|
MEDIA
INDONESIA, 26 Januari 2013
KONFLIK dan kekerasan berulang kali terjadi di
berbagai wilayah negeri ini. Terbaru, amuk massa dan tindakan anarkistis di
Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB). Akibat kerusuhan tersebut,
puluhan bangunan berupa rumah dan fasilitas bisnis (toko, swalayan, pasar,
dan hotel) rusak dan terbakar.
Massa juga membakar sejumlah kendaraan.
Kekerasan itu juga diikuti penjarahan dan pencarian terhadap warga etnik
tertentu. Penelusuran polisi menyatakan amuk massa dipicu kesimpangsiuran
kabar tentang perempuan warga setempat yang tewas akibat kecelakaan lalu
lintas. Kesalahpahaman berkembang karena warga telanjur percaya bahwa
perempuan itu tewas dianiaya seorang warga Sumbawa dari etnik pendatang.
Setelah membaca dan menyimak kabar-kabar
tentang tindakan kekerasan itu, muncul persepsi bahwa warga negeri ini belum
terbebas dari jerat perilaku kekerasan. Tindak dan perilaku kekerasan seolah
sudah menjadi budaya atau kebiasaan dalam masyarakat. Jika merunut jejak
sejarah, Indonesia tidak pernah berhenti mengalami konflik dan kekerasan
sejak era kerajaan hingga masa kini.
Akar masalah konflik dan kekerasan
antarkelompok masyarakat atau antarwarga memiliki latar belakang yang
beragam. Akar konflik bisa berpangkal pada perselisihan pribadi di antara dua
orang yang berasal dari golongan etnik berbeda. Bisa juga karena faktor
sosial budaya, politis, ideologis, dan kecemburuan ekonomi. Etnik setempat
terlibat konflik dengan etnik pendatang. Etnik setempat merasa cemburu secara
sosial ekonomi terhadap etnik pendatang yang secara sosial ekonomi lebih
baik. Konflik sosial dan horizontal menjadi membesar, meluas, memanas, dan
mengeras karena melibatkan sentimen kesukuan, ras, politis, ideologis, dan
agama.
Telah menjadi fakta bahwa konfl ik selalu
menjadi bagian hidup manusia yang bersosial dan berpolitik serta pendorong dalam
dinamika dan perubahan sosial politik (Kornblurn, 2003). Ada beberapa
tipologi kekerasan di Indonesia. Ada kekerasan yang dilakukan perorangan,
perlakuan kekerasan dengan menggunakan fisik (kekerasan seksual), verbal
(termasuk menghina), dan psikologis (pelecehan) oleh seseorang dalam lingkup
lingkungannya.
Kekerasan yang dilakukan negara atau kelompok,
yang oleh Max Weber didefinisikan sebagai ‘monopoli dan legitimasi untuk
melakukan kekerasan secara sah’, yakni dengan alasan untuk melaksanakan
putusan pengadilan, menjaga ketertiban umum, atau dalam keadaan perang yang
dapat berubah menjadi semacam perbuatan terorisme yang dilakukan oleh negara
atau kelompok yang dapat menjadi salah satu bentuk kekerasan ekstrem
(genosida, dll).
Tindakan kekerasan yang tercantum dalam hukum
publik yakni tindakan kekerasan
yang diancam oleh hukum pidana, seperti
sosial, ekonomi, atau psikologis (skizofrenia, dll). Kekerasan dalam politik
umumnya pada setiap tindakan kekerasan tersebut dengan suatu klaim legitimasi
bahwa mereka dapat melakukannya dengan mengatasnamakan suatu tujuan politik
(revolusi, perlawanan terhadap penindasan), serta hak untuk memberontak atau
alasan pembunuhan terhadap raja lalim, walaupun tindakan kekerasan dapat
dibenarkan dalam teori hukum untuk pembelaan diri atau oleh doktrin hukum
dalam kasus perlawanan terhadap penindasan di bawah tirani dalam doktrin hak
asasi manusia.
Kekerasan simbolik (Bourdieu, Theory of
Symbolic Power), merupakan tindakan ke kerasan yang tak terlihat atau
kekerasan secara struktural dan kultural (Johan Galtung, Cultural Violence).
Dalam beberapa kasus dapat pula merupakan fenomena dalam penciptaan
stigmatisasi.
Konflik bisa muncul pada skala yang berbeda
seperti konflik antarorang (interpersonal
conflict), konflik antarkelompok (intergroup
conflict), konflik antara kelompok dan negara (vertical conflict), dan konflik antarnegara (interstate conflict). Catatan panjang ini sekadar memahami
bagaimana wajah Indonesia yang bersinggungan dengan kekerasan (Izal
Panggabean, 2011).
S Freud (1930) dalam Introductory Lecturers on Psychoanalysis, yang sangat populer
tapi klasik, membagi dua insting manusia secara dikotomis, yakni insting
kehidupan, yang disebutnya eros, dan insting kematian (death instinct).
Agresi merupakan akar kekerasan yang berasal dari insting atau dorongan
kematian ini. Bahkan, menurutnya lagi, bahwa death instinct merupakan
kekuatan biologis dalam semua organisme kehidupan. Meskipun teori ini ditolak
banyak rekan Freud, perlu direnungkan seperti pertanyaan terdahulu, apakah
kekerasan itu merupakan bawaan atau terjadi karena faktor interaksi sosial.
Apabila mengacu ke pendapat Freud tersebut,
kekerasan yang muncul, seperti yang terjadi akhir-akhir ini, merupakan bawaan
manusia. Manusia dalam dirinya memiliki dorongan untuk menyerang, menyiksa,
bahkan membunuh dirinya maupun orang lain. Perilaku agresif pada dasarnya
bukan merupakan reaksi terhadap stimulus luar, melainkan rangsangan dalam
yang sudah ‘terpasang’ secara mekanis dan mencari pelampiasan dan diekspresikan
sekalipun dengan rangsangan luar yang sangat kecil.
Kekerasan merupakan noda demokrasi. Dengan
meminjam ungkapan YB Mangunwijaya, kekerasan sebenarnya merupakan sebentuk
kebodohan! Pada dasarnya, manusia dengan demikian juga masyarakat dan bangsa yang
cerdas dengan sendirinya tidak suka kekerasan. Kekerasan merupakan insting
hewani, utamanya binatang buas, bukan sifat dasar manusia, masyarakat, bangsa
yang bermartabat (Aloys Budi Purnomo, 2010).
Perasaan aman dan bebas dari rasa takut
merupakan bagian integral dari HAM yang sangat mendasar, fundamental, dan
hakiki. Sudah seharusnya perasaan aman dan bebas dari rasa takut terhadap
segala bentuk kekerasan ditegakkan di tengah-tengah kehidupan masyarakat
kita. Pemerintah, aparat keamanan, dan semua elemen masyarakat secara
keseluruhan ikut bertanggung jawab untuk saling memberikan jaminan rasa aman
sehingga kita terbebas dari rasa takut terhadap segala bentuk kekerasan.
Begitu banyak kerugian yang
diderita akibat kekerasan, bukan hanya kerugian materiel dan nonmateriel,
melainkan juga kerugian psikologis berupa ketakutan dan trauma yang sulit
hilang serta mengganggu roda pembangunan bangsa.
Karena itu, pemerintah dan masyarakat harus menghapus budaya kekerasan, yang
dimulai dari kehidupan diri sendiri, keluarga, masyarakat, dan kehidupan
berbangsa dan bernegara. Rumusnya sangatlah sederhana, yaitu menempatkan
manusia Indonesia dari mana pun latar belakangnya untuk dapat berperan dalam
kehidupan. Dihargai dan dihormati segala kelebihan dan kekurangannya secara
adil dan beradab dalam semua dimensi kehidupan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar