|
KOMPAS,
28 Januari 2013
Bahwa Jakarta dan sekitarnya dalam keadaan
darurat tidak perlu diuraikan lagi. Masalahnya, apa yang dapat dilakukan
untuk mengatasinya? Penulis tidak mempunyai keahlian dalam hal lalu lintas,
apalagi dalam hal kontrol banjir. Maka, saya hanya ingin mengajukan beberapa
pertimbangan sederhana yang barangkali juga ada di hati banyak warga DKI
Jakarta.
Tidak perlu diragukan bahwa kalau mass
rapid transit (MRT) sudah tersedia, situasi lalu lintas di DKI Jakarta akan
mengalami perbaikan sangat berarti. Begitu pula kalau terowongan multifungsi
sudah jadi, banjir di Jakarta pasti akan berkurang.
Stop Proyek Raksasa
Masalahnya, dua proyek raksasa tersebut
baru akan mulai berfungsi sesudah sekian tahun. Terowongan multifungsi pasti
perlu waktu sekurang-kurangnya empat tahun (kalau terowongan itu mau
multifungsi, dia merupakan bangunan kompleks dan betul-betul mahal) untuk
membangunnya. Apalagi, MRT.
Kereta di bawah tanah bagi negara-negara
kaya pun hampir tak terbayarkan (serta kemudian memerlukan subsidi kontinu).
Proyek super mahal itu akan menyedot sebagian besar dana yang tersedia bagi
pembangunan infrastruktur di DKI.
Saya tidak percaya bahwa MRT (bahkan bagian
pertama yang sampai Hotel Indonesia) dapat dipakai sebelum tahun 2019.
Padahal, menurut para ahli lalu lintas di Jakarta, paling lambat (!) ibu kota
akan lumpuh di tahun 2014 akibat beban volume kendaraan!
Berbuat Sekarang
Maka, maaf, dua proyek raksasa itu plus
enam jalan tol dalam kota harus dicoret untuk sementara waktu. Kok Gubernur
Joko Widodo (Jokowi) cepat sekali berkapitulasi alias menyerah. Sekarang dia
malah mau mempertimbangkan untuk mengadopsinya dengan melawan pandangan
banyak ahli kompeten. Mengingat keadaan DKI sudah darurat, seluruh dana yang
tersedia harus dipakai untuk menstabilkan Jakarta dulu.
Adakah solusi jangka pendek? Tentu saja
ada, meski jelas tidak sempurna, dan bukan jangka panjang. Namun, mengabaikan
perbaikan kecil-kecilan yang ternyata mungkin dan efektif demi tiga proyek
yang manfaatnya—kalau memang ada—baru akan dirasakan sesudah sekian tahun
adalah perbuatan tidak bertanggung jawab.
Kemacetan
Dua hal berikut bisa langsung dimulai untuk
mengurangi kemacetan. Pertama, optimalkan busway dan fungsikan semua jalur
busway yang sudah direncanakan! Disterilkan tanpa ampun! Disediakan cukup
banyak bus agar setiap tiga menit ada bus lewat! Perluas manfaat jalur busway
dengan mengizinkan penggunaannya oleh kendaraan umum yang memenuhi syarat
(katanya sudah menjadi rencana).
Kedua, kembangkan semua jalur kereta api
(KA) dalam kota menjadi kereta cepat dalam kota (KCDK) di seluruh Jabotabek.
Untuk itu, pertama-tama semua jalur KA perlu diangkat, seperti jalur Gambir.
Tidak boleh lagi ada crossing jalur KA dengan jalan. Itu tidak sulit karena
tanah dan teknologi sudah tersedia. Tentu perlu dibangun stasiun secukupnya
dengan tujuan agar di antara Bekasi, Depok, Tangerang, dan DKI setiap tiga
menit ada kereta lewat di kedua arah.
Fungsikan Stasiun Manggarai untuk KA ke
luar Jabotabek, seperlunya dengan rel bertingkat agar tidak mengganggu KCDK.
Ciptakan integrated ticket system. Dan, bangun sekarang juga jalur KCDK
Jakarta—Soekarno-Hatta—(dan sampai Kota) Tangerang.
Lantas dapat diambil beberapa tindakan
penunjang. Direncanakan angkutan umum yang menghubungkan busway dengan sistem KCDK. Dipertimbangkan kembali
realisasi monorel yang pilar-pilarnya sudah ada.
Dan dengan memakai ”metode halus
Jokowi”—direncanakan jalan-jalan dengan kaki
lima sedemikian nyaman sehingga
orang bisa berjalan lancar di atasnya agar orang Jakarta belajar lagi bahwa
jarak sampai satu kilometer dapat ditempuh dengan jalan kaki.
Banjir
Baru saja di harian ini dicatat lengkap
sekian langkah konkret yang dapat diambil dan pasti akan sangat terasa.
Memang, dalam jangka panjang, dua ancaman harus ditangani, air kiriman dari
selatan dan masalah sebagian tanah Jakarta sudah di bawah permukaan laut,
tetapi masih turun juga dan air laut pasti akan naik.
Dua tantangan raksasa di sini tidak
dimasuki. Yang sudah ditulis di harian ini tidak perlu diulang di sini. Cukup
kalau kita berpegang tegas pada prinsip bahwa proyek besar jangka panjang
ditunda dulu supaya segenap dana dapat dipakai untuk mengambil
langkah-langkah konkret nyata yang langsung akan terasa ini.
Sekadar untuk diringkas saja, asal semua
saluran air yang ada, atau segera bisa diadakan, difungsikan sepenuhnya,
diadakan polder, dan sebagainya, maka sebagian besar banjir, terutama semua
banjir akibat hujan deras di Jakarta, dapat diatasi. Yang penting, gubernur melibatkan wali
kota, ketua RW, dan ketua RT.
Mereka harus dibuat bertanggung jawab
dengan ancaman dipecat agar semua saluran di wilayah masing-masing selalu
bersih dari sampah dan endapan. Untuk setiap saluran besar kecil satu-satu
ditetapkan wali kota, ketua RW, dan ketua RT mana yang langsung bertanggung
jawab.
Model tanggung jawab itu sudah dipakai
dengan sukses di beberapa tempat dalam hal penghijauan. Pembersihan sungai
dari perumahan harus dilaksanakan dengan ”cara Jokowi”, dan perlu disediakan
biaya banyak agar puluhan ribu manusia dapat dipindahkan secara manusiawi.
Pengumpulan sampah dapat dan perlu
diperbaiki sedemikian rupa hingga masyarakat tidak perlu membuangnya langsung
ke saluran. Kesimpulannya, tunda dulu segala kegiatan persiapan MRT,
terowongan multifungsi, jalan tol dalam kota, dan proyek raksasa lain, tetapi
pakailah dananya untuk tindakan-tindakan relatif sederhana untuk memfungsikan
sepenuhnya apa yang sudah ada. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar