sekaligus prospek luar biasa bagi perkembangan bisnis media
informasi.
Akan tetapi patut
disayangkan konvergensi media, pada akhirnya membuka kran kebebasan jauh
lebih besar dan berdaya jangkau lebih luas dengan sasaran khalayak tidak
terbatas. Pengguna mobile phone lebih beragam dan anak-anak masa kini
cenderung punya akses dan menguasai penggunaan perangkat canggih tersebut
ditemukan di lingkungan rumah, sekolah, mal atau di perjalanan, anak usia
remaja bahkan usia dini (3-6 tahun) sudah mampu menggunakan komputer tablet,
i pad, i phone atau blackberry, memainkan game popular atau sekedar berkirim
pesan bahkan sebagian besar anak sudah chatting
atau browsing website.
Celakanya, anak-anak
tidak lagi membuka situs yang sesuai usia dan dunia anak, situs orang dewasa
yang lekat dengan lifestyle hedonisme, konsumtifisme dan pornografi juga
dirambah oleh anak-anak di Indonesia tanpa ada yang mampu menghalangi, baik
proteksi teknologi oleh Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemkomingfo) maupun
pengawasan orangtua. Berdasarkan pengamatan penulis pada anak-anak di
lingkungan sekolah dan penelitian, dapat disimpulkan tiga risiko utama pada
anak pengguna smartphone dan gadget, dan sesuai tema, di sini penekannya pada
risiko ketiga. Sekilas, risiko pertama yakni membuat anak kecanduan atau
ketagihan layaknya narkoba, game atau content di internet membuat rasa
penasaran, ingin tahu dan tak mau berhenti sebelum permainan selesai (finish)
oleh limit waktu atau adanya larangan dari orangtua.Kedua, cotent atau materi
isi dalam sebuah game, informasi, film dan gambar yang dilihat via gadget dan
smartphone dapat mempengaruhi alam bawah sadar seorang anak meskipun perlu
penelitian lebih lanjut.
Risiko ketiga,
memudarnya sosial dan sifat-sifat humanis selayaknya seorang anak. Kehadiran
mobile phone membuat anak tidak lagi berinteraksi dengan lingkungan sekitar,
termasuk saudara atau orangtua dalam satu rumah. Anak-anak berubah menjadi
individu yang introvert, arogan dan "semau gue" kalau tak mau
dibilang anak kian tidak peduli dengan situasi sekitar, cuek, masa bodo dan
menganggap manusia di sekitarnya hanyalah mahluk penganggu kesenangan. Mereka
tak lagi interested dengan kemanusian, tidak menghargai lagi orangtua,
misalnya tidak mau mendengarkan nasehat orangtua, jika diajak bicara hanya
diam saja, sekalipun menjawab dengan suara tinggi dan kasar.
Tentu memudarnya
sifat-sifat humanisme anak, perilaku bertentangan dengan etika dan kecanduan
teknologi komunikasi, niscaya membawa kemudharatan dan gambaran masa depan
bangsa yang rapuh karena anak adalah fondasi masa depan yang ditanam masa
kini.
Jadi, jika dasarnya
saja sudah rapuh yaitu dengan indikator tak mengedepankan kemanusiaan, tidak
mementingkan kebersamaan dan kesatuan, cenderung egosentris dan konsumtif
maka negara hanya memiliki generasi pengkhayal tidak realistis, tidak kreatif
dan tidak produktif.
Sepatutnya mulai detik
ini, para orangtua lebih ketat melakukan proteksi. Upaya perlindungan oleh
pemerintah dengan menancapkan program filterisasi dari internet hanya pada
perlindungan global (secara umum), karena masih banyak situs pornografi dan
kekerasan yang tidak terdeteksi. Peran orangtua adalah kunci mengatasi
persoalan konvergensi maka dan memudarnya humanisme anak. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar