|
SINDO,
30 Januari 2013
The Jakarta
Post (28/1) memberitakan bahwa sejumlah negara mendukung agenda yang
diusulkan Indonesia dalam pertemuan tingkat tinggi APEC (Asia-Pacific Economic Cooperation) di Bali pada bulan Oktober
2013 mendatang.
Ini menurut Menteri Perdagangan Gita Wirjawan yang menceritakan hasil dari pertemuan informal atas inisiatif Indonesia di sela-sela pertemuan World Economic Forum (WEF) di Davos. Dalam berita itu dikabarkan juga mantan Menteri Perdagangan yang sekarang menjabat sebagai menteri pariwisata dan ekonomi kreatif, Mari Elka Pangestu, sedang diusung sebagai calon pimpinan World Trade Organization (WTO). Dalam kesempatan yang berbeda, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Dr Chatib Basri mengklaim Indonesia sebagai salah satu negara favorit tujuan investasi yang menarik perhatian banyak pihak selama pertemuan WEF. Dengan membaca berita tersebut, kita dapat merasakan optimisme yang merekah dari para pejabat Indonesia, khususnya mereka yang bergerak di lini perdagangan internasional. Betul, dunia ini tak sabar untuk segera keluar dari kegelisahan akibat lambannya pertumbuhan ekonomi dan beragam ketidakpastian politik yang menyertai di sebagian besar negara dunia.Pertemuan tak kurang dari 600 investor dan pebisnis dari berbagai belahan negara, yang didampingi juga oleh pejabat-pejabat negaranya, adalah forum pendongkrak semangat untuk keluar dari krisis. Siapa yang mereka lirik? Tentu negara-negara yang daya belinya meningkat, populasinya relatif besar, dan politiknya relatif stabil atau bisa diandalkan sebagai mitra kerja sama bisnis yang menguntungkan. Indonesia, seperti selalu saya katakan sejak tahun lalu, adalah bak gadis belia yang baru terlihat pamornya meskipun dalam sejumlah publikasi WEF Indonesia justru terkesan “kurang cantik” karena tingkat daya saing yang rendah, merosot, dan sebagainya. Toh, apa pun kritik orang, siapa pun yang pernah berbisnis dan bekerja di Indonesia hampir selalu betah. Ada trik menaklukkan hati bangsa ini yang ternyata mudah ditemukan bangsa lain. Untuk itu, antusiasme Gita Wirjawan, Mari Pangestu, dan Chatib Basri perlu ditempatkan dalam proporsi yang tepat. Di satu sisi saya menyambut baik peluang bagi Indonesia untuk tampil di forum-forum bergengsi dunia. Di sisi lain, kita perlu paham juga kepemimpinan di forum dunia punya implikasi di bidang ekonomi maupun sosial, apalagi karena dalam budaya Indonesia, personalitas seorang tokoh adalah tumpuan harapan publik. Maksud saya begini. WEF adalah forum besar yang idenya adalah mempertemukan tokoh-tokoh (elite) di bidang bisnis, politik, dan segelintir di bidang sosial agar kondisi dunia yang kerap senjang antara kemajuan di bidang ekonomi dan sosial dapat diperbaiki. Dalam istilah Prof Klaus Schwab, sang penggagas WEF yang mengembangkan forum ini menjadi makin bergengsi sejak tahun 1971, inilah tempatnya ide, visi, serta kesempatan berkembang bertemu. Tak tanggung-tanggung, dengan bekal kemahirannya mengelola jejaring sosial, politik, serta kepakarannya di bidang bisnis dan tentu kemujurannya, Prof Schwab menjadikan pertemuan ini sebagai rutinitas, lengkap dengan yayasan yang menampung social entrepreneurship dan mempertemukan young global leaders (pemimpin muda berpotensi). Gita Wirjawan dan Chatib Basri adalah contoh segelintir orang muda Indonesia yang masuk dalam lingkar pergaulan WEF ini. Dalam dunia diplomasi, pertemuan macam WEF dikenal sebagai side meetings, pertemuan sampingan yang sifatnya lebih banyak informal daripada protokoler. Para undangan hadir sebagai individu meskipun sebagian besar dari mereka adalah orang-orang berduit dan berpengaruh, bahkan dengan syarat tertentu misalnya dengan aset kekayaan perusahaan lebih dari sekian miliar dolar, berpengaruh di negerinya, dan sebagainya. Fungsi dari pertemuan ini adalah mencairkan suasana formal yang biasanya ada di pertemuan antarkepala negara dan bisnis, misalnya di APEC. Banyak ide, usul, bahkan curhat (berbagi perasaan) terjadi dalam forum macam ini. Tak mengherankan, biasanya deal bisnis bahkan kerja sama bilateral memang berawal dari pertemuan macam ini. Jadi wajar bila para menteri kita begitu antusias ketika menerima tanggapan positif dan perhatian di WEF. Namun perlu dicatat kedekatan personal dalam forum-forum tersebut akan diuji oleh reputasi negara, termasuk praktik tata kelola pemerintahan di segala level dan hubungan mereka dengan aktor non-negara. Ketika tiap person ini pulang ke perusahaan, kementerian, dan kota masing-masing, terjadilah reality check. Timbang-timbang terjadilah. Jika “sang broker” yang berangkat ke WEF sangat didengar oleh orang nomor satu, tidak mustahil perjanjian bisa terwujud. Tapi itu pun bukan garansi kerja sama yang mulus. Di lapangan, senyum dan keakraban para elite ini tidak akan terasa. Para direktur dan manajer akan bergulat dengan realitas pembuatan kontrak, penghitungan biaya, rekrutmen staf, dan lain-lain yang tidak seindah senyuman di forum. Masih terkait dengan kedekatan personal, rata-rata orang Indonesia sangat mencari dan memuja tokoh-tokoh politik yang mendapatkan penghargaan dan jabatan penting di luar negeri. Biasanya itu menjadi modal legitimasi untuk naik jabatan dalam jenjang politik di dalam negeri. Selain itu, publik juga menggantungkan harapan sangat tinggi kepada mereka. Padahal, di negara-negara lain, jabatan-jabatan macam itu justru tidak personal. Tidak ada beban berlebih dari publik kepada pejabat yang naik karena sistem di negeri itu sudah berjalan sendiri–– tidak tergantung pada person. Misalnya di WTO. Seorang direktur jenderal di WTO berfungsi sebagai pengawas fungsi-fungsi administratif di lembaga itu. Ada sekitar 700 staf yang perlu diurus. Urusan kebijakan justru kecil saja peranannya. Memang sang dirjen akan pergi mewakili WTO ke sejumlah pertemuan, tapi ia lebih sebagai juru bicara, manajer, dan pemberi nasihat. Bayangkan waktu yang tersisa untuk menilik kondisi di dalam negeri misalnya atau memperhatikan kebutuhan negeri sendiri. Sulit sekali! Kritik terbesar bagi WTO saat ini adalah karena mereka dianggap tidak mampu mendorong negosiasi perdagangan yang terkait dengan produk pertanian, produk green (terkait prinsip sustainable development yang ramah lingkungan), dan produk berhak cipta. Kepercayaan publik kepada WTO sedang sangat rendah. Memang terjadi penurunan tarif dalam beberapa produk, tetapi dalam realitas Uni Eropa, China, bahkan Amerika Serikat, misalnya, menegakkan hambatan nontarif yang merepotkan dan mahal bagi negara lain. Soal subsidi, misalnya, masih tidak ada jalan tengah mengapa negara-negara berkembang haram menerapkan subsidi, sementara hal itu dianggap wajar di negara maju. Artinya, ke depan, tantangan dalam jangka pendek adalah menembus kebuntuan itu. Kementerian Luar Negeri mencanangkan bahwa pendekatan yang diprioritaskan adalah pendekatan bilateral, karena itu yang dianggap lebih efektif ketimbang pencarian solusi di tingkat multilateral seperti di WTO ataupun APEC. Jelas, ini berseberangan dengan visi kementerian perdagangan, pariwisata dan investasi yang tetap mendorong ke arah multilateral. Perlu diingat persoalan liberalisasi perdagangan ataupun proteksionisme di Indonesia tidak bisa diselesaikan di meja perundingan. Dalam rangkaian pertemuan antarkementerian terkait ketahanan pangan, energi, alih teknologi, infrastruktur, kehutanan, dan lain-lain, problem terbesar Indonesia adalah manajemen makro yang tidak merespons kebutuhan di tataran mikro, kuatnya mafia oknum yang membelokkan kebijakan menjadi tambang uang pribadi, problem ketidakberdayaan petani dan pekerja, dan lain-lain. Para tokoh kita sebaiknya berbagi tugas juga, tidak hanya “keluar”, tetapi membenahi kesiapan Indonesia di dalam. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar