|
REPUBLIKA,
29 Januari 2013
Pelaksanaan otonomi
daerah (otda) pada era reformasi ini seperti pedang bermata dua. Di satu
sisi, otonomi daerah diterapkan dengan harapan bahwa pemerintah daerah di
seluruh Indonesia memiliki kewenangan atau otonomi untuk mengembangkan
ekonomi dan portensi daerah masing-masing yang berdampak pada peningkatan kesejahteraan
masyarakatnya. Namun, di sisi lain, pemberian otda ternyata berkembang
menjadi pundi-pundi uang bagi koruptor.
Kekuasaan atau otonomi
yang diberikan kepada para kepala daerah merangsang para pengusaha,
birokrasi, dan politisi untuk berlomba-lomba meraih posisi strategis ini.
Akibatnya, terdapat fenomena banyaknya kursi kepala daerah yang dipenuhi oleh
orang-orang yang tidak kompeten dan tidak memiliki rasa tanggung jawab kepada
publik.
Permasalahan tersebut
sesuai dengan data yang dikeluarkan oleh Kementerian Dalam Negeri yang dipublikasikan
pada Mei 2012, terdapat sekitar 173 kepala daerah yang tersangkut kasus
korupsi. Dan pada November 2012, data dari Mahkamah Konstitusi menyebutkan
bahwa ada sekitar 240 kepala daerah yang memiliki permasalah an hukum.
Meningkatknya jumlah
kepala daerah yang tersangkut kasus hukum perlu dijadikan peringatan bagi
pemerintah dan para penegak hukum bahwa praktik korupsi di Tanah Air sudah
mencapai eskalasi yang mengkhawatirkan.
Perkembangan pelaksanaan otda membuat pola korupsi baru, yakni desentralisasi
korupsi yang diwarnai dengan maraknya fenomena raja-raja kecil di daerah.
Fenomena ini tidak boleh disepelekan karena memberikan dampak negatif bagi
perkembangan ekonomi di daerah.
Kelemahan Sistem
Salah satu penyebab
kurang berhasilnya pelaksanaan otda saat ini adalah lemahnya sistem check and balance sehingga membuat
para kepala daerah yang mendapat julukan negatif raja-raja kecil ini kurang
respek dan patuh pada kewibawaan pemerintah pusat dan aturan hukum. Tanpa
sungkan dan tidak takut pada hukum, banyak dari pejabat daerah yang
memperkaya diri dengan menyalahgunakan kekuasaan dan wewenangnya.
Mereka memanfaatkan
celah hu kum dan birokrasi. Modusnya, yaitu dengan korupsi APBD, melakukan mark up anggaran, dan melakukan pungli
kepada pengusaha dan masyarakat. Fenomena pungli perlu mendapatkan perhatian
khusus karena secara langsung akan berdampak negatif pada iklim investasi.
Praktik pungli memberikan dilema tersendiri bagi para pengusaha, pelaku
bisnis, serta investor karena akibat hal itu akan menimbulkan potensi
kriminalisasi kepada pengusaha.
Penegak hukum dapat
mengartikan bahwa pemberian uang kepada pejabat ataupun pegawai negeri sipil
dapat dianggap sebagai penyuapan. Selama 2012, tidak sedikit kepala daerah
yang tersangkut masalah korupsi menjadi headline
dalam pemberitaan di media yang menjadi sorotan publik. Salah satu contoh
yang menarik perhatian masyarakat adalah penyuapan Bupati Buol Amran Batalipu
dengan pengusaha Hartati Murdaya.
Kasus Buol ini menjadi
bukti lemahnya kontrol dari pemerintah pusat yang terlihat pada dua kerusuhan
anarkis yang terjadi pada September 2010 dan Mei 2012. Dalam kerusuhan tersebut,
pihak kepolisian yang memiliki tugas dan tanggung jawab dalam menjaga
keamanan, melindungi masyara kat, dan menjaga ketertiban umum tidak mampu
menangani situasi sehingga pengusaha harus membayar sejumlah feekepada oknum
pejabat setempat agar kondisi kembali aman.
Kasus Buol
memperlihatkan bahwa otda berpotensi mengerdilkan peran pemerintah pusat.
Dalam beberapa kasus, kepala daerah justru memiliki kekuatan dan pengaruh
lebih besar dan dapat menyepelekan pemerintah pusat.
Pemerintah harus bergerak cepat sebelum otonomi daerah menjadi `kanker' baru
bagi suksesnya program pengentasan korupsi di Indonesia. Pemerintah perlu
meningkatkan peran institusi penegakan hukum, seperti KPK dan kejaksaan di
daerah-daerah.
Revisi Undang-Undang
KPK akan lebih baik jika dapat meningkatkan kemampuan KPK untuk lebih berdaya
guna dalam pemberantasan korupsi di daerah. Dan, UU No 32/2004 tentang Otda
juga perlu direvisi secepatnya agar dapat memberikan kewenangan ke pada
gubernur sehingga dapat menyederhanakan birokrasi dan dapat memberikan check and balance di daerah, khususnya
bagi pemerintahan kabupaten.
UU No 32/2004 tersebut
juga perlu direvisi karena tidak mendorong iklim investasi dan usaha yang
kondusif bagi para investor. Karena, hal itu terbukti justru mendorong para
kepala daerah melakukan pidana korupsi. Hal yang juga penting adalah
pemekaran daerah sebaiknya dihentikan sampai terdapat revisi terbaru UU Otda. Pemekaran
daerah yang merajalela akan membuat praktik korupsi di daerah menjadi tak
terkontrol. Desentralisasi korupsi harus dicegah sebelum menggerogoti perekonomian
nasional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar