|
SINDO,
28 Januari 2013
Jakarta hari-hari ini kian
lengkap sebagai pusat segalanya: pusat pemerintahan, pusat bisnis, pusat hiburan,
pusat kemacetan, pusat banjir, dan sekaligus “pusat perhatian seluruh
pejabat”. Peristiwa terakhir adalah terkait banjir secara dahsyat melanda
Jakarta dengan korban jiwa manusia yang mencapai belasan orang.
Hampir semua pejabat di Jakarta pun, mulai dari aparat keamanan (TNI), pejabat pemda, sejumlah menteri, sampai Presiden SBY, bergerak dan atau dikerahkan untuk terlibat langsung dalam menangani banjir dan dampaknya itu. Kewajiban pemerintah memang untuk menanggulangi peristiwa yang terakhir ini. Tidak boleh diabaikan karena terkait langsung dengan kehidupan masyarakat manusia, roda dan aktivitas perekonomian yang terganggu, sampai pada pelayanan administrasi pemerintahan dan masyarakat. Kita pun patut bersyukur tanggap darurat dari semua pihak terhadap peristiwa banjir di Jakarta ini berjalan lancar dan baik, wujud solidaritas sosial yang masih demikian kuat di dalam masyarakat dan komunitas aparat pemerintahan. Kendati begitu, jika yang ditangani hanya fenomena temporernya, niscaya hanya akan jadi rutinitas tahunan yang bukan mustahil “daya sedot energinya” akan kian besar. Pemerintah, baik Pemda DKI Jakarta maupun pemerintah pusat,harus terus menyediakan pendanaan khusus untuk menanganinya; suatu konsekuensi logis dan sekaligus beban tersendiri dari bangsa ini. Tepatnya, penanganan masalah banjir di Jakarta, termasuk juga terkait kemacetan, jika dengan pendekatan konvensional seperti sekarang ini, tak akan menyelesaikan akar masalahnya. Apa yang mau dikatakan di sini, kondisi Jakarta dengan, antara lain, masalah banjir dan kemacetan yang tak jelas kapan bisa berakhir dan atau teratasi, lebih disebabkan oleh setidaknya tiga faktor struktural yang saling terkait. Pertama, sejak awal Jakarta dibangun dan dikelola tanpa desain yang matang, dan nafsu pembangunan ekonomi telah mengabaikan daerah ini sebagai ibu kota atau pusat pemerintahan negara.Kebijakan pengelolaan Jakarta juga tanpa memperhatikan daya dukung lingkungan fisik, terkalahkan oleh pengaruh kekuatan para pemodal besar yang menawarkan investasi besar-besaran dan seakan tak terbatas pula. Akibatnya, secara ekologis terabaikan, ruang-ruang serapan air jadi kian berkurang. Sementara budaya sebagian masyarakat yang bermukim di kota ini masih kurang memperhatikan dimensi lingkungan yang bersih dan sehat, yang ditandai dengan membuang sampah sembarangan, apalagi di daerah-daerah kumuh atau permukiman padat, terlebih lagi yang berdomisili di pinggir sungai. Kedua, urbanisasi tak terkendali. Sangat logis kalau arus urbanisasi untuk datang dan menghuni Jakarta tak bisa dikendalikan karena memang daerah ini menjanjikan untuk mengadu nasib. Analoginya, “Jakarta bagaikan gula, yang dicari dan dikerubuti oleh semut”. Tentu semua itu bukan salah rakyat Jakarta kalau kemudian penduduk kota ini semakin padat di tengah kesemrawutan atau ketakteraturan wilayah-wilayah permukiman yang padat nan kumuh, termasuk mereka yang menghuni kawasan pinggir kali dan membuang kotoran sembarangan. Dengan kata lain, permasalahan sosio-ekologis yang melanda Jakarta hari-hari ini merupakan produk dari kebijakan pembangunan yang menganakemaskan Jawa, khususnya kawasan Jabodetabek. Pemerintah selama ini agaknya masih setengah hati dalam kaitan dengan agenda pemerataan melalui pengembangan pusat-pusat pertumbuhan di daerah lain utamanya di luar Jawa yang bisa menjadikan terdistribusinya tujuan para pencari nafkah. Maka itu, semasih tak ada perubahan kebijakan, selama itu pula masalah sosio-ekologis Jakarta dan sekitarnya masih akan tetap sulit terselesaikan. Ketiga, kurang atau bahkan tak ada koordinasi dan sinkronisasi dalam perencanaan agenda pembangunan di Jabodetabek. Masing-masing daerah otonom di kawasan ini jalan sendiri-sendiri. Padahal masalah yang terjadi di Jakarta, utamanya banjir dan kemacetan, tidaklah berdiri sendiri, tapi terkait erat dengan daerah-daerah atau kawasan yang ada di sekitarnya. Sementara pemerintah pusat agaknya terjebak dengan kebijakan otonomi daerah,membiarkan para pemda di kawasan Jabodetabek bertahan dengan ego daerahnya masing-masing. Pemerintah misalnya tidak memiliki badan khusus untuk mengoordinasi perencanaan dan pengelolaan wilayah Jabodetabek ini sehingga masalah yang timbul ditangani secara parsial atau secara sendirisendiri pula.Nantilah pada saat muncul masalah temporer seperti banjir sekarang ini baru sibuk turun tangan membantu menanganinya. Tapi, lagi-lagi, yang ditangani hanya kasusnya, bukan akar permasalahannya. Jakarta juga merupakan pusat pemerintahan negara, tempat para pihak memproses dan mengambil kebijakan negara di mana sangat menentukan juga nasib daerah-daerah lain di negeri ini. Peristiwa banjir dahsyat seperti terjadi minggu lalu, di mana para pengambil kebijakan tak bisa menjalankan pekerjaannya dengan baik, yang terganggu pelayanannya bukan hanya masyarakat Jakarta, melainkan juga daerah-daerah lain di Indonesia. Soalnya, para pejabat nasional sebagian sibuk mengurus masalah banjir Jakarta, mengabaikan urusan lain terkait agenda daerah luar Jakarta. Tepatnya, posisi Jakarta sebagai ibu kota dan pusat pemerintahan, dengan kondisi sosioekologis yang buruk seperti sekarang, secara langsung juga telah merugikan daerahdaerah lain di Indonesia. Itu semua belum termasuk ketika energi berupa pembiayaan tak terduga dari pemerintah pusat harus keluar untuk membantu mengatasi masalah banjir Jakarta. Padahal dana yang dialirkan untuk mengatasi banjir itu seharusnya bisa dimanfaatkan untuk membiayai berbagai program lain terutama di luar Jawa yang memang secara ekonomi mengalami ketimpangan yang sangat signifikan dibanding Jawa,apalagi dengan Jakarta. Maka itu, rasanya tak ada alasan lagi untuk tidak segera menindaklanjuti gagasan agar pusat pemerintahan negara ini segera dipindahkan ke luar Jawa. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar