Sabtu, 19 Januari 2013

Sampai Kapan Kita Berjibaku dengan Banjir?


Sampai Kapan Kita Berjibaku dengan Banjir?
Subandono Diposaptono ;  Alumnus Doktor Teknik Sipil Pantai Disaster Control Research Center Tohoku University, Jepang; Penulis buku Menyiasati Perubahan Iklim
MEDIA INDONESIA, 19 Januari 2013



AWAL 2013 ini Indonesia kembali prihatin. Betapa tidak? Berbagai daerah terus berjibaku dengan banjir. Di Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, misalnya, banjir bandang menghantam beberapa desa dan menewaskan seorang warga. Puluhan rumah tenggelam dengan ketinggian air bervariasi lebih dari 1 meter.

Tak lama berselang, dari Probolinggo, Jawa Timur, dilaporkan, banjir juga merendam lima desa. Rumah dan sawah hancur diterjang banjir. Bersamaan dengan itu, ruas Jalan Tol Tangerang-Merak juga lumpuh lantaran di ruas Serang, Banten, tergenang oleh meluapnya Sungai Ciujung. Lalu lintas pun sempat ditutup lantaran genangan tersebut mencapai ketinggian 50 cm dengan kerugian miliaran rupiah.

Belum lama berselang, Jakarta pun lumpuh, tak kuasa menerima luapan air, baik yang dikirim dari hulu maupun hujan lokal. Ibu Kota dibuat tak berdaya. Perekonomian lumpuh lantaran lalu lintas kendaraan dan kereta api terhenti. Ribuan rumah pun terendam.

Penyebab Banjir

Mengapa `Bumi Ibu Pertiwi' kian rapuh dilanda banjir? Setidaknya ada tiga hal utama penyebab banjir, yaitu tekanan manusia, variabilitas curah hujan, dan perubahan iklim. Guinness Books of Record (2008) melansir tingkat kerusakan hutan di Indone sia paling parah di antara 44 negara yang memiliki hutan.


Bayangkan, dalam setahun hutan Indonesia mengalami kehancuran seluas 1,8 juta ha. Kini, sekitar 50% hutan kita dalam kondisi kritis dan 60% spesies tumbuhan terancam punah.

Hutan yang tadinya berfungsi sebagai resapan air telah berubah menjadi lahan terbuka. Akibatnya, daya resap tanah berkurang dan aliran permukaan (run-off) meningkat saat terjadi hujan. Begitu turun hujan, air bercampur sedimentasi lumpur itu mengalir menuju sungai.

Tak hanya itu, areal sawah juga mengalami laju konversi yang sangat cepat. Kementerian Pertanian mencatat konversi sawah menjadi nonsawah (permukiman, kawasan bisnis, dan lain-lain) mencapai 200 ribu ha per tahun. Sawah yang secara ekologis berfungsi sebagai bak air tak lagi dapat diandalkan untuk menampung air hujan.

Praktis, air yang mengalir ke sungai semakin deras. Kondisi itu diperparah badan sungai yang kian dangkal. Ketika turun hujan, air sungai pun mudah meluap dan menggenangi apa saja yang dilaluinya. Apalagi sungai-sungai dan sistem drainase juga telah dipenuhi sampah. Jamak terlihat saluran pembuangan air itu terisi oleh sampah-sampah plastik, kaleng, kertas, daun, batang pohon, dan lain-lain. Praktis, ketika hujan, kawasan itu tak berdaya, dilibas banjir.

Selain ulah manusia, banjir diakibatkan variabilitas curah hujan yang mana saat intensitas curah hujan tinggi berpengaruh besar terhadap banjir. Kondisi itu diperparah perubahan iklim, yang mengakibatkan variabilitas curah hujan tidak menentu dan berdampak pada siklus hidrologi sehingga menambah intensitas dan frekuensi kejadian iklim ekstrem.

Di kota-kota pesisir yang terjadi malah lebih parah lagi. Perubahan iklim telah mengakibatkan kenaikan permukaan laut (sea level rise) di Indonesia mencapai 5–10 mm/tahun. Akibatnya, aliran sungai menuju laut melambat.

Sembilan Upaya

Setidaknya ada sembilan upaya yang perlu dilakukan secara komprehensif dan terpadu untuk meredam banjir. Pertama, perlu digalakkan berbagai riset yang bertujuan mengetahui lokasi yang berpotensi banjir, menganalisis dan membuat peta tingkat bahaya, kerentanan, dan risiko bencana banjir, serta memilih teknologi mitigasi banjir yang tepat, efektif, dan efisien.

Kedua, membangun sistem peringatan dini yang andal, baik secara struktur maupun kultur. Daerah-daerah rawan banjir perlu memanfaatkan teknologi sehingga mampu memprediksi curah hujan dan debit air secara cepat dan akurat. Ketiga, upaya nonfisik yang meliputi pembuatan peta risiko banjir, penyuluhan dan penyadaran masyarakat, pelatihan, simulasi penanggulangan banjir, peraturan perundangan, tata guna lahan, serta tata ruang berbasis mitigasi ben cana banjir.

Keempat, membangun kesiapan pelaksanaan evakuasi dan tanggap darurat dengan membuat jalur evakuasi, menyiapkan sarana prasarana untuk membantu korban dalam situasi tanggap darurat, serta menyiapkan makanan di tempat yang aman dan strategis bagi korban.

Kelima, melaksanakan rencana pengembangan wilayah dan pembangunan yang aman. Secara spasial atau keruangan, sebaran bahaya, elemen yang rentan, dan potensi risiko yang ada dapat dituangkan dalam rencana pengembangan wilayah.
Keenam, membuat bangunan pengendali banjir seperti waduk, polder, kolam-kolam penampungan, sumur resapan, saluran pengendali banjir, drainase, dan tanggul. Ketujuh, mereboisasi hutan yang gundul. Gerakan OBIT (One Billion Indonesian Tree) yang dicanangkan pemerintah perlu digalakkan guna mengurangi aliran permukaan dan emisi gas rumah kaca.

Kedelapan, pengelolaan sampah dengan menerapkan konsep reduce (mengurangi), reuse (menggunakan kembali), dan recycle (mendaur ulang). Dengan demikian, tak ada lagi sampah yang dibuang ke sungai-sungai. Kesembilan, meningkatkan kelembagaan dan tata laksana koordinasi agar tercapai sinergi. Unsur itu memungkinkan pemerintah menangani aspek bencana secara efektif, menggalang, dan mendayagunakan sumber daya yang ada.

Menurut Prof Ronald W Perry (2007) dalam bukunya, Emergency Planning, penanggulangan bencana hanya akan efektif kalau sinergi dari tiga elemen penting (pengelolaan bencana, kebijakan publik, dan pelaksanaan penanggulangan bencana dalam koridor yurisdiksi tiap lembaga) dapat diwujudkan.

Berbagai upaya tersebut tidak akan mampu membebaskan banjir secara mutlak jika tidak tercipta keharmonisan antara masyarakat dan alam lingkungannya. Diperlukan gerakan massa (people’s power), baik yang bermukim di daerah rawan banjir maupun di luar untuk menciptakan kesadaran, kepedulian, kedisiplinan, dan kecintaannya terhadap alam dan lingkung…(??)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar