|
MEDIA
INDONESIA, 30 Januari 2013
“JIKA dalam diri seseorang masih
memberi tempat liberal bagi hedonisme (pemujaan kesenangan), para penjahat
akan terus menjadikannya sebagai lahan empuknya,“ demikian pernyataan Syafik A
Hasan (2011) yang sebenarnya mengingatkan setiap elemen sosial supaya tidak
gandrung dengan perburuan kesenangan seperti kepuasan instan.
Sayangnya, tidak sedikit ditemukan elemen sosial di negara
ini yang lebih memilih dan menyukai pendewaan kesenangan atau perburuan
kepuasan sesaat, meski kepuasan sesaat itu jelas-jelas menyesatkan dan
potensial menghancurleburkan diri dan orang lain.
Itu dapat terbaca dalam kasus keterperangkapan sejumlah
artis atau selebritas terhadap penyalahgunaan narkoba. Mereka itu seperti
tidak berkutik ketika penjahat menjual dan menyebarkan narkoba sebagai
`teror' yang mematikan dirinya. Dirinya seperti sudah menyerah pasrah
dilucuti dan dijadikan objek mainan oleh para produsen dan distributor
narkoba.
Para artis yang menyerah di tangan pebisnis narkoba itu
tak ubahnya zombi (mayat hidup). Konsekuensi sebagai mayat hidup itu ialah
menerima diperintah pihak-pihak yang menguasainya. Mereka kehilangan
kecerdasan moral dan intelektualnya, tidak bisa dan tidak terbiasa melakukan
penolakan saat para pebinis narkoba menguasai mereka. Konstruksi pikiran dan
gerakannya selalu mengikuti rumus-rumus atau doktrindoktrin jagat bisnis
sesat yang dikonstruksikan pihak yang mencengkeramnya.
Para selebritas itu menjadi sangat gampang dicengkeram
atau dijadikan lahan empuk oleh pebisnis narkoba lebih karena praktik
`korupsi' moral profetik yang dilakukan oknum hakim yang juga menyerah, dan
takluk di bawah kekuatan mafioso narkoba.
Karena yang dikuasai pebisnis narkoba ialah kekuatan utama
di lini penegakan hukum (law
enforcement), jelas akibatnya tentulah sangat fatal bagi keberlanjutan
hidup bangsa. Bukan hanya norma yuridis, jagat peradilan, atau wilayah
berlakunya hukum yang terdestruksi, melainkan juga konstruksi kehidupan
masyarakat rusak di sanasini. Jaringan pebisnis narkoba menjadi kian liberal
dan akseleratif.
Dosa Hakim
Terbukti, negeri ini semakin lama semakin nyaman bagi
pebisnis narkoba. Mereka tak pernah jera karena para pengelola negeri ini
masih saja gemar bermainmain dengan hukum. Beberapa tahun lalu, Indonesia
cuma menjadi negara transit oleh sindikat internasional. Namun, label itu
telah lama luntur dan l berubah wajah menjadi destib nasi penjualan.
Indonesia bahkan mulai dikenal sebagai sentra produksi
narkoba itu. Narkoba dari mancanegara tiada henti membanjiri negeri ini.
Ingat saja bagaimana Polda Metro Jaya menyita 351 kg sabu asal China, Mei
2012. Dua pekan berikutnya, aparat Badan Narkotika Nasional (BNN) mengamankan
1,5 juta pil ekstasi juga asal China. Setelah tiarap beberapa saat, gembong
narkoba kembali menggila akhir-akhir ini.
Pada Kamis (11/10), sebanyak 2,6 kg
sabu dicoba diselundupkan di Bandara Internasional sional Lombok, tapi d i ga
galkan aparat. Dua hari berselang, di tempat yang sama, giliran 3,7 kg hasyis
atau olahan ganja dapat disita. Begitu juga 5 kg sabu yang hendak
diselundupkan lewat Bandara Ahmad Yani, Semarang, Jawa Tengah.
Kasus tersebut tidak bisa tidak kecuali menuntut
pertanggungjawaban moral aparat penegak hukum (hakim). Hakim menanggung dosa
yang tidak ringan terkait dengan maraknya bisnis narkoba dan berbagai bentuk
dampak serius yang menyerang bangsa ini akibat distribusi narkoba. Selebritas
yang makin banyak terlibat narkoba hanya menjadi contoh. Mereka menjadi
contoh pembenaran bahwa pebisnis narkoba semakin sukses menjadikan negeri ini
sebagai ‘zamrud khatulistiwanya’.
Dampak itulah yang sering tidak menjadi substansi cerdas
dan empiriknya konsiderasi putusan hakim. Hakim barangkali hanya terfokus
menjatuhkan vonis sesuai dengan pengetahuan dan kemampuannya, dan tidak
benarbenar mempertimbangkan sisi dampak yang terjadi di tengah masyarakat
akibat putusan yang dijatuhkannya. Apa yang diputuskannya lebih condong pada
kepentingan formalisme hukum dan hak asasi pelaku, serta perkoncoannya dengan
pebisnis. Sementara itu, kepentingan publik terabaikan.
Gurita Jaringan
Praduga terhadap kinerja beberapa oknum hakim dan
relasinya dengan sindikat narkoba itu setidaknya dapat dikaitkan dengan
kondisi berikut; pertama, ditangkapnya seorang hakim saat sedang menjadi pecandu
atau pengguna narkoba. Sangat disayangkan masyarakat, sosok yang diharapkan
menjadi subjek hukum yang teguh menjalankan (menegakkan) norma-norma yuridis
justru terlibat dalam perkara pidana yang pidana yang sedang menjadi musuh
bersama di tengah masya rakat.
Kedua , `keberanian' hakim dalam menjatuhkan putusan yang
meringankan atau menggagalkan putusan hukuman mati atas pelaku narkoba.
Hukuman mati bagi pelaku narkoba itu sudah tepat seiring dengan kebijakan
pemerintah yang memang sudah menetapkan pebisnis narkoba ialah musuh bersama
yang wajib dihukum seberat-beratnya.
Faktanya pebisnis narkoba tidak bisa dianggap main-main
oleh siapa pun, termasuk oleh hakim yang memeriksa atau memutus perkara
narkoba.
Pebisnis narkoba merupakan salah satu rezim global yang mempunyai jaringan
besar dan kuat untuk mengamankan, memperluas, dan melanggengkan bisnis
mereka. Mereka tidak ingin jaringan bisnis sampai diputus, dilemahkan, atau
dibuat kehilangan pasar strategisnya akibat ulah aparat penegak hukum.
Kuatnya pasar narkoba itu dapat terbaca dalam data BNN
yang menunjukkan di negara ini, bisnis narkoba merupakan profesi `primadona'.
Terbukti sebanyak 49,5 ton sabu, 147 juta ekstasi, 242 ton ganja, dan hampir
2 ton heroin lepas dari jerat petugas sepanjang 2011.
Profesi `primadona' itu semakin mendapatkan tempat akibat kinerja peradilan
(hakim) yang bersedia menjadi zombi atau menyerah memperlakukan dirinya
sebagai mesin mati yang dioperasikan pebisnis narkoba.
Para peneliti atas putusan hakim menyampaikan testimoni
konklusi mereka, bahwa Indonesia sudah sampai taraf darurat narkoba. Sekitar
15 ribu warga setiap tahun mati percuma. Kita miris, tetapi lebih miris lagi
lantaran pengelola negara ini justru terus larut dalam ketidakberdayaan (empowerless). Ketidakberdayaan itu
dapat terbaca dengan gampang melalui kinerja hakim yang memanjakan pebisnis
narkoba. Mereka membuat pebisnis itu masih berpeluang besar memperluas dan
memperbesar jaringan.
Sebagaimana diungkap Subhan Hadi (2011), ketertaklukan
aparat penegak hukum di tangan sindikat narkoba merupakan wujud kemenangan
pebisnis narkoba. Narkoba tidak hanya mampu mengalahkan aparat atau membuat
aparat penegak hukum kehilangan kecerdasan nurani dan intelektualitasnya,
tetapi juga kehilangan sensitivitasnya terhadap kebutuhan bangsa ini atas
kualitas moral generasi.
Ketertaklukan hakim untuk dimainkan sindikat (pebisnis)
narkoba telah terbukti mengakibatkan jagat hukum mengalami centang-perenang
atau sengkarut. Jagat hukum bisa dinilai oleh publik bukan sebagai lembaga
pengayom dan penjaga keberlanjutan hidup manusia, tetapi dinilainya sebagai
mesin-mesin pembunuh atau korporasi yang merestui penjagalan hak hidup
masyarakat.
Hukum yang menurut filsuf Van Kant berorientasi memberikan
kedamaian bagi manusia justru menjadi instrumen untuk menyebarkan atau
merestui merajalelanya ‘teror’ lewat zat-zat adiktif. Ulah hakim agung yang
menganulir vonis mati gembong narkotika (kasus Hanky Gunawan) tidak boleh
ditiru dan dikembangkan hakim lainnya. Pebisnis narkoba itu telah secara
sistematis dan masif melakukan pembunuhan terhadap generasi muda, termasuk secara
tidak langsung menjadikan selebritas sebagai lahan pembantaian.
Idealnya hakim bisa memutus jaringan narkoba dengan cara
menjaga konsistensi di lini penegakan hukum maksimal dan progresif terhadap
berbagai keinginan terpidana atau narapidana, kecuali hakim itu memang telah
menyerah dalam cengkeraman pebisnis narkoba itu. Jika hakim bermental
demikian itu tidak berusaha menyembuhkan dirinya, ditakutkan negeri ini akan
semakin mengabsolut untuk dijadikan lahan pemasaran utama para pebisnis
narkoba, di samping keberadaan hakim tak lebih hanya menjadi aktor terjadinya
penyebaran berbagai ragam penyakit yang menggerogoti dan mematikan setiap
elemen bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar