|
SINDO,
29 Januari 2013
Lubang besar di benteng
keadilan itu bertutur tentang cacat cela ribuan oknum hakim.Demikian besar
lubang itu sehingga sudah menggoyahkan kepercayaan rakyat. Kini, bagi pencari
keadilan di negara ini, benteng keadilan tidak ideal lagi untuk berlindung.
Banyak oknum hakim kini begitu mudah tergoda dan menjadi sangat kompromistis terhadap berbagai bentuk dan modus kejahatan. Kebenaran tidak lagi di atas segala-segalanya. Ruang persidangan sudah dijadikan tempat untuk bertransaksi oleh begitu banyak oknum hakim. Bagi kelompok oknum hakim seperti ini, di atas segala-galanya adalah uang sogok. Maka itu, ada kasus hakim agung yang memalsukan vonis dengan tulisan tangan, ada hakim yang tertangkap tangan saat menggenggam uang suap, hingga ada juga oknum hakim yang tertangkap saat berpesta sabu di klub malam. Kecenderungan inilah yang mendasari keprihatinan Komisi III DPR ketika melaksanakan uji kepatutan dan kelayakan para calon hakim agung baru-baru ini. Delapan hakim agung memang sudah terpilih guna merespons tambahan kebutuhan Mahkamah Agung (MA). Namun, berbagai kalangan, termasuk unsur pimpinan DPR, terang-terangan menyatakan tidak puas atas hasil seleksi itu. Komisi III DPR pun kecewa karena tambahan delapan hakim agung itu diyakini tidak akan efektif memperbaiki kerusakan parah yang terjadi dalam dunia peradilan Indonesia. Kasus Hakim Agung Achmad Yamanie dan kasus Hakim Puji Wijayanto memberi gambaran utuh tentang kerusakan parah dunia peradilan Indonesia. Yamanie bersama dua koleganya membatalkan hukuman mati bagi terpidana gembong narkoba Hangky Gunawan menjadi 15 tahun hukuman penjara. Namun, Hakim Agung Yamanie masih berusaha meringankan hukuman itu. Caranya pun konyol. Dia memalsukan vonis itu dengan tulisan tangan menjadi 12 tahun. Sedangkan apa yang dilakukan Hakim Puji Wijayanto membuat banyak orang hanya bisa geleng kepala. Hakim Puji ditangkap saat dia berpesta sabu di sebuah klub malam. MA pun menyikapi dua kasus ini sebagai tamparan keras yang amat memalukan korps hakim. Catatan tentang perilaku tak terpuji oknum hakim cenderung meningkat. Beberapa tahun lalu MA pernah mengakui sekitar 30% hakim di setiap daerah, termasuk ketua pengadilan negeri (PN) dan pengadilan tinggi (PT), bermasalah atau nakal. Perilaku tercela para hakim itu dilaksanakan dengan beragam modus sehingga di kalangan korps hakim dikenal istilah “anak emas” dan “anak perak”. Dari akumulasi temuan MA dan laporan masyarakat terlihat bahwa kasus pelanggaran etika atau kejahatan yang melibatkan oknum hakim memang cenderung meningkat. Kalau per 2007 hanya ada 14 kasus hakim yang melanggar etika, jumlahnya terus bertambah pada tahun-tahun berikutnya. Per 2008 tercatat 38 kasus, naik menjadi 78 kasus pada 2009, dan bertambah lagi menjadi 110 kasus pada 2010. Sementara tahun lalu Komisi Yudisial (KY) mengumumkan telah menerima 1.357 laporan tentang hakim bermasalah, sementara jumlah tahun sebelumnya mencapai 1.724 laporan. Laporan hakim bermasalah itu berasal dari masyarakat. Menurut MA, dalam rentang waktu 2007–2012, jumlah hakim yang mendapatkan hukuman disiplin mencapai 366 hakim. Khusus pada 2012 jumlah hakim yang menerima hukuman mencapai 110 hakim. MA tidak hanya memberi sanksi kepada ratusan oknum hakim. Hingga akhir 2012 misalnya MA juga menjatuhkan hukuman kepada puluhan pegawai dari level panitera, panitera muda, panitera pengganti, pejabat struktural dan nonstruktural, juru sita, serta juru sita pengganti. Itulah lubang besar di benteng keadilan negara ini. Lubang yang menggambarkan kerusakan serius duniaperadilan Tanah Air. Potret kerusakan itu terlihat begitu telanjang pada kasus Hakim Agung Yamanie, kasus Hakim Puji, termasuk kasus vonis bebas oleh hakim tipikor dalam perkara mantan Wali Kota Bekasi Mochtar Muhammad. Hentikan Brutalitas Ada dua target ketika Komisi III DPR melaksanakan uji kepatutan dan kelayakan calon hakim agung baru-baru ini. Pertama, memenuhi tambahan calon hakim agung yang dibutuhkan MA. Sebelumnya hanya ada 44 hakim agung untuk menghadapi beban pekerjaan sebanyak 12.000 tunggakan perkara di MA. Dengan tambahan delapan hakim agung yang baru, jumlah hakim agung belum ideal untuk beban pekerjaan sebanyak itu. Sedangkan target kedua adalah memilih sosok hakim agung dengan reputasi dan integritas yang teruji, berkeahlian di atas rata-rata, dan visioner. Para hakim agung yang paham tentang kerusakan dunia peradilan Tanah Air tahu apa saja yang harus diperbaiki dan bagaimana cara memperbaiki kerusakan itu. Namun, target ini tak terpenuhi karena kualifikasi peserta seleksi rata-rata standar. Karena itu, MA dan KY harus lebih bekerja keras dan bersungguh-sungguh dalam memperbaiki kerusakan yang terjadi pada bidang peradilan saat ini. Kedua institusi itu sebaiknya membangun sinergi dan merumuskan program bersama. Sinergi dan program bersama bisa terwujud jika kedua institusi tidak terperangkap dalam rivalitas. MA dan KY harus fokus pada dahaga rakyat Indonesia akan keadilan serta kebutuhan negarabangsa akan kepastian hukum. Keadilan akan menenteramkan danmewujudkan ketertiban umum. Sedangkan kepastian hukum menjadi modal yang mutlak demi terlaksananya pembangunan di semua sektor kehidupan. Perbaikan di bidang peradilan merupakan program yang mendesak. MA dan KY harus arif memaknai perkembangan dan perubahan perilaku masyarakat. Perkembangan dan perubahan perilaku masyarakat pada akhirnya memengaruhi dinamika penegakan hukum dan keadilan. Partisipasi masyarakat dalam melaporkan kasus-kasus oknum hakim bermasalah adalah contoh tentang sikap kritis publik terhadap model keadilan versi hakim terlapor. Dari laporan masyarakat itu juga bisa dirumuskan beragam makna. Tak sekadar kecewa dan prihatin atas perilaku tak terpuji oknum hakim yang dilaporkan, tetapi laporan-laporan itu layak juga dimaknai sebagai benih-benih ketidakpercayaan masyarakat terhadap oknum hakim dan lembaga peradilan. Atau, kalau mengacu pada maraknya konflik horizontal di sejumlah kota dan daerah akhir-akhir ini, bisa jadi karena para pihak yang terlibat dalam rangkaian konflik itu tidak percaya lagi terhadap semua institusi penegak hukum, termasuk hakim dan lembaga peradilan. Ketidakpercayaan itu mendorong mereka untuk menyelesaikan masalah dengan cara mereka sendiri, menggelar konflik berdarah yang tak jarang menelan korban jiwa. Sangat penting bagi MA dan KY untuk menghayati perkembangan dan perubahan perilaku masyarakat itu dan menjadikannya materi yang harus dipertimbangkan dalam merumuskan program-program kerja bersama. Jangan biarkan brutalitas menggejala dalam dunia peradilan. Jika masyarakat melihat oknum hakim bertindak brutal, ruang publik pun akan sarat brutalitas karena lembaga peradilan dinilai tidak layak lagi untuk mengadu dan berlindung. Jumlah hakim saat ini masih dibawah 5.000. Namun, diyakini bahwa dari jumlah itu, masih sangat banyak hakim yang setia dan taat asas pada profesinya serta menghayati benar eksistensinya sebagai wakil Tuhan di ruang sidang. Kalau MA dan KY bertekun memperbaiki dunia peradilan di negara ini, para hakim baik-baik itu bisa menutup lubang besar di benteng keadilan itu dan memulihkan lembaga peradilan sebagai tempat yang ideal untuk mengadu dan berlindung. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar