|
MEDIA
INDONESIA, 30 Januari 2013
SELEBRITAS pemadat dalam alam pikir abad ke-15 menusa Cirebon
terposisikan sebagai dialektika reh-markayang
(hamba setan). Sebab itu, para penuhan candu kerap menyebut diri menjadi
reang, bukan kula asal dari kawula atau saya (sahaya) juga abdi
(ibad). Artefak teosastrawi
menyebut lelaku itu dalam sebuah frasa yang kerap ditutur ulang para dalang
wayang, “Kadudrung candu, oyod mingmang
kewirangan.“
Ketika candu madat menjadi gelisah nafsu, orang akan
terbelit akar cakar malu yang mematikan. Dengan disebabkan hal itu, perlu
ritual ruwat agar kembali menjadi reh-hyang (hamba Tuhan). Yang membuat saya
terkesima, ternyata meruwat menusa madat dimulai dari depan pintu rumah. Di
sini, ada akar pikir metafora percakapan `Putri
Guri Lawang' bahwa `setya budya pengekese durangkara madat lan dursila
angrabeni'.
Hanya dengan mempertajam kecerdasan budi, nafsu madat dan
lelaku angrabeni akan menjauh dari pintu rumah kita. Kecerdasan budi bisa
jadi kata kunci untuk menutup pintu perilaku keriting madat candu. Tentu,
tidak hanya itu.
Bahkan ketika Badan Narkotika Nasional (BNN) menyatakan lima orang positif
menggunakan narkoba dari 17 orang yang ditangkap di rumah Raffi Ahmad (27/1)
yang di antaranya artis, yakni Raffi Ahmad, Zaskia Sungkar, Irwansyah, dan
wakil rakyat Wanda Hamidah, nalar saya berlari ke era geger Nyi Mas Gading
pada pertengahan abad ke-15. Kenapa? Bermula dari geger Gading ini, manusia
madat candu direstorasi ke ruang ukhrawi yang steril.
Penghapus Bedak
Era itu, pertengahan abad ke15 pintu rumah warga Cirebon
dipasangi tanda penolak bala berupa darah kerbau. Ada apa? Ambarang wayang
kabarkan bakalan datang ronggeng sinden cantik berasal dari Gadingan
Indramayu. Itu membuat elite Cerbon cemas.
Nyi Mas Gading Ronggeng ditengarai sebagai penyebar frasa
racun madat wadon nirmadat wadonira.
Wanita bermahkota dursila yang dari setiap jejak ronggengnya akan lahir
wanita tidak tahu malu bernama wadon
wirang juga lanang madat mabuk.
Adakah Nyi Mas Gading secantik Ria Irawan, Jennifer Dunn,
Sheila Marcia, Ade Ivay, dan entah siapa lagi? Hmm, bisa jadi, memang demikian
adanya. Artefak tekstual melukis diri Nyi Mas Gading sebagai sang selebritas.
“Bukan gula, bukan air gula, tapi
bibirnya manis tak terkira. Betisnya terkuak membersit terang, bercahaya
membakar berahi, tampak kuning kehijau-hijauan bagaikan kuncup bunga pandan,“
itu kata nayaga ronggeng sebelum
Nyi Mas Gading memasuki areal pertunjukan.
Ronggeng syahwati itu pun menjadi geger rerungon. Tiap
kali Nyi Mas Gading pentas, selalu saja ada cerita dur angkara madat lan dursila angrabeni. Hingga pada titik terjauh,
ketika ruang mesum kian terbuka, ketika para pria membeli candu madat mabuk,
muncul pria lansia berwajah bening bernama Ki Kapetakan. Di ujung malam, jelang
fajar, seusai pesta, Ki Kapetakan berujar, “Tinemu wong ngantuk anemu kethuk. Malenuk samargi-margi. Marmane
bungah kang nemu. Marga jroning kethuk isi. Kencana candu abyor.“
Akan ditemukan manusia nestapa yang melangkah dalam
keadaan tak sadar di jalan-jalan labirin. Mereka menemukan kethuk (gong
kecil). Sesaat semringah. Padahal,
isi kethuk itu cuma candu kencana.
Ki Kapetakan cipratkan air seraya tuturkan kecerdasan budi
sebagai penolak bala atas kehadiran Nyi Mas Gading. Ia bahkan coba mendekati
Nyi Mas Gading agar berhenti menjadi ronggeng
madat angrabeni. Ia kabarkan bahwa angrabeni (seks) itu berasal dari kata
dasar rabi.
Ini agar dimaknai bahwa seks itu ritual ibadah terhadap
rabi (istri). “Angrabeni iku kudu
kanthi laku,” tutur Ki Kapetakan. Artinya, esensi seks itu ialah amalan
lelaku utama dunia sekaligus amalan saleh
nganggo akherat. Artinya lagi, seks itu agar diyakini bagian peribadatan
yang dari setiap desah napas yang dikeluarkan akan alirkan kearifan ekstasi
religi.
Yang malang, tuturan seputar kecerdasan budi Ki Kapetakan
dilecehkan Nyi Mas Gading beserta para nayaga. Bahkan pada titik didih
tertentu ketika matahari retak di atas Kali anyar, Cerbon pada 1540 M,
lihatlah Nyi Mas Gading merayu Ki Kapetakan.
Perdebatan seputar dur angkara madat lan dursila angrabeni
muncrat-muncrat menjadi lakon erotis di antara pusaran candu, mabuk, dan
sensualitas seks. Konon, Ki Kapetakan nyaris kepincut tiap kali sebersit
cahaya berahi terkuak dari betis Nyi Mas Gading.
Tersebab itu, pria lansia itu memejamkan matanya. Nyi Mas
Gading bertutur lirih merayu Ki Kapetakan, “Wahai Batara Asmara, dewanya kain tersibak, sang pembangkit laras di
hati. Kakang bagai air mata penghapus bedak. Seandainya kuncup bunga layu
asalmu dari sanggul wanita. Kakang adalah sumber dan tujuan rasa berahi
melekat.“
Ki Kapetakan ambruk! Ada aliran syahwat mengendap-endap di
kain sarungnya. Akan tetapi, Tuhan menyelamatkan Ki Kapetakan. Pada saat Ki
Kapetakan pasrah, saat itulah Kerbau Ki Kuwu Cerbon yang baru habis meluku
mengamuk dan menghabisi rombongan kesenian itu. Nyi Mas Gading tewas! Ia
dikuburkan di Desa Kalianyar Ceribon. Hingga kini makam Nyi Mas Gading
Ronggeng tidak pernah sepi diziarahi warga pemuja syahwat. Para peziarah
sering kali melakukan sawer.
Sepasang Sayap
Hikmah kearifan lokal yang bisa dipetik, paling tidak, BBN
menyadari bahwa ketika para bintang memuja nafsu hewani, hanya binatanglah
yang mampu mematikan hasrat buruk itu. Seekor kerbau telah membuat kubangan
kuburan untuk Nyi Mas Gading. Namun, dari ruang nalar lain, era itu Ki Kuwu
Cerbon memosisikan disiplin rumah—ritual ruwat depan pintu--dijadikan ageman
komitmen kultural bersifat holistik.
Ki Kuwu Cerbon ingin tuturkan bahwa dari rumahlah, untuk
pertama kali seorang anak mendapat pengetahuan tentang kehidupan. Wong Cerbon
menyebut sebagai Putri Guri Lawang. Itu bermakna bahwa seorang ibu rumah
tangga yang berada di balik pintu layak disebut putri terhormat manakala bisa
memosisikan diri sebagai wanita yang tak pernah letih mengajarkan kualitas
moral dalam memfaktualkan nilai-nilai luhur budaya.
Bila itu tidak bisa, lipat saja sang rahim. Biarkan jadi
kering tanpa pernah melahirkan anak. Itu tentu duka budaya yang dituturkan
penyair Ahmad Nurullah dalam pahatan teks yang pedih, “Dan jangan sekali-sekali bermimpi untuk datang. Kubayangkan, di
langit tubuhmu bening bagai sepasang sayap kupu-kupu belum dilukis oleh
benda-benda, oleh pelbagai cuaca, oleh air mata. Bersyukurlah kau jadi orang
yang tak ada. Bertahanlah terus untuk tak ada. Tak pernah ada!” ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar